Kopi TIMES

Umpatan dalam Pandanwangi Pragmatik

Selasa, 22 September 2020 - 20:20 | 97.58k
Eris Risnawati, S.Pd., M.Hum, Dosen Linguistik di Universitas Pamulang.
Eris Risnawati, S.Pd., M.Hum, Dosen Linguistik di Universitas Pamulang.

TIMESINDONESIA, PAMULANG – Kajian pragmatik mengantarkan para ahli bahasa memiliki pandangan ganda dalam meracik sebuah makna. Terutama makna tuturan seseorang. Umpatan berkaitan erat dengan ragam bahasa tutur. Terlepas itu ditampilkan dalam bentuk tulisan ataupun lisan.

Para peneliti bahasa dengan masyarakat kini sudah mulai romantis berjalan bersama. Hal tersebut karena keduanya dapat saling memberikan keuntungan. Keuntungan yang belakangan ini sering terjadi adalah munculnya beberapa fenomena berbahasa yang keluar dari kelaziman.

Pada masanya, kosa kata yang berkonotasi negatif hanya diungkapkan di tempat yang benar-benar aman dari khalayak umum. Tempat-tempat dimana sebuah komunitas atau perkumpulan yang tidak dimasuki oleh orang-orang dari luar kelompoknya. Seperti kelompok persahabatan, kelompok dengan hobi yang sama dll. Diantara kelompok tersebut melakukan tuturan yang tidak lazim seperti mengumpat terkadang menjadi simbol dari keakrabannya.

Istilah umpatan menurut KBBI merupakan makian. Berasal dari kata umpat yang memiliki arti perkataan keji karena marah, cercaan, makian dan sesalan. Definisi tersebut dapat dilihat bahwa istilah umpatan diperuntukan hal-hal yang memiliki konteks kemarahan, kekesalan, makian dll. Oleh karenanya umpatan masuk pada kategori istilah yang berkonotasi negatif.

Indonesia merupakan negara yang syarat akan budaya sopan dan ramah. Hal ini digambarkan dari kehidupan masa lampau yang sangat menjunjung tinggi penghormatan terhadap lingkungan sekitar. Bahasa yang digunakan pada masa lampau merupakan bahasa yang tingkat penghormatannya tinggi. Paradigma masyarakat masih terikat dengan paradigma kerajaan tersebut. Maka masih dianggap tidak biasa jika menemukan kata atau tuturan yang menurutnya tidak sesuai dengan kebiasaan leluhurnya.

Namun, para ahli bahasa memiliki cara pandang yang berbeda. Setiap kata, setiap kalimat memiliki arti dan konteksnya masing-masing. Kata “buaya” yang memiliki arti kamus hewan melata memiliki makna yang berbeda saat ditempeli sebuah konteks. Kata “buaya” berkonotasi negatif saat ditujukan oleh seorang perempuan terhadap lelakinya yang tidak dapat memegang janjinya. Namun “buaya” tetap berkonotasi positif saat dituturkan oleh seorang sahabat saat sedang meledek sahabat lainnya. Yang menjadi penyebab buaya memiliki konotasi negatif karena di beberapa idiom Bahasa Indonesia buaya didefinisikan sebagai kemunafikan sama seperti halnya tikus sebagai penipuan dan kebohongan dan banteng sebagai kemarahan.

Kunci sebuah istilah atau tuturan menjadi positif atau menjadi negatif adalah konteks. Pada kajian pragmatik, konteks memiliki 4 jenis, yaitu konteks fisik, konteks psikologis, konteks sosial dan konteks pengetahuan bersama. Dengan konteks persahabatan, anak satu tongkrongan, atau anak muda zaman now, pembatasan makna menjadi bukan masalah yang besar. Di lingkarannya kata-kata yang tidak lazim pada masyarakat menjadi lazim buat mereka, bahkan menjadi simbol keakraban dan persaudaraan. Sebagai contohnya, “Lagian buaya dipelihara, bukannya dibuang ke laut”.   

Konteks merupakan pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur yang membantu petutur menafsirkan makna tuturan. Konteks fisik berhubungan dengan lokasi komunikasi terjadi, objek apa yang ada dan aktifitas apa yang terjadi. Contoh “Kita makan di tempat biasa ya, jam 16.00” (referensi waktu dan tempat).

Konteks psikologis berhubungan dengan kondisi perasaan peserta tutur pada saat komunikasi terjadi. Contoh “Kok kamu gitu?” (makna tergantung pada perasaan penutur). Konteks sosial berkaitan dengan atribut-atribut sosial peserta tutur dan latar penuturan. Contoh “Kamu jadi datengkan di acaraku? (santai dan tidak formal). Dan yang terakhir adalah konteks pengetahuan bersama yaitu konteks yang dibangun dari pengalaman penutur dan petutur secara bersama-sama. Contoh A: “Ini hari apa?”., B: “Masih sebulan lagi”.

Sebuah sistem bahasa yang terdiri dari fonem, morfem, kata hingga kalimat memiliki rujukan maknanya tersendiri. Nama hewan tentu rujukannya adalah deskripsi sebuah hewan. Sebuah fenomena rujukannya adalah gambaran dari fenomena itu sendiri. Sebuah makna menjadi berubah ketika melibatkan penutur, atau siapa yang menggunakan kalimat tersebut. Selain itu kondisi komunikasi juga mempengaruhi bagaimana sebuah makna diciptakan.

Maka dari itu, sebuah ungkapan/tuturan akan mengakibatkan tindak tutur yang positif atau negatif tergantung pada kondisi tuturan tersebut dikeluarkan. Seseorang mungkin dapat dengan refleks mengeluarkan umpatan saat ia terpeleset dan jatuh, tentu hal tersebut tidak lantas dimaknai sebuah makian atau kebencian.

***

*)Oleh: Eris Risnawati, S.Pd., M.Hum, Dosen Linguistik di Universitas Pamulang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES