Kopi TIMES

'Anak Geng' Masa Kini, Siapa Peduli?

Selasa, 22 September 2020 - 23:30 | 87.68k
Choirul Amin, Kolumnis dan Founder inspirasicendeki.com. Bergiat di Aksara Cendekia Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Choirul Amin, Kolumnis dan Founder inspirasicendeki.com. Bergiat di Aksara Cendekia Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – ERA tahun 1970 sampai 1990an, satu gejala dan fenomena sosial muncul merasuki generasi muda kita. Kurun waktu itu, banyak muncul gerombolan remaja, yang kemudian jamak diistilahkan geng anak muda. 

Kala itu, geng lebih menonjolkan wujud fisiknya, dengan berbagai simbol dan atribut identitas kelompok. Geng-geng ini lebih menampakkan diri ketika ada kerumunan massa. Acara pertunjukan musik, rock dan dangdut, kerap menjadi bumbu dan magnit unjuk diri (show of force) kebesaran kelompoknya. 

Bendera yang menampakkan simbol kelompok, yang lebih ditampakkan besar-besar. Di kala pertemuan antargeng ini, atribut yang terangkat tinggi dan berada di depan, menunjukkan semakin kuat dominasi mereka. Jika ada 'perang kekuatan' geng, maka gesekan fisik yang lebih dimunculkan. Dan, gesekan akan berakhir dengan sendirinya setelah itu, atau menjadi dendam di kemudian hari. 

Gejala sosial jaman itu berangsur-angsur sepi, dan pada akhirnya tidak banyak memunculkan simpati orang lain. Ini karena mereka kerap terjebak pada hal-hal kurang positif dan mengganggu, suka ribut-ribut atau tawuran. Muncul antipati berlebihan, yang kemudian memunculkan stigma negatif pada anak geng sebagai 'sampah masyarakat'.

Ada pergeseran makna melihat keberdaan kelompok anak muda kini. Tidak lagi anak geng yang suka tawuran, atau balapan liar seperti geng motor jalanan. Pergeseran makna terhadap kelompok anak muda ini lalu melahirkan cara pandang dan sikap sosial baru. Muncul lah kemudian istilah komunitas, lebih positif bahkan kerap tampil dengan berbagai kreatifitas mereka. 

Komunitas-komunitas ini lalu menjamur, bahkan menjadi entitas sosial baru yang keberadaannya mudah diterima publik. Mereka pun bisa menjadi 'kekuatan baru' untuk menawarkan alternatif bagi lingkungam sekitar dan sesamanya. Ada komunitas budaya, pecinta lingkungan, relawan sosial, hingga pecinta kopi. 

Paradigma dan mindset anak geng tentu berbeda dengan komunitas atau organisasi. Anak geng lebih mengedepankan solidaritas dan kesetiakawanan, walau yang kerap muncul hanya sikap latah alias ikut-ikutan. Sebaliknya, komunitas tentunya lebih matang dan terorganisir anggotanya, bahkan dengan satu ikatan idiologis dan idealisme. 

Gejala sosial geng sangat berubah memasuki era tahun 2000an. Bersamaan dengan cepatnya perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi. Fenomena geng kini tidak kasat mata, namun bisa berkembang seperti sel dan menjalar layaknya jamur di musim hujan. Berbagai pilihan platform media sosial, sangat membantu perkembangan geng-geng baru yang lebih milenial. Para "gengster" ini tak lagi didominasi kelompok usia muda, namun merasuk ke dunia anak kemarin sore dan usia sekolah dasar sekalipun. 

Anak geng milenial ini bisa dikenali dari cara komunikasi tulisnya. Ya, pertemanan mereka lebih banyak dilakukan dalam dunia maya. Namun, jati diri keanggotaan mereka cukup universal dan tak kalah kuat. Berada satu geng yang sama berarti member, di luar itu bisa disebut haters! Tidak terpikir dalam benak dan alam sadar 'anak geng' masa kini, apa tujuan dan siapa pemimpinnya. Satu hal, ketinggalan tren baru yang ada dalam kelompoknya, berarti ia bisa diragukan: bukan follower sejati! 

'KBBA', Bahasa 'Anak Geng' Jaman Now

Anak-anak geng milenial punya dunianya sendiri, alam maya dengan bahasa identitas dan pemersatu. Bahasa tak lazim, karena mungkin tidak bisa dipahami jamak oleh orang dewasa. Bahasa untuk komunikasi (verbal) mereka ini seakan bebas nilai, yang kering makna tersirat dan miskin kaidah berbahasa. Terlebih, kandungan psikolinguistiknya. 

Fenomena anak geng jaman now yang paling menjamur kini, misalnya antara 'K-Popers' dan 'Army (BTS)'. Keduanya bermula dari kegandrungan anak milenial pada para entertainer yang kemudian menjadi trendsetters bagi penggemarnya. Internet dan platform medsos yang telah membesarkan mereka, juga menumbuh-suburkan geng-geng anak jaman now yang memang tak lagi asing dengan internet dan perangkat android. Paling banyak, 'geng' anak ingusan ini tersatukan dalam grup messanger whatsapp. Kloning grup-grup baru dari anggota yang sama ini pun begitu mudahnya terbentuk. 

Praktisi dan pakar linguistik sudah bekerja keras memastikan kata-kata dan bahasa baku dan benar. Sebagian, diperkaya dari hasil membakukan kata serapan bahasa asing. Semua tertranskrip rapi dalam kamus yang kemudian dikenal dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sebuah kitab yang kemudian menjadi pedoman dan materi kebahasaan yang harus dicokokkan anak saat belajar di sekolah. 

Tetapi, anak jaman now punya kitab dan kosakata sendiri, penulsi menyebutnya Kamus Bersama Bahasa Alay (KBBA). Sudah puluhan kata-kata alay, tak sopan dan sok baper, ditelan mentah-mentah dan digunakan anak masa kini dalam komunikasi verbalnya. Kata-kata alay ini yang hampir setiap hari muncul di ruang privat dan meramaikan publik jagad maya antarmereka. Sebut saja, "gabut, anjirr, laknat, dajjal", dan banyak lainnya. 

Penulis teringat, kerja keras satu tim pelajar usia SMP asal Kabupaten Malang bersama gurunya, memperkenalkan kamus Kecik (kamus bahasa Jawa Krama). Tujuannya sangat luhur, membentuk pekerti santun anak melalui berbahasa halus. Tetapi, ini masih terhenti memenangi sebuah olimpiade siswa, dan mungkin diterapkan di lingkup kecil kelas atau sekolah saja. Sebuah paradoks, jika dibandingkan gejala bahasa alay anak jaman now kini. 

Siapa (Harus) Peduli?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menunjukkan keprihatinan gejala sosial bahasa alay yang sejatinya bisa merusak karakter anak bangsa kita. Setidaknya, keprihatinan ini memunculkan kesadaran kita, bahwa cara berbahasa salah kaprah telah terjadi bahkan pada usia belum sepantasnya. Bahasa 'kotor' yang dikonsumsi begitu saja dan bisa meracuni alam sadar anak-anak kita. 

Kata-kata alay dan bahasa tak pantas yang ini memang dikeluarkan tidak dalam konteks mengumpat, memaki atau mengolok-olok. Namun begitu, bahasa verbal bukan sekadar ungkapan maksud penutur, namun juga tetap mengandung nilai dan menjadi diksi yang bisa dipilih, sehingga tidak menjadi merendahkan orang lain. 

Konten negatif melalui pemanfaatan media sosial memang sudah menjadi perhatian pemerintah, yang bisa diadukan dan menjadi perkara hukum jika dilanggar. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) telah mengatur, ada 12 kategori konten negatif yang bisa dilaporkan, antara lain pornografi/pornografi anak, perjudian, pemerasan, penipuan, kekerasan/kekerasan anak, fitnah/pencemaran nama baik, pelanggaran kekayaan intelektual, produk dengan aturan khusus, provokasi SARA, berita bohong, terorisme/radikalisme, dan informasi/dokumen elektronik melanggar Undang-Undang. 

Tetapi, belum ada satupun poin yang secara khusus mempersoalkan terkait bahasa alay yang digunakan pengguna medsos. Aturan ini diberlakukan juga lebih berdasarkan pengaduan, tidak secara otomatis melarang (banning) pada setiap kata dan bahasa tak pantas yang digunakan dan diunggah netijen. 

Bahasa-bahasa alay, seperti kata 'anjirr (= anjing), dajjal, 'laknat', sebenarnya bisa dikategorikan sebagai kekerasan (verbal), terebih terhadap anak-anak. Tetapi, jika pelaku dan sasarannya antar sebaya anak-anak sendiri, maka hal ini harus disikapi lebih serius. Tidak pada konteks memidanakannya sebagai kasus hukum, namun bagaimana ini bisa dicegah dan dipahamkan dalam logika dan bahasa anak-anak. 

Alternatif pencegahan sederhana bisa dilakukan, seperti memunculkan emoticon, seperti yang sudah banyak ditemui di salah satu platform medsos. Emotican lebih mendidik bisa dimunculkan, misalnya dengan tambahan kata-kata pengingat "tak sopan", "menyinggung", "tak pantas", "jorok", atau "kurang beretika."

Pencegahan lainnya, aplikasi yang menyediakan platform masenger (kirim pesan) lebih ditertibkan. Terutama, untuk platform yang bisa membentuk grup antarpengguna. Pada grup whatapps misalnya, perlu memunculkan notifikasi rambu-rambu pengingat sebelum grup dibuat. Seperti, larangan pengguanaan kata-kata kekerasan verbal, alay, bullying, pencemaran nama, dan hoaks. Jika ini diberlakukan, akan juga mengurangi stigma dan keberadaan "haters," dengan segala pesan chat dan komentar alay dan negatifnya dari dan kepada mereka. 
 
Terakhir, orang terdekat, keluarga dan figur panutan, juga sama-sama tak mensepelekan gejala 'anak geng' jaman now, dengan kebiasaan berkomunikasi mereka ini. Pemahaman terus-menerus tentang berbahasa dan bertutur kata yang baik, harus selalu ditanamkan pada anak-anak, dalam verbal maupun tulisan mereka. Semoga semua bisa lebih peduli!. (*)

***

*)Oleh: Choirul Amin, Kolumnis dan Founder inspirasicendeki.com. Bergiat di Aksara Cendekia Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES