Kopi TIMES

Mayday!, Pesawat Sedang Dibajak

Selasa, 22 September 2020 - 10:54 | 45.86k
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada Januari 1990, ada cerita menarik dan unik dari kecelakaan sebuah pesawat Aviance dengan penerbangan 52.  Kecelakaan tersebut terjadi sebelum pesawat mendarat di Kennedy International Airport New York (AS). Saat di udara, pilot pesawat Aviance  mengirimkan pesan kepada bandara. Pesan dikirim 45 menit sebelum mendarat. Ia mengatakan, “We need a priority, we are low on fuel” (kami memerlukan prioritas dalam keadaan bahan bakar sangat terbatas).  

Malang tak dapat ditolak. Petugas bandara mengartikan kata priority dengan arti bahwa pesawat  masih mencukupi bahan bakar, meskipun terbatas. Pesawat hanya akan dipahami darurat saat pilot mengatakan emergency. Karenanya, pesawat tidak diberi kesempatan mendarat segera. Akibatnya pesawat itu meledak dan menewaskan 73 orang dalam keadaan tragis.

Kemudian dilakukan investigasi akibat kecelakaan pesawat tersebut. Ditemukan fakta, bahwa  pilot dalam kehidupan sehari-harinya berbahasa Spanyol. Priority yang dimaksud pilot sebenarnya darurat, sementara bagi petugas bandara, keadaan darurat itu dipahami jika pilot menggunakan kata emergency.  

Puluhan tahun lalu (1977) dua pesawat Boeng 747 (KLM dan Pan Am) bertabrakan di Bandara Tenerife, Spanyol. Ada setidaknya 583 orang tewas. Penyelidikan menunjukkan adanya kebingungan bahasa antara pilot dan Air Traffic Controllers (ATC) karena masalah logat bahasa. Logat itu menjadi penyebabnya. Pilot KLM yang tak menggunakan bahasa standar membuat bingung ATC.

Dua kasus di atas menunjukkan adanya kesalahan pemahaman atas bahas  yang diucapkan seorang komunikator (pengirim pesan) pada komunikan.

Kemana Pilot Kita?

Gangguan-gangguan dalam komunikasi politik pemerintahan akhir-akhir ini juga sering terjadi. Umpamakan saja pemerintah itu pilot, sementara masyarakat umum itu petugas bandara. Ini hanya perumpamaan saja. Intinya ada gangguan pesan komunikasi sehingga apa yang disampaikan komunikator dipahami beda oleh komunikan, sebagaimana kasus pesawat Aviance.

Contoh kongkrit saja gangguan pesan komunikasi saat pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait pandemi covid-19. Kita boleh cek ulang data dan fakta selama ini. Betapa banyak pesan-pesan komunikasi yang mengalami hambatan. Entah hambatan tidak disengaja, sebagaimana pilot Aviance atau hambatan yang memang disengaja terjadi dengan memutarbalikkan pesan.

Pesan yang dikirim para pejabat kita cenderung tidak tulus. Atau dalam kata lain sekadar untuk “menghibur”. Memang pejabat itu para pelawak? Masih ingatkan kelakar para pejabat kita? Ingat kelakar Menhub (Budi Karya)  bahwa kita kebal corona karena doyan nasi kucing? Ingat tantangan Menkes (terawan) pada Harvard bahwa virus corona tak ada di Indonesia? Juga ingat kata presiden Jokowi bahwa virus corona tak terdeteksi di Indonesia? Bisa juga kelakar Bahlil bahwa virus corona tak bisa masuk Indonesia karena izinnya susah?  Masih ingat pula hasil sebuah lembaga survei bahwa virus corona akan berakhir pada bulan Juni 2020?

Fakta-fakta perkataan pejabat itu bukan untuk menuduh dan memojokkan. Itu hanya sekadar pengingat bahwa kita pernah punya seorang pejabat dengan “omongan” yang tidak sesuai dengan realitasnya. Dengan kata lain, hanya untuk membuat masyarakat kita senang dan tenang. Sementara, dalam kenyataannya tak seindah perkataanya.

Lalu jika akhirnya perkembangan virus ini tak sesuai yang diduga apa yang bisa dilakukan? Apakah tidak boleh mengkritik kebijakan yang dikatakan pejabat karena tak sesuai dalam realitas sesungguhnya? Ada asap pasti ada api, bukan? Bukankah kita perlu melihat sumber asap tersebut?

Mengapa pula para pejabat kita itu seolah tidak kompak? Punya kebijakan dan perkataan sendiri-sendiri? Apakah ini memang sengaja dibiarkan agar suasana menjadi keruh? Dugaan ini bisa saja muncul dan berkembang di masyarakat dengan melihat realitas pernyataan pejabat kita yang seolah tanpa koordinasi. Seolah virus ini sekadar virus flu biasa. Lalu bisa diatasi dengan cara biasa. Lihat dan teliti lagi pernyataan para pejabat kita. Sungguh memprihatinkan.

Lalu jika pernyataan para pejabat tersebut tumpang tindih, kemana presiden kita? Bukankah para menteri itu pembantu presiden?  Bukankah jika pernyataan para menteri itu membuat keruh, presiden bisa mementahkan dan membatalkan pernyataan mereka? Hal demikian bisa kita runtut ke belakang atas pernyataan-pernyataan lain dan diamnya presiden atas pernyataan para menteri.

Dulu, saat presiden Jokowi marah atas kinerja para menteri yang lamban dalam mengatasi pandemi covid-19 lalu diungguh melalui Youtube (28/6/20), saya sangat senang. Presiden menunjukkan kapasitas sebagai pemimpin. Saya menduga pula akan ada menteri yang diganti karena tidak becus ikut membantu presiden dalam mengatasi pandemi. Tetapi apa yang terjadi? Harapan tinggal harapan, kekecewaan jalan terus.

Lalu muncul pula perbedaan pendapat soal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) antara gubernur DKI Jakarta (Anies Baswedan) dengan Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto). Bola menggelinding liar. Mengapa tidak dijelaskan dengan pernyataan untuk menenangkan publik? Bukankah persoalan penyebaran virus ini bukan main-main?

Pembajak Negara

Mendiamkan atau membuat pernyataan yang tak sesuai fakta itu hambatan komunikasi. Jika hambatan komunikasi terjadi yang dirugikan tidak hanya komunikan tetapi juga komunikator. Kecuali komunikator memang dengan sengaja membuat pesan menjadi “sumir”.

Apakah kapal bernama Indonesia dengan pilot pemerintah sedang dalam keadaan goncang? Apakah kemandirian bangsa ini sudah sedemikian mahal harganya? Saat diharapkan tindakan tegas tak dilakukan. Tetapi saat tak berharap berwacana justru itu yang dikatakan.

Pilot mempunyai wewenang jika keadaaan darurat. Jika tidak, maka pesawat seperti sedang dibajak. Pembajak di sini tidak hanya dipahami penjahat dengan kepentingan politik pada suatu negara. Pembajak bisa berwujud pemilik pesawat karena ikut campur tangan pada kebijakan pilot dalam menjalankan pesawatnya. Apakah pilot negara Indonesia juga sedang dibajak oleh pemilik kepentingan ekonomi sehingga memengaruhi kemandirian para “pilotnya”? Mayday!, negara sedang dibajak. (*)

***

*) Penulis: Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES