Kopi TIMES

Harmonisasi Paradigma Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Protokol Kesehatan Saat Pandemi

Rabu, 23 September 2020 - 11:31 | 88.86k
Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum., Jaksa pada Kejari Situbondo/Tenaga Pengajar Pada FH Unars Situbondo/Mahasiswa S3 FH Unhas Makassar Beasiswa Badan Diklat Kejaksaan RI.
Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum., Jaksa pada Kejari Situbondo/Tenaga Pengajar Pada FH Unars Situbondo/Mahasiswa S3 FH Unhas Makassar Beasiswa Badan Diklat Kejaksaan RI.

TIMESINDONESIA, SITUBONDO – Status darurat covid-19 telah berdampak pada krisis multidimensi di semua aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam aspek dunia hukum serta penegakannya. Hukum serta penanganannya tengah dalam keadaan darurat yang ketentuannya banyak disimpangi dan dimodifikasi karena disesuaikan dengan keadaan. Jargon legalitas yang selalu diagungkan menjadi tidak berdaya dalam menghadapi keadaan darurat. Hierarki peraturan perundang-undangan pun tidak dapat lagi berfungsi secara optimal dalam situasi yang tidak normal.

Keniscayaan Penegakan Hukum

Era adaptasi keadaan baru telah membawa konsekuensi bahwa setiap orang harus bisa melaksanakan sebuah kewajiban dari sebuah perubahan tatanan baru. Perubahan tersebut telah bersifat imperatif yang tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri namun juga berhubungan dengan kepentingan dan hak orang lain. Kampanye tentang pentingnya memakai masker, mencuci tangan, memakai hand sanitizer, dan atau menjaga jarak telah menjadi himbauan protokoler kesehatan sehari-hari.

Perkembangan covid-19 mempunyai trend meningkat setiap waktunya, sehingga adaptasi kebiasaan baru dengan memperhatikan protokol kesehatan ditingkatkan dari sekedar sosialisasi dan himbauan menjadi sebuah penindakan dalam bingkai penegakan hukum. Prof. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.

Bernard L. Tanya menegaskan bahwa penegakan hukum adalah sebuah tugas. Tugas yang diemban oleh aparat penegak hukum, dan karena tugas, seperti dikatakan Kant, merupakan kewajiban kategoris, kewajiban mutlak. Disini tidak mengenal istilah dengan syarat. Tugas adalah tugas, wajib dilaksanakan. 

Sesuai dengan perkembangan teori hukum modern, upaya represif yang maksimal telah menjadi salah satu jalan keluar yang efektif untuk dilakukan dalam rangka penindakan sekaligus upaya pencegahan (preventif). Selaras dengan hal tersebut terkait dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan di masa pandemi saat ini sudah gencar dilakukan penindakan bertajuk operasi yustisi oleh aparat terkait, terhadap para pelanggar yang tidak  mematuhi aturan protokol kesehatan seperti tidak memakai masker dan semacamnya.

Kombinasi Ranah Administrasi dan Pidana

Instruksi Presiden (Inpres) RI Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 yang dikeluarkan pada tanggal 04 Agustus 2020 menjadi cikal bakal cantolan hukum pembuatan peraturan dibawahnya seperti Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup), dan/atau Peraturan Walikota (Perwali). 

Salah satu klausul penting dalan Inpres tersebut ada pada angka 6 huruf b  1) berbunyi: Para Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk menyusun dan menetapkan peraturan gubernur/peraturan bupati/walikota yang memuat ketentuan antara lain kewajiban mematuhi protokol kesehatan antara lain meliputi perlindungan kesehatan individu yang meliputi a) perlindungan kesehatan individu yang meliputi (1) menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutup hidung dan mulut hingga dagu jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya.

Adapun sanksi terhadap pelanggaran tersebut dalam Inpres disebutkan pada angka 6 huruf b 6) berupa sanksi administratif yang bersifat alternatif terdiri atas teguran lisan atau teguran tertulis, kerja sosial, denda administratif, atau penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha. Klausul semacam ini yang kemudian diadopsi dalam peraturan dibawahnya seperti Pergub/Perbub/Perwali.

Selain itu di beberapa daerah juga telah dibuat Peraturan Daerah (Perda) baik itu Perda Provinsi atau pun Perda Kabupaten/Kota yang mengkombinasikan sanksi pidana dalam rangka penegakan hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan di masa pandemi bertajuk penyelenggaraan ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat. Langkah kriminalisasi dalam sebuah produk legislasi memang dimungkinkan dalam rangka penegakan hukum. Kriminalisasi berasal dari kata kriminal, artinya jahat. Kriminalisasi membuat suatu proses yang tadinya tidak jahat menjadi jahat dan bisa dihukum pidana.

Pengaturan sanksi pidana dalam Perda terkait pelanggaran protokol kesehatan di masa pandemi membawa konsekuensi terkait cara penegakan hukumnya yang harus melalui proses sidang peradilan pidana. Beberapa daerah telah mengaplikasikan sidang di tempat dalam bingkai sidang tindak pidana ringan (tipiring) berjudul operasi yustisi terhadap para pelanggar yang tidak mematuhi protokol kesehatan seperti tidak memakai masker.

Penegakan hukum sidang tipiring dalam perkara pidana mempedomani ketentuan Pasal 205 KUHAP berbunyi: yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah.

Apabila merujuk pada ketentuan nilai besaran denda yang baru sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, maka tujuh ribu lima ratus rupiah dalam Pasal 205 KUHP dikali sepuluh ribu kali menjadi tujuh puluh lima juta rupiah. Jadi yang bisa dilakukan sidang tipiring sebagaimana dimaksud diatas adalah Perda yang mengatur sanksi pidana kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda maksimal tujuh puluh lima juta rupiah.

Diantara Denda Administratif dan Sanksi Pidana Denda

Mirip tapi tak sama, ungkapan tersebut sekilas tepat juga dikatakan terhadap dua jenis denda yang sepintas memiliki bagian nama yang sama tetapi memiliki perbedaan di dalamnya. Denda administratif merupakan salah satu jenis sanksi administrasi yang diberlakukan karena adanya pelanggaran terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat administrasi.

Sementara sanksi pidana denda merupakan salah satu jenis hukuman pokok dalam ranah pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP. Adapun metode penegakan hukumnya melalui mekanisme peradilan pidana yang mana apabila denda tersebut tidak dibayar maka sesuai ketentuan Pasal 30 KUHP diganti dengan pidana kurungan pengganti denda paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.

Tri Andarisman menyebutkan bahwa sanksi pidana merupakan penderitaan atau nestapa yang dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu. Lebih lanjut Roslan Saleh menegaskan jika sanksi pidana merupakan reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan oleh negara kepada pembuat delik.

Idealnya norma atau kaidah dalam bidang hukum administrasi harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi. Terkecuali apabila nantinya sanksi administrasi belum mampu mencapai tujuan yang diharapkan maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata pamungkas terakhir (ultimum remedium). Sifat sanksi pidana sebagai ultimum remedium telah memberikan kode sinyal tentang kecenderungan untuk selalu menghemat dan berhati-hati dalam mengadakan sanksi pidana.

Disadari atau tidak saat ini telah terjadi pergeseran cara pandang tentang sanksi pidana sebagai jalan terakhir (ultimum remidium), menjadi sanksi pidana sebagai senjata utama (primum remidium). Alasan pembenar yang digunakan lagi-lagi terkait pengejewantahan manifestasi konkrit teori hukum modern untuk menanggulangi kejahatan. Jadi selain sanksi pidana digunakan sebagai tindakan penindakan sekaligus juga sebagai upaya pencegahan. 

Kausalitas Substansi, Struktur, dan Budaya Hukum

Menjaga konsistensi penerapan sanksi pidana hanya sebagai senjata pamungkas atau terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium) mau tidak mau memang sudah menjadi keharusan. Pengimbangan penggalakan cara-cara yang lebih bersifat pencegahan (preventif) harus lebih banyak dilakukan sebagai langkah konkrit jangka panjang.

Prof. Andi Hamzah mencontohkan paradigma preventif seperti seorang dokter yang melihat seseorang memakan makanan yang kotor, maka dokter tersebut harus menghentikan orang tersebut kemudian menasihatinya agar jangan memakan makanan yang kotor itu, bukan malah membiarkan orang tersebut memakan makanan kotor kemudian menunggunya untuk berobat supaya dokter tersebut mendapatkan uang.

Pencegahan pelanggaran terhadap protokol kesehatan secara hukum dari hulu sampai hilir harus secara komprehensif dilakukan. Siklus kausalitas dari substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture) harus menjadi titik perhatian.
Dimulai dari substansi hukum yaitu pada tatanan norma dan aturan, harus sudah diinventarisir klausul-klausul peraturan perundang-undangan yang sifatnya pencegahan. Norma hukum yang bersifat preventif inilah nantinya menjadi pijakan struktur hukum dalam melaksanakan tugasnya berupa pendekatan, sosialisasi, penerangan, pendampingan, dan pembinaan kepada masyarakat luas tentang bahaya covid-19 dan bahaya pelanggaran terhadap protokol kesehatan serta akibat-akibatnya. Hasil kerja dari struktur hukum itulah yang nantinya diharapkan membentuk pola pikir (mindset) patuh protokol kesehatan dalam masyarakat sebagai budaya hukum.

Budaya hukum merupakan keseluruhan sikap dari masyarakat, juga sebagai sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Budaya Hukum dapat dikatakan sebagai buah kerja dari substansi hukum dan struktur hukum. Jadi masyarakat akan menjadi sadar hukum dengan sendirinya. Budaya hukum masyarakat inilah nantinya sebagai titik masuk (entry point) untuk patuh protokol kesehatan dalam jangka panjang.

Masyarakat yang sudah sadar hukum dan patuh protokol kesehatan diharapkan akan menularkan kepada masyarakat lain seperti layaknya efek domino. Sehingga memerangi pelanggaran protokol kesehatan tidak selalu harus dengan penindakan. Upaya pencegahan sebagai penyeimbang dapat dipandang lebih progresif dan humanis dari pada sekedar menakut-nakuti dengan ancaman pasal per pasal. Karena mencegah memang lebih baik daripada mengobati. Salam sehat, Salam Patuh .

***

*)Oleh: Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum., Jaksa pada Kejari Situbondo/Tenaga Pengajar Pada FH Unars Situbondo/Mahasiswa S3 FH Unhas Makassar Beasiswa Badan Diklat Kejaksaan RI.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES