Kopi TIMES

Ulama dan Peran Negara

Rabu, 23 September 2020 - 10:38 | 58.40k
Mochammad Qusyairi.
Mochammad Qusyairi.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kasus penusukan Syekh Ali Jaber di Masjid Afaludin Tamin Sukajawa, Tanjungkarang Barat, Bandar Lampung pada 13 September 2020 amat mengernyitkan dahi. Alur kronologis kejadian itu tidak membutuhkan waktu lama, hanya dalam hitungan detik sehingga terkesan direncanakan dan bersifat sistemastis. Sebagai representator umat beragama, kejadian serupa tidak boleh menimpa ulama di lain masa.

Ulama yang datang dengan sorbannya, jubahnya, sarungnya dan segudang ilmu pengetahuannya seolah dianggap remeh-temeh, bukankah ulama sebagai penerus ajaran para nabi dengan konsepsi keislamannya yang matang dan bagus. Namun, sekarang mau dikriminalisasi dengan berbagai macam cara yang dilakukan, seperti contoh diatas menggambarkan bahwa kemerosotan soal tatakrama dan akhlak sudah terkikis oleh masa yang semakin kompleks.

Mestinya, ulama yang diyakini sebagai orang yang faham dan mengerti banyak ilmu keagamaan harus dihormat dan takdim, bukan sebaliknya. Sungguh mengejutkan dan naif sekali peristiwa yang menimpa beberapa ulama direpublik ini. Dimadura misalnya, ulama diyakini sebagai orang yang doanya tersohor, dimagbul dan keramat, sehingga masyarakat masih patuh dan tunduk terhadap dawuh para ulama sepanjang tidak bertentangan dengan syariat islam yang diyakininya.

Historikal Peran Ulama

Jauh sebelum kemerdekaan, ulama sudah punya andil signifikan dalam perjuangan. Hal itu, misalnya, Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani, asal Palembang yang menetap di Mekkah, mendorong kaum muslim nusantara untuk jihad melawan penjajah, salah satunya jihat dalam perang aceh melawan koloni belanda yang ganas ingin menguasai indonesia secara keseluruhan. Namun, pada akhirnya belanda gulung tikar sebab tidak mampu melawan doa dan perjuangan ulama secara utuh.

Tak hanya itu, bergeser menjelang hari kemerdekaan, kontribusi ulama juga tidak kecil. Saat para tokoh bangsa mengikrarkan perjuangan pergerakan dan kebangkitan Indonesia, sebut saja Hos Cokroaminoto, Soetomo, Soekarno, Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantoro, hingga pahlawan lain, Kiai Wahab Chasbullah sudah mulai merintis madrasah yang ada unsur makna tanah air (wathan). Seperti Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air). Bahkan, Kiai Wahab juga membuat lagu cinta tanah air yang sekarang disebut dengan Ya Lal Wathan.

Sehari setelah kemerdekaan juga terdapat peran krusial ulama, yakni terkait dengan Piagam Jakarta. Muncul ulama seperti KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan lain-lain yang legawa dihapusnya tujuh kata pada sila pertama. Selanjutnya, Resolusi Jihad dengan komando KH Hasyim Asy’ari adalah fatwa ulama atas kewajiban mengangkat senjata bagi umat Islam untuk melawan penjajah yang mau bercokol lagi di bumi pertiwi. Berkat resolusi tersebut, seluruh rakyat dan tentara bersemangat bertempur di Surabaya yang dikenal dengan peristiwa 10 November.

Rentetan sejarah yang didalamnya terdapat perjuangan dan keikhlasan para ulama terdahulu merupakan catatan sejarah yang wajib diketahui oleh semua golongan agar tidak dikatakan sebagai millenial yang buta sejarah, sebagai ulasan masalalu maka penting nilai nilai sejarah berdirinya bangsa ini wajib ditanamkan pada generasi bangsa selanjutnya bahwa ulama adalah aktor utama demi terwujudnya kemerdekaan repbulik ini.

Dimana Peran Negara?

Tentu masih banyak ulama-ulama yang berjuang tanpa pamrih, tapi dengan jejak historikal demikian, ulama mempunyai andil besar dalam menegakkan NKRI dan menggerakkan rakyat untuk berjuang. Dengan demikian, negara perlu hadir dalam melindungi ulama. Karena, tidak sedikit kejadian-kejadian ulama yang didiskriminasi.

Pada akhirnya, kasus persekusi bahkan upaya pembunuhan terhadap Syekh Ali Jaber seakan jadi pengingat publik bahwa posisi ulama rentan dan penting untuk dilindungi negara. Sejatinya, jika tertelesik insiden atau peristiwa penusukan terhadap Syekh Ali Jaber tersebut, mengingatkan semua pihak soal pentingnya peran negara dalam memberikan regulasi perlindungan terhadap para ulama di negeri ini.

Oleh sebab itu, elemen masyarajat dan negara wajib bersama sama dalam memerangi perilaku yang radikal terhadap ulama, hal itu menggambarkan bahwa generasi bangsa ini sudah mulai kekurangan oksigen yang disebut dengan sopan santun, tatakrama, dan menghormati ulama.

***

*)Oleh: Mochammad Qusyairi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES