Kopi TIMES

Jalan Politik Para Pesohor Versus Petahana

Selasa, 22 September 2020 - 21:33 | 50.79k
Asep Totoh, Dosen Ma’soem University. (Grafis: TIMES Indonesia)
Asep Totoh, Dosen Ma’soem University. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANDUNG – PILKADA Serentak 2020 akan diikuti secara total 734 bakal pasangan calon, terdiri dari 667 pasangan yang diusung oleh partai politik dan 67 lainnya maju melalui jalur perseorangan yang akan bertanding dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 hingga Selasa (8/9/2020).

Menurut data KPU, terdapat 28 daerah yang memiliki bakal pasangan calon tunggal. Selain daerah dengan calon tunggal, jumlah pasangan calon di wilayah lain cukup bervariasi. Terbanyak, ada 11 daerah dengan 5 bakal pasangan calon.

Menarik dicermati, Pilkada serentak 2020 di beberapa daerah pemilihan diramaikan dengan kehadiran bapaslon dari kalangan selebritas. Fenomena selebritis politik sebenarnya telah terjadi di setiap negara, dalam Pileg dan pilkada sebelumnya pun di beberapa daerah banyak yang mengusung para kandidat yang berasal dari kalangan selebritas. Meruntut data pada Pemilu 2019 misalnya tak tanggung-tanggung ada 54 artis yang terdaftar sebagai caleg DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Memang, tidak ada yang salah secara konstitusional dengan langkah partai-partai mengusung para selebritas. Realitas budaya politik di Indonesia ini tentang fenomena selebritis politik dan politisasi selebritis belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Sepertinya partai politik lebih menguatkan posisi politiknya untuk terus bertahan sebagai penguatan patahana ataupun juga ingin mengalahkan patahana. 

Mungkinkah keberadaan para pesohor lebih banyak ditentukan oleh perhitungan taktik komunikasi politik ketimbang saringan ideologis, ataukah Partai politik dan politik itu sendiri kemudian bisa menjadi sangat transaksional untuk sematamata mencari kemenangan. Senyatanya, politik Indonesia pasca Orde Baru ditandai oleh banyak perubahan, salah satunya adalah makin pentingnya peran kandidat dalam pemilu. Fealy (2014) menyatakan bahwa politik Indonesia makin lebih didorong oleh personalitas individu daripada mesin partai politik.

Ketika berkembangnya media dan kecepatan informasi ditambah pula selebritas sebagai dirigen merupakan nuansa baru dalam memaknai kampanye politik dalam demokrasi elektoral Indonesia pasca 2004. Hal yang urgent dan signifikan untuk digali lebih lanjut adalah seberapa efektif dan efisienkah model selebritas politik maupun politik selebritas dalam upayanya meraih dukungan suara besar ? Apa saja kekurangan dan kelebihannya daripada model tersebut ?

Harus diakui, beberapa data keterpilihan dan perolehan suara para selebritis dalam panggung perpolitikan memang tidak bisa dielakkan. Kebanyakan dari pemilihan umum yang telah diselenggarakan suara kaum penghijrah (selebritis politik) ini mendapatkan suara tertinggi dibandingkan tokoh-tokoh politik lain yang cenderung sudah lama dalam hal panggung perpolitikan.

Adapun terminologi celebrity politician secara literal dapat dipahami sebagai bentuk person yang melalui media mendapatkan popularitas dan presensi kehadiran di ruang publik lebih besar. Dalam hal ini, celebrity politician juga dapat dipahami sebagai kegiatan politik yang dilakukan oleh suatu individu maupun kelompok luas sehingga mampu menarik minat publik. Dari dua pengertian tersebut, mampu menganalisis bahwa pengertian celebrity politician dapat dimaknai sebagai bentuk upaya-upaya pemopuleran diri maupun kolektif dengan menggunakan pop culture maupun upaya mengkultusan diri sebagai corong representasi yang mewakili suara mayoritas. 

Secara etimologis, selebriti adalah figur sentral yang berperan sebagai penarik simpati dan empati publik agar selalu terpusat kepada dirinya. Para pesohor tentu saja kerap menjadi contoh para penggemarnya. Selebritis, diakui atau tidak, efektif bisa menyampaikan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik. Tapi, harus diuji apakah akan mampu menerapkan dan mengambil keputusan penting untuk khalayak.

Tantangan nyata Celebrity politician adalah  mampukah atau bisakah mengalahkan petahana, bahkan asumsi petahana diposisikan sebagai politik dinasty. Jurus jitu petahana akan menggunakan kata lanjutkan dan petanyaan apa yang akan dilanjutkan dapat dijawab secara jelas. Ibarat kita membangun rumah, lokasinya sudah ada, bahan bangunan sudah dibeli, pondasi sudah selesai. Rencana bangunan akan dilanjutkan dengan membangun tiang, atap, dinding, dicat, dan lain sebagainya. Setelah bangunan selesai maka akan dipenuhi perkakas dan fasilitas, setelah rumah berdiri megah maka akan kita huni maka tentunya akan sangat mudah menjelaskan. 

Hal lainnya yang akan dijadikan kekuatan petahana adalah ketika ditanya tentang apa yang akan dilanjutkan, sejatinya dengan lancar menceritakan reformasi birokrasi yang telah dilakukan, peningkatan mutu pelayanan birokrasi, peningkatan kualitas birokrat dengan pelatihan, dan perencanaan-perencanaan berbagai aspek. Misalnya, apa saja yang sudah dilakukan dalam rangka memperbaiki kualitas birokrasi, apa saja yang sudah dilakukan dalam rangka memperbaiki kesejahteraan birokrasi, apa saja yang sudah dilakukan memperbaiki tenaga honorer. 

Alhasil, keniscayaannya siapapun para kandidat calon kepala daerah dan wakilnya harus mampu memberikan solusi dan aksi nyata apa yang akan dikerjakan terkait perbaikan pendidikan, ketersediaan air bersih, jawaban atas kemiskinan, perbaikan pertanian, perikanan, peternakan, pendidikan politik, keadilan ekonomi, tata ruang, perbaikan lingkungan dan berbagai aspek kehidupan rakyat di daerahnya. 

Urgensi lainnya, bagi partai politik pun harus memberikan pendidikan politik dan membangun kaderisasi ideologi bagi masyarakat. Jangan dilupakan, pemilu hanyalah sarana dan kepanjangan tangan dari publik untuk mengelola negara dan bangsa. Maka, kepentingan publik adalah pertimbangan yang paling utama. (*)

***

*) Oleh: Asep Totoh, Dosen Ma’soem University.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES