Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Membaca Benturan Jelang Pilkada

Senin, 21 September 2020 - 09:37 | 39.92k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Tokoh terkemuka bernama Mao Tse Tung pernah berkata, bahwa “politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, dan perang adalah politik dengan pertumpahan darah” artinya, masing-masing kekuatan politik yang membawa dan mengibarkan “bendera” kepentingan bisa saja terjebak dalam penggunaan berbagau cara yang diantaranya bisa membahayakan kehidupan masyarakat dan menciptakan disharmonisasi antar elemen masyarakat.

Dalam tesis Mao ini, politik diingatkan kalau dalam satu wajahnya mestilah menunjukkan medan laga yang mengerucut pada persoalan kalah dan menang, sehingga siapapapun yang terlibat dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan di level appaun, apalagi pilkada, bisa saja terseret menggunakan pola-pola yang mengerikan seperti “membanjirkan” darah orang lain.

Suasana jelang pemilihan kepala daerah (pilkada) di bulan Desember 2020 makin “panas”. Atmosfir demikian jelas kurang menguntungkan bagi rakyat secara umum, idealnya seharusnya mendekati gelaran pesta demokrasi yang ditemui rakyat adalah kedamaian, apalagi di era pandemi Covid-19. Memanasnya suhu politik ini dapat membikin gerahnya konstituen untuk berdekatan dengan siapapun calon yang hendak dipilih. Bagaimana persoalan kenegaraan dan kerakyatan bisa dituntaskan jika menyelesaikan di ranah pesa demokrasinya sudah tidak memberikan atmosfir yang terbaik untuk rakyat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Adanya kekuatan yang punya potensi ekonomi-politik besar untuk mereduksi atau “mempermainkan” citra calon pemimpin daerah juga memanaskan indek kredibilitas pada calon tertentu, padahal calon ini merupakan kunci yang menentukan atau menarik minat pemilih. Tatkala pemilih terus digelontor dengan informasi yang menyesatkan konduite calon, maka  dimungkinkan akan terbentuk opini yang mengakibatkan gamangnya pemilih dalam menentukan pilihannya tatkala opininya  bertajuk: calonnya bermasalah dengan Covid-19 atau komunis, dan lain sebagainya.

Di saat kondisi masyarakat sedang kehilangan kredibilitasnya pada komunitas elit politik, maka kekhawatiran utama dalam pilkada bulan desember nanti ini adalah rendahnya tingkat partisipasi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya. Angka Golput dimungkinkan akan meningkat dalam pilkada ini, apalagi misalnya persoalan Kesehatan masyarakat tidak mendapatkan jaminan yang lebih memadai.

“Penggembosan” seperti itu ibarat gayung bersambut, di satu sisi kepercayaan rakyat pada calon sedang menurun, sementara di sisi lain rakyat “disuapi” dan terus digelontor informasi yang mengesankan kalau calon yang akan tampil dalam pilkada adalah orang-orang  yang selama ini dianggap telah menyakitinya atau dikenal sebagai “sosok yang dibonsai” saja.

Ironisnya, yang dibenturkan yang seolah-olah atau bahkan diidentikkan sydah terjadi kesenjangan persaudaraan politik (ukhuwah siyasah)  adalah kekuatan elit kharismatiknya, misalnya di kalangan tokoh atau ulama NU. Mereka diseret dalam atmosfir polarisasi politik yang menisbikan etika atau kepatutan oleh sekelompok orang  yang “bernafsu” menguasai medan laga public dan memenangkannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Mereka itu bisa jadi dikondisikan masing-masing  jadi jadi nakhkoda umat yang berseberangan serius atau sedang dikondisikan  atau diiklimkan seperti sedang jadi musuh bebuyutan  dan terkerangkeng dalma faksi-faksi.

Kalau sampai terjadi, sangatlah disayangkan, pasalnya mereka yang terlibat dalam friksi itu (selama ini) tergolong figue-figur  kharismatik, yang idealnya mestinya mampu survive membumikan pola kepemimpinan demokratiknya dengan ragam tantangan apapun, termasuk untuk keluar dari jerat pesona politik yang beridentik dengan perburuan kekuasaan.

Pola membangun opini atau menciptakan “sesat fikir” dan friksi-friksi sampai potensial dan bahkan bisa memunculkan radikalisme politik itu pernah diingatkan oleh Napoleon Banoparte, bahwa kondisi kekacauan yang terjadi di tengah masyarkat hanyalah menguntungkan bajingan. Para bajingan bisa berpesta di tengah kondisi masyarakat yang rentan diseret dalma friksi atau pertentangan satu sama lain.

Kalau mengingat apa yang diingatkan Banoparte itu, maka setiap subyek politik yang “bermain” dalam pilkada 2020 ini, wajib mengedepankan kesantunan atau kesalehan dalam setiap persaingan dengan pihak lain, pasalnya kalau tidak, berbagai ancaman disharmonisasi, reduksi kredibilitas, dan runtuhnya kewibawaan hukum bisa terjadi dan bahkan marak.

Kembali kita atau mereka perlu mengingat, bahwa pada saat  itu wajah politik pilkada seperti yang disindir oleh Mao  Tse Tung, bahwa kekuasaan itu lahir dari laras senapan, maka  bisa saja terjadi ada atau mengincar suatu komunitas gerombolan keji, yang barangkali dijadikan mesin pengacau dan pendestruksi harmonisasi publik, yang menjadi instrument yang barangkali digunakan untuk merebut, mempertahankan, atau mengamankan jalur kekuasaan, yang dilakukan  dengan berbagai macam cara. (*)

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES