Kopi TIMES

Pandemi dan Ancaman Kepailitan

Selasa, 22 September 2020 - 18:13 | 118.22k
Arifin Ma’ruf SH, MH. (Staf Peneliti Hukum dan Kebijakan Yayasan JAVLEC Indonesia).
Arifin Ma’ruf SH, MH. (Staf Peneliti Hukum dan Kebijakan Yayasan JAVLEC Indonesia).

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pandemi Covid-19 yang terjadi di dunia telah mengakibatkan krisis kesehatan yang luar biasa. Bagaimana tidak, Covid-19 telah menginfeksi jutaan warga dunia dan harus berbaring di rumah sakit. Selain itu, Covid-19 nyatanya telah membunuh ratusan ribu orang. Di Indonesia per 20 September 2020 jumlah orang yang terpapar virus Covid-19 sebanyak 244.676 orang dengan jumlah kematian 9.553 orang.

Bukan hanya krisis kesehatan, pandemi Covid-19 bahkan berdampak pada sektor perekonomian nasional, bahkan merembet ke dunia usaha. Penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah sejak maret 2020 lalu dan sudah berjalan hampir 7 bulan sampai saat ini, melalui berbagai kebijakan nyatanya tidak membuahkan hasil yang baik, bahkan kurva jumlah orang terinfeksi dari hari kehari semaki meningkat. 

Apabila Covid-19 tidak segera dicarikan jalan keluar maka akan berakibat fatal yakni krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Dari sektor usaha, gelombang kebangkrutan usaha semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data meningkatnya kasus kepailitan yang diajukan ke pengadilan selama pandemi Covid-19. 

Kasus Kepailitan Meningkat

Berdasarkan data yang dihimpun  hukumonline.com bahwa per-Januari 2019 sampai Juni 2020, jumlah keseluruhan perkara kepailitan dan PKPU yang dimohonkan, baik perorangan maupun badan usaha di PN Jakarta Pusat terdapat 542 kasus.

Kemudian total kasus kepailitan dan PKPU di PN Medan Kota berjumlah 55 kasus,   di PN Makassar pada periode berjumlah 14 kasus, di PN Semarang Kota berjumlah 100 kasus, di PN Surabaya sebanyak 146 kasus (Hukumonline, 2020). 

Jumlah perkara kepailitan dan PKPU meningkat tajam yakni sebanyak 50 persen (AKPI 2020). Tidak bisa dipungkiri bahwa Covid-19 sangat mempengaruhi keberlangsungan dunia usaha, salah satu akibatnya adalah sulitnya para pelaku usaha untuk memenuhi kewajibannya secara tepat waktu, di satu sisi pendapatan perusahaan terus mengalami penurunan. 

Berhentinya kegiatan usaha maka berakibat pada ketiadaan pendapatan perusahaan. Hal ini yang megakibatkan perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban untuk melakukan pembayaran tagihan. Apabila kondisi ini dibiarkan tentu akan banyak sekali perusahaan-perusahaan yang akan pailit mengingat pengaturan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) mengatur bahwa “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun permohonan satu atau lebih kreditur”.

Pilihan Hukum

Semakin banyak perusahaan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan, semakin banyak pula pekerja yang akan kehilangan mata pencaharianya. Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) diperkirakan akan terjadi besar-besaran jika pemerintah tidak segera memberikan solusi atas persoalan dunia usaha di masa pandemi ini.

Sebenarnya secara regulasi ada peluang untuk menunda agar perusahaan yang sedang “sakit” secara finansial akibat pandemi agar tidak cepat dinyatakan pailit. Hal ini bisa dilakukan debitor dengan menempuh jalan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan mengajukan di pengadilan setempat.

Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 222 ayat (2) UU 37/2004 bahwa “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kreditur”.

Dari ketentuan di atas dapat dipahami bahwa, dengan menempuh jalur PKPU, kewajiban pembayaran utang akan ditangguhkan dalam waktu tertentu apabila status PKPU diberikan oleh pengadilan. Selain itu, debitur juga memiliki waktu untuk merundingkan atau bernegosiasi ulang dengan kreditur terkait pembayaran utang sehingga bisa menemukan solusi yang lebih menguntungkan kedua belah pihak.

Namun demikian, dengan menempuh jalur PKPU memang bukanlah satu satunya, karena banyak juga kasus PKPU yang pada akhirnya dalam jangka tunda yang diberikan tidak dapat melakukan pemenuhan kewajiban pemenuhan tagihan, apalagi saat ini masih berada di situasi pandemi Covid-19 yang tidak tahu ujungnya sampai kapan.

Gelombang pailit yang semakin besar hendaknya disikapi dengan bijak oleh pemerintah. Karena apabila hal ini dibiarkan tentu akan memiliki banyak dampak buruk. Oleh sebab itu, pemerintah perlu membantu dan mencarikan jalan keluar bagi perusahaan-perusahaan yang terancam pailit.

Jalan yang bisa ditempuh pemerintah yakni melalui pembentukan tim khusus yang bertugas untuk merumuskan strategi menuntaskan ancaman kepailitan. Apabila hal ini tidak segera dicarikan jalan keluar, bisa jadi akan banyak masyarakat yang akan kehilangan pekerjaan dan angka pengangguran diperkirakan akan meningkat tajam akibat pandemi.

***

*) Oleh: Arifin Ma’ruf SH, MH. (Staf Peneliti Hukum dan Kebijakan Yayasan JAVLEC Indonesia).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES