Kopi TIMES

Pudarnya Identitas Bangsa dalam Sebuah Nama

Rabu, 23 September 2020 - 00:20 | 103.90k
Misbah Priagung Nursalim, S.S., M.Pd., Kaprodi Sastra Indonesia-Universitas Pamulang (Grafis: TIMES Indonesia)
Misbah Priagung Nursalim, S.S., M.Pd., Kaprodi Sastra Indonesia-Universitas Pamulang (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, PAMULANG – Apalah arti sebuah nama. Begitu menurut sebagian orang. Namun, banyak orang tua memberikan nama yang bagus dan penuh makna untuk anaknya. Bisa jadi, apalah sebuah nama hanyalah sebuah penghiburan diri agar pemilik nama menjadi lebih percaya diri.

Nama merupakan tanda lahir yang diberikan orang tua. Fungsinya sebagai tanda penyebutan bagi orang lain. Dalam ilmu semiotik nama masuk dalam kategori simbol jenis tetanda (tetenger). Penciptaan nama pun mana suka. Tidak ada aturan baku untuk pemberian nama seseorang. Bebas tergantung orang tua anak. Jika tidak suka dengan nama yang diberikan orang tua, setelah dewasa anak bisa mengubah namanya sendiri.

Selain nama sebagai tanda lahir, ada juga nama panggilan. Orang Jawa menyebutnya paraban. Paraban ini biasanya nama yang diberikan oleh orang lain selain orang tua. Fungsi paraban ini sebagai pengingat. Biasanya lebih pada ciri fisik atau kebiasaan si anak.  Contohnya anak yang kepalanya peang akan dikasih paraban peang. Atau anak yang kepalanya lonjong ke atas dikasih paraban panjul, dan sebagainya.

Nama merupakan bagian dari simbol budaya. Melalui sebuah nama, identitas seseorang mudah ditebak. Hal itu karena nama menjadi ciri khas budaya bangsa. Setiap bangsa memiliki nama yang khas. Orang India memiliki nama yang khas India. Maka nama orang India berbeda dengan orang Spanyol ataupun Belanda. Berbeda pula dengan nama orang Tiongkok dan orang Jepang. Sama-sama dari Asia Timur, tetapi orang Jepang, Tiongkok, dan Korea memiliki perbedaan dalam pemberian nama diri. Kita bisa bisa menebak dari mana asal orang itu.

Indonesia merupakan negara multietnis. Dengan keragaman suku bangsa yang dimiliki, maka beragam pula ciri khas nama masyarakat di Indoensia. Bisa melalui marga, nama keluarga, gelar bangsawan, dan sebagainya. Orang batak dengan berbagai marganya selalu diletakkan pada bagian belakang nama. Orang Bali dengan nama berdasarkan urutan lahirnya seperti Ketut, Made, Nyoman, Ngurah, dan sebagainya.

Orang Sunda lebih unik lagi. Meski tidak ada rumus pasti, nama orang sunda memiliki ciri khas x y+x, contohnya. dayat hidayat, Ipah Saripah, Maman Suherman, dan sebagainya. Atau orang Jawa dengan nama satu kata seperti Martono, Kusjono, Warijo, dan sebagainya. Beda lagi kalau keturunan kaum bangsawan. Hanya melalui nama, orang lain mampu membaca dari mana orang itu berasal.

Ada juga orang tua yang memberikan nama anaknya karena peristiwa tertentu. Bisa jadi pemberian nama itu untuk mengingat sebuah peristiwa. Anak yang lahir hari Selasa Pon diberi nama Sapon. Anak yang lahir saat terjadi huru-hara diberi nama Gempar atau Ribut.

Di Polandia malah lebih unik lagi, nama anak tergantung profesi orang tua. Karena orang tuanya berprofesi sebagai tukang kayu diberi nama Podolski. Atau Bleszynski untuk anak yang orang tuanya berprofesi sebagai pemeras anggur.  Itulah salah satu keunikan nama seseorang dari setiap bangsa.

Pemberian nama juga tergantung dari penuturan masyarakat sekitar. Orang Arab biasa memberikan nama Muhammad. Bergeser ke Turki menjadi Muhammed. Ada juga yang menyingkatnya menjadi Mohd. Bergeser ke Jawa diambil suku kata terakhirnya saja, menjadi Mad. Makanya di Jawa ada nama Madarjo, Madamin, dan Madirsan. Orang Bugis malah menyebut Abdul Rohman menjadi Beddu Amang. Itulah keunikan pemberian nama yang harus kita hormati dan kita lestarikan.

Namun, memasuki tahun milenium, orang tua lebih memilih nama anaknya dengan nama idolanya. Orang tua yang gemar sepak bola memberikan nama anak sesuai bintang lapangan kala itu. Orang tua yang gemar menonton film India pun sama. Tidak lagi mengingat dari suku mana ia berasal.

Tahun 2020 ini, anak yang lahir awal tahun milenium sudah dewasa. Sedangkan nama-nama khas nusantara kini sudah milik orang tua. Nama seseorang kini bukan lagi menjadi simbol budaya melainkan bergeser menjadi simbol usia. Generasi muda kini memiliki nama yang kearab-araban agar lebih islami atau bahkan keeropa-eropaan agar lebih modern.

Lebih parah lagi nama anak yang lahir pasca 2015. Orang tua memberikan nama bukan karena idolanya saja. Tetapi agar lebih tampil beda. Itu sebabnya banyak nama yang menjadi susah dieja. Entah dari bahasa mana nama tersebut diambil. Tak heran, tahun ini para guru TK dan guru SD menjadi kewalahan mengajarkan menuliskan nama pribadi kepada peserta didik. Bisa jadi 2040, sudah tidak ada lagi nama khas nusantara.

Pemberian nama anak memang tidak memiliki aturan baku. Ada yang memperhatikan maknanya, ada juga yang memperhatikan keindahan bunyinya. Maka dari itu banyak orang tua yang mengambil referensi nama dari internet; dicarilah nama-nama yang memiliki makna yang baik dan indah. Namun, sebagian orang tua tidak memperhatikan pemberian nama dari segi tata bahasa. Untuk itu, selain nama yang maknanya baik dan indah juga perlu konsultasi dengan ahli bahasa agar si anak ketika dewasa tidak menjadi bahan tertawaan orang lain. (*)

*** 

*) Oleh: Misbah Priagung Nursalim, S.S., M.Pd., Kaprodi Sastra Indonesia-Universitas Pamulang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES