Kopi TIMES

Apresiasi untuk Keterbukaan Pasien Covid-19

Rabu, 23 September 2020 - 13:42 | 93.31k
Frida Kusumastuti, Dosen Ilmu Komuikasi Universitas Muhammadiyah Malang, Anggota Japelidi Indonesia.
Frida Kusumastuti, Dosen Ilmu Komuikasi Universitas Muhammadiyah Malang, Anggota Japelidi Indonesia.

TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa hari terakhir berturut-turut diberitakan media massa, para pejabat yang terpapar Covid-19. Pejabat Pemda, Pejabat KPU, Pejabat Kepala Daerah, para rektor dan akademisi dan sebagainya. Suatu upaya pemberitaan yang sangat positif. Setidaknya menepis stigma bahwa terpapar virus Covid-19 bukanlah aib.

Tapi yang utama juga adalah menunjukkan transpransi atau keterbukaan publik, sehingga mudah untuk membatasi kemungkinan penyebaran virus dan melakukan test pada orang-orang yang pernah beriteraksi dengan para pejabat tersebut.

Upaya ini juga pernah disampaikan oleh juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Adi Sasmito. Beberapa media juga mengutip pernyataan Wiku, "Publik harus mengetahui dari berbagai pemberitaan di media bahwa makin banyak pejabat yang terkonfirmasi positif. Ini merupakan bentuk transparansi publik dan tidak perlu terjadi stigma negatif kepada para pejabat publik, karena virus ini tidak mengenal jabatan, jenis kelamin, umur, dan waktu. Siapa pun bisa terkena," ucap Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito saat jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (17/9/2020).

Stigma dan Bahayanya

Pada awal-awal pandemi, stigma pasien yang terkonfirmasi Covid-19 sungguh luar biasa. Lingkungan dimana mereka tinggal menolak keluarga pasien. Bahkan ada yang sangat berlebihan dengan memagari tempat tinggal keluarga pasien. Begitu pula dengan para tenaga kesehatan. Ada yang mengalami “pengusiran” dari tempat kost. Stigma para pasien dan keluarganya sebagai penyebar virus merupakan hambatan tersendiri dalam penanganan. 

Stigma itu jika dipahami secara bebas adalah pelabelan negative pada objek yang dikaitkan dengan AIB, penularan, dan kutukan. Mereka yang masih dinyatakan berstatus Orang Dalam Pengawasan saja ataupun yang hasil rapid test reaktif, langsung dikucilkan. Apalagi yang sudah berstatus terkonfirmasi.

Apakah stigma berbahaya? Jelas. Orang yang terstigma tentu yang paling menderita. Penarikan diri, ketakutan, frustasi, depresi bahkan bisa bunuh diri. Dalam kadar yang rendah, stigma membuat orang tidak jujur dengan apa yang dialami. Ini juga menjadi membahayakan pihak lain.

Adanya stigma menyebabkan banyak orang yang enggan untuk di test. Mereka yang sudah terdeteksi reaktif, juga enggan ditolong oleh tenaga kesehatan. Bahkan  mereka mengelabui masyarakat sekitar, seolah tidak terpapar dan tetap bebas beraktivitas bersama warga. Akhirnya penyebaran virus menjadi hiden alias tersembunyi. Itulah yang disinyalir semakin banyak penularan terjadi di masyarakat kita. 

Stigma membuat orang menyembunyikan fakta demi menghindari stigma pada diri dan keluarganya. Kita bisa dengan ringan bilang, maaf saya sedang sakit maag jadi tidak bisa masuk kerja. Tapi apa ada yang berani mengaku, maaf saya terpapar Covid-19 sehingga ijin tidak menemui anda?  Jangankan pada orang disekitarnya yang awam, bahkan pada dokterpun orang-orang ini merasa harus berbohong. Akhirnya, dokter dan nakes terpapar karena tidak memberlakukan protokol kesehatan saat kontak dengan orang yang tidak jujur ini. Begtulah stigma bisa membuat virus ini semakin menyebar tak terkendali.

Apresiasi Pada Keterbukaan Pasien

Awal September 2020, penulis melihat sentimen masyarakat mulai berubah. Membicarakan pasien Covid-19 di sekitarnya bukan lagi terkesan “kasak-kusuk.” Masyarakat mulai bisa belajar bahwa siapapun bisa terpapar Covid-19. Pandangan pada pasien Covid-19 juga lebih positif dengan memberikan dukungan moral, psikis, dan material terutama kepada keluarga pasien.

Salah satunya sebagai contoh di lingkungan penulis sendiri. Ketika ada kolega yang terpapar, status tersebut tidak dirahasiakan oleh instansi maupun oleh keluarganya. Juga oleh pasien sendiri. Sehingga seluruh kolega juga tidak sungkan bertanya kepada keluarga pasien, apa yang bisa dibantu? 

Bahkan beberapa kali, kami melakukan meeting zoom dengan pasien. Selain berusaha memberinya dukungan moral, perhatian, juga memberi kesempatan pasien untuk bercerita keadaannya. Keterbukaan kedua belah pihak sangat diperlukan juga secara psikis dan sosial untuk memberi rasa nyaman dan kuat bagi pasien dan keluarganya. Budaya di Indonesia yang bersifat kekeluargaan memandang perhatian lingkungan sebagai salah satu “terapi” bagi para pasien.

Pengalaman pasien dalam menjalani karantina merupakan best practice bagi yang lain. Sementara itu pasien juga tidak merasa kesepian dan merasa bermanfaat bagi yang lain dengan cerita pengalamannya itu.

Pasien bisa ditanya apayang menjadi kekurangan dalam pelayanan kesehatan? Dan pihak yang diluar perawatan bisa meneruskan kepada RS atau tempat karantina. Sebagai contoh lain di suatu tempat karantina. Salah satu pasien baru mengakui awalnya situasi tempat karantina sangat membosankan. Maka dia usulkan supaya ada fasilitas “karaoke” untuk para pasien bisa menghibur diri dengan bernyanyi. Juga meminta tambahan fasilitas olah raga, semisal meja pingpong. Tentu semua itu dengan memperhatikan protokol kesehatan. 

Nah, penulis sangat mengapresiasi upaya-upaya keterbukaan ini. Terutama keterbukaan kondisi pasien, keluarga, dan juga instansi atau tempat kerja dimana pasien melakukan kegiatan sehari-hari sebelumnya. Tidak hanya itu bermanfaat untuk tracking siapa saja yang pernah berinteraksi dengan pasien, lalu penuh kesadaran meminta dilakukan test.  Selain itu keterbukaan juga merupakan bagian dari proses penyembuhan itu sendiri. Masyarakat harus belajar bahwa paparan virus ini bukanlah sebagai aib dan tidak perlu “dikutuk.” Situasi tersebut bisa menjadi pelajaran bagi yang lain, dan adanya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi para pasien berbasis kebutuhan spesifik setiap pasien.
Semoga Indonesia segera terlepas dari situasi pandemi.

***

*) Oleh: Frida Kusumastuti, Dosen Ilmu Komuikasi Universitas Muhammadiyah Malang, Anggota Japelidi Indonesia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES