Kopi TIMES

Politik, Pemimpin dan Kepemimpinan

Senin, 21 September 2020 - 18:27 | 63.96k
Yusup Djamal, SH, Pemerhati Sosial.
Yusup Djamal, SH, Pemerhati Sosial.

TIMESINDONESIA, TERNATE – Tanpa terasa waktu kian menggiring nuansa pilkada berada di ambang 'Democracy party' 2020 - 2024.

Fenomena saat ini sudah menginisiasi langkah kompetitor memasuki gerbang politik, figur-figur yang tak asing lagi dimata publik tercover dalam 'transmedia storytelling 'kita jumpai diberbagai media sosial, newspaper dll.

Stimulasi emosional menjadi ajang penilain, kritik, saran sampai pada kulminasi keputusan, maka nampak pluralisme pilihan terhadap 'katanya si jago 'yang layak jadi apa dan apalah....!

Figurisasi agar lebih fundamental, strong, powerfull kedalam bingkai ketokohan adalah sesuatu yang mendasar untuk merealisasikan tercapainya tujuan, disinilah tatanan sosial mengalami tranformasi kompartement dan parsial oleh konstruksi sistim melalui kerangka konsultatif, katakanlah 'strategi  pemenangan 'dengan tidak meniadakan beberapa elemen, sektor yang langsung menyentuh konstituen 'subyek pemilih' dalam suatu wilayah . 

Ramai terlihat berbagai kegiatan dilakukan, mulia dari acara yang bersifat silaturahmi, reuni bahkan pertemuan dan pengukuhan figur yang dianggap layak maju sebagai kepala daerah, boleh jadi ini merupakan mekanisme awal untuk memperoleh ruang gerak lebih besar agar dapat mengkonstatir perkiraan sebagai tolak ukur keberhasilan .

Seringkali pemilu diidentikan dengan atraksi kompetisi untuk meraih kursi kekuasaan sehingga konsepsi politik tidak terbatas hanya pada sumber daya politik yang digunakan dalam memenangkan atau mempertahankan kekuasaan. 

Pertanyaannya, substansi apa yang menjadi kriteria agar landasan kognitif sang figur diakui, walaupun sosiologi kultural sangat beraugensi dalam masyarakat dengan 'building trust' berupa  simbolik, ekonomis, sosialis dan mempunyai gaun integritas yang telah terbukti. Ketika hal serupa menjadi prioritas saat itu juga intuisi masyarakat akan melahirkan pilihan yang sebelumnya kenyataan dari sang figur telah terkoptasi dalam sebuah komitmen yang dianggap 'tipikal' seorang pemimpin .

Deskripsi umum

Seorang figur secara akseptabilitas dapat diterima publik tentunya bukan hanya performa lahiriyah saja yang dibutuhkan, akan tetapi kesejajaran nilai sosial menjadi akses mutualisme internal maupun ekternal untuk membangun kemitraan khayalak ramai. Hal demikian memerlukan wadah sebagai penggerak dan berakses menghadirkan sumber-sumber yang tersedia dalam pembentukan tim ataupun inisial program mengarah pada terpenuhinya kesempatan dari momentum pemilu yang ada seiring dinamika dan pergolakan kandidat mengupgreit ranah privasinya secara transparan, edukatif, komunikatif dengan memperkenalkan visi misi komprehensif. 

Kesemuanya ini untuk menunjukan kematangan juga kesiapan diri terhadap sesuatu yang masih berskala variatif mengarah pada ritme 'satu pilihan 'agar sama dan diketahui dengan tepat . Di sinilah pijakan kepercayaan untuk mengstimulan kesadaran masyarakat terhadap sang figur bahwa eksistensinya layak dan menjadi syarat seorang pemimpin, dan bijaksananya harus demikian agar tidak ada lagi konfrontasi ataupun wacana-wacana liar, sikap konservatif, sehingga sangat jelas terlihat persaingan tidak sehat, saling menjatuhkan bahkan ada nilai diskriminatif dengan isu-isu fanatisme yang tentunya merugikan konstituen.

Layaknya seorang pemimpin harus berada dalam koridor kepemimpinan yang benar, tidak terkontaminasi dengan kepentingan dan keinginan pribadi, ras, golongan sehingga hukum tidak hanya kerangka teorentik yang berisikan aturan-aturan sedangkan aspek berlakunya berupa kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan hukum itu sendiri.

Hal yang tidak diinginkan ketika politik menjadi konsep pembahasan maka kita akan mendengar istilah politik itu tiada lawan abadi tiada kawan sejati, politik merupakan ide-ide untuk membentuk sebuah keputusan sebagai tujuan bersama, politik juga suatu dinamika  kekuasaan dengan dasar regulasi dan pembagian dalam masyarakat dimana wujudnya adalah proses pembuatan keputusan hukum, politik dapat pula diartikan sebuah estetika dan etodologi untuk meraih kekuasaan baik secara konstitusional maupun non-konstitusional.

Lantas bagaimana keterkaitan politik, pemimpin dan kepemimpinan, jika pemimpin adalah orang yang diamanatkan dalam sebuah tugas dan tanggung jawab maka kepemimpinan itulah kemampuan atau sumber daya yang dimiliki sebagai seorang pemimpin.

Maka sepantasnya ketiga kata ini saling relevan untuk memprakarsai ketersedianya rangkaian sistem ketatanegaraan yang menyangkut penentuan tujuan dari sistem tersebut dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan berwibawa. BUKAN terbalik bahkan yang terlhat berupa deviasi paradigma dari sebuah tematik atau simbol dibalik tujuan tertentu sehingga pemimpin dan kepemimpinan menjadi sarana politik dan transaksi kepentingan secara pragmatik.

Selaras dengan agenda pilkada 2020 nanti, sadar dan tidaknya moment ini cukup mewarnai pola pikir masyarakat dalam mengkonsumtif fenomena yang ada, hal demikian beranjak dari pengalaman bahwa harapan dan kenyataan menunjuk arah berbanding, figur pemimpin yang lahir dari sketsa demokrasi murni, dalam pengambilan keputusan dan kebijakan terkadang tidak sejalan dengan amanat undang-undang atau bertabrakan dalam sistim ' das sollen and das sein ", ketika aturan hukum mengsinyalir landasan berlakunya untuk dilaksanakan justru realitasnya berlainan, ketidaksesuaian antara tujuan hukum dan kenyataan maka jelas masalah, kebenaran seakan terjebak dalam ketidakpastian dan tindakan tidak terkendali 'uncontrolable activy 'sehingga terjadi kesenjangan nilai, ruang kemajemukan terasa dalam aspek-apek tertentu baik dalam birokrasi pemerintah maupun lingkup sosial.

Pilar pemilu dalam pemikiran praktis untuk menghadirkan para eletabilitas dari berbagai kalangan melalui suatu proses demokrasi, tentunya hal serupa akan menjadi medan diskusi, solusi bahkan penilaian positif negatif  dikalangan masyarakat dan menjadi penting karena pemilu merupakan instrumen penentu arah kebijakan publik yang nantinya memiliki salah satu figur pemimpin agar mampu melaksanan kedaulatan rakyak melalui hak politik sebagai pemenuhan nilai konstitusional demi kepentingan bersama dalam mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan kedamaian, maka akses politik adalah sarana untuk menghadirkan figur pemimpin dengan kepemimpinan yang akuntabel, aspiratif, kapabilitas, memiliki sumber daya integritas, melaksanakan kepemimpinan secara universal tanpa berindikasi diskriminatif, sepihak dan tidak relevansi dengan kebenaran maupun keadilan substantif.

Alasannya, keberhasilan yang didapat merupakan realisasi kerja sama tim yang didalamya gusungan partai, elemen masyarakat bahkan ASN diikut sertakan secara terimplisit. Pada akhirnya yang tidak seirama akan tersingkirkan, terjadi transformasi internal dalam birokrasi yang tidak lagi berlandaskan azas dan norma hukum, dampak sosialpun mengalami pergeseran nilai akibat aspirasi yang terbuang oleh ketidaktentuan fungsi. 

Sistem merit dan manajemen ASN tak ubah bagaikan simbol usang yang tak bernilai, netralitas justru sebutan tanpa sanksi, sumber daya aparatur tergantikan oleh hubungan kedekatan,  jika konsepsi kepeminpinan akhirnya seperti ini, sangat dikhawatirkan politik telah menjadi wadah kepentingan para pemimpin dengan kepemimpinan yang konspiratif .

Lingkup ASN dan Netralitas

Dalam indek pembangunan manusia dapat dirasakan ketersedianya kemampuan masyarakat melalui kehadiran mereka, dikalangan birokasi pemerintah khususnya ini merupakan indikator untuk mengukur sumber daya aparatur dalam upaya membangun kualitas hidup, maka adanya mereka jangan dijadikan mesin politik yang diprakarsai dalam sebuah kepentingan dan karenanya mentalitas individual tergadaikan. 

Sepatutnya bukan persoalan untung rugi, bisa atau tidak namun citra ASN yang perlu dijaga, sehingga keberadaan mereka melainkan sesuatu yang strategis sebagai ukuran kinerja Pemerintah, hadirnya mereka merupakan 'span of control dan sangat efisien atas kemampuan yang telah diuji melalui tahapan test berdasarkan intelejensi perseorangan, itu artinya tidak dalam wadah politik maka sangat mendasar jika ranah ASN terbebas dari perbuatan praktis, dikarenakan sesuatu yang dilematis ketika kita dihadapkan pada pemilu, serta merta rangkaian aturan melintasi pikiran untuk menyikapi sikap dan tindakan dalam hak politik , keikutsertaan yang terpola pada azas dan aturan menjadi landasan menjalani mekanisme pemilu, sedianya  harus seperti itu karena aturan bukan untuk dilanggar, begitu pula 'social control 'merupakan teguran supaya tetap konsisten pada jalur dan tata cara pemilu.

Tidak ada tendensi kepentingan walaupun secara langsung pemilhan kepala Daerah merupakan bagian dalam penentuan figur pemimpin, kesemuanya ini sangatlah ideal jika dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Harapan, menyonsong hari esok lebih baik dengan meniadakan penyimpangan sistim yang tidak berarah tujuan, inilah substansi dari sebuah eksistensi demokrasi dan jika terbukti demikian maka akan ada keseimbangan nilai kepemimpinan yang dipimpin oleh seorang figur secara bijaksana.(*)

***

*) Oleh: Yusup Djamal, SH, Pemerhati Sosial.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES