Kopi TIMES

Pilkada 2020: Tunda Atau Lanjutkan?

Senin, 21 September 2020 - 07:39 | 88.68k
Imam Fauzi Surahmat, Peneliti di SIGI LSI Network.
Imam Fauzi Surahmat, Peneliti di SIGI LSI Network.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dinamisasi Pilkada serentak di tengah pandemi seolah tak ada hentinya, setelah mengalami penundaan dari rencana awal yang seharusnya dilaksanakan 23 September 2020, kemudian berdasarkan keputusan bersama antara kemendagri, DPR RI dan tentunya KPU RI sebagai penyelenggara Pemilu, pelaksanaan pilkada diundur menjadi 09 Desember 2020.

Akan tetapi seiring terus meningkatnya angka positif covid-19 di seluruh Indonesia segenap elemen masyarakat secara masif mengharapkan pilkada ini ditunda sampai pandemi ini benar-benar terkendali, tidak terkecuali PBNU sebagai organisasi keagamaan terbesar turut mengeluarkan rekomendasinya yang menyatakan dengan tegas meminta untuk Pilkada ini ditunda, dengan rasionalisasi utamanya bahwa keselamatan adalah jauh lebih penting dari segala hal.

Selain itu, Komnas HAM pun sudah mengeluarkan rekomendasi yang sama yaitu, agar Pilkada serentak 2020 ini ditunda, karena ini menyangkut hak hidup masyarakat.

Data statistik menunjukan total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 tersebar merata di 9 Provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, dan jika dilakukan tracking dari data covid nasional pada sebaran konfirmasi positif covid 19 juga masih cukup merata, tidak terkecuali di daerah-daerah yang melaksanakan Pilkada serentak tersebut. 

Dari 270 gelaran pilakda tersebut 224 diantaranya adalah petahana, jumlah itu kurang lebih setara dengan 83 persen dari total seluruh pelaksanaan pilkada yang ada. Dimana seharusnya para kepala daerah tersebut fokus pada penanganan krisis pandemi ini, serta secara aktif jadi garda depan pencegahan covid di daerah, artinya kebijakan nasional idealnya disesuaikan dengan dinamisasi perkembangan pandemi ini, tentu sebagai bagian dari sense of crisis seperti apa yang di harapkan oleh Presiden Jokowi.

Jumlah petahana di Pilkada serentak 2020 yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tiga pelaksanaan pilkada serentak sebelumnya menunjukan semakin mendominasinya para petahana dalam pertarungan pilkada 2020 ini. Alasan logis yang dimungkinkan atas fonomena ini adalah adanya pragmatisme partai politik sebagai bentuk adapatasi startegi di tengah pandemi Covid-19, yaitu tidak mau repot dan cara yang dirasa paling aman dalam mencari kemenangan adalah dengan mendompleng kepada petahana. Hal ini tentu jadi problematika tersendiri dalam sisi perkembangan demokrasi dimana cara pandang elit politik baik nasional maupun elit politik lokal terhadap krisis sekarang ini masih belum menjadi prioritas.

Dan mirisnya, beradasarkan data dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, merujuk rilis data per 11 September 2020 kurang lebih ada 72 kepala daerah yang mendapatkan teguran oleh kemendagri, dikarenakan melanggar protokol kesehatan, dimana sebagian besarnya adalah para petahana yang maju lagi dalam pilkada serentak ini, trendnya terus naik dari awal 37 yang mendapat teguran terus naik ke 51 kemudian 69 dan terkahir 72 kepala daerah yang mendapatkan teguran.

Ini merupakan jumlah sementara yang dimungkinkan akan terus bertambah seiring proses kampanye berjalan kedepannya dimana trendnya cenderung naik. Padahal seharusnya sebagai penanggung jawab wilayah, para petahana sejatinya adalah komando terdepan dalam gugus tugas pemutus rantai penularan pandemi covid ini, bukan justru sebaliknya malah menjadi yang abai terhadap komitmen protokol kesehatan.

Dan klimaksnya bedasarkan data yang disampaikan salah satu komisioner  KPU RI, kurang lebih ada 63 bakal calon yang positif COVID-19, dari total 1.470 bakal calon yang ada, atau skitar 4.3 persennya terpapar virus corona. Tentu hal tersebut tidak dapat disepelekan, karena pastinya tiap bakal calon kandidat punya tim sukses yang intens mengawalnya, yang selanjutnya terus berjejaring ke struktur yang paling bawah, yang pada akhirnya adalah bersinggungan langsung dengan masyarakat, hal yang sangat riskan tentunya jika ini tidak menjadi perhatian khusus.

Konfirmasi ini seharusnya bisa menjadi semacam early warning kepada semua pihak terutama pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk kembali membuka ruang opsi tentang bagaimana sebaiknya kelanjutan pilakda ini. Apalagi teranyar 3 komisioner KPU RI yaitu Arief Budiman, Pramono Ubaid dan Evi Novida Ginting juga terkonfirmasi postif Covid 19. 

Namun dalam konteks politik seringkali pertimbanganya tidak akan senormatif itu dan biasanya justru lebih banyak pertimbang pertimbangan akan balik layarnya yang seringakali dipilih lebih berdasarkan kalkulasi matematisnya, yaitu mana yang lebih menguntungkan secara politis.

Artinya, jika merujuk data data statisik diatas, harusnya ideal jika kemudian pilkada ini ditunda atas nama pertimbangan keselamatan kemanusian. Alasan alasan dan fakta fakta diatas seharusnya sudah cukup jadi ladasan untuk melakukan koreksi atas jadwal pelakasanaan pilkada yang ada, sekali lagi demi keselamatan segenap masyarakat, yang harus jadi prioritas diatas kepentingan apapun.

Akan tetapi berdasarkan data statistik yang ada di atas juga, dimana 224 dari 270 gelaran pilkada yang ada, adalah mereka para petahana, yang seolah olah akan menjadi pihak yang dirugikan jika pilkada ini ditunda. Kenapa? Karena pada kenyataanya dalam keadaan pandemi ini petahanalah yang dimungkinkan bisa banyak mengambil "keuntungan", mulai dari refocusing angaran yang peruntukannya lebih besar untuk penanganan covid-19, breakdown kebijakan dan program proram pro rakyat, yang dikemas dalam bungkus bantuan covid 19 atau "kampanye wilayah" yang dikemas sebagai sosialiasi penangan covid, tentu semua hal tersebut sangat mungkin dibelokan dan dipolitiasai untuk kepentingan kampanye kampanye terselubung tersebut. Dimana semua hal itu hanya bisa dilakukan oleh mereka para petahana pada saat masa jabatannya masih aktif. 

Jika pada akhirnya nanti Pilkada jadi ditunda, dimana kemungkinan akan melewati masa periodesasi jabatan, yang rata rata akan berakhir di Februari 2021. Tentu secara matematis bagi petahana hal ini adalah sebuah timing yang sangat tidak menguntungkan. Oleh karenanya melihat sisi ini sangat mungkin bagi para petahana akan tetap berharap pilkada tetap digelar di 09 desember 2020 nanti, setidaknya tidak menambah ruang dan waktu bagi para penantang untuk bisa mengejar, atau  take over di tikungan-tikungan akhir.

Disisi sebaliknya, jika pilkada ditunda secara politis bagi para penantang ini adalah semacam blessing in disguise, yaitu keberkahan di tengah musibah, karena dengan ditundanya gelaran pilkada,  setidaknya memberikan tambahan ruang dan waktu untuk lebih banyak melakukan sosialisasi, pengenalan serta program, dan dalam kedaan seperti ini sesugguhnya menjadikan antara petahana dan penantang akan seimbang, ketika mereka para petahana masuk masa "pensiun" karena habis masa jabatan periodesasinya, yang sementara waktu secara konstitusi akan digantikan oleh PLt yang di tunjuk oleh kemndagri atau Gubernur. 

Jika benar pada akhirnya nanti Pilkada akan ditunda, proyeksinya akan banyak para penantang yang bisa memenangkan kontestasi ini, terutama mereka yang head to head. Namun, jika Pilkada ini tetap dilaksanakan 09 Desember nanti kemungkinan besar dominasi para petahana akan sangat sulit tergoyahkan.

Tentu semua itu kembali kepada para pemangku kepentingan pemilu ini, akan mana yang kemudian dipilih,  apakah kemanusiaan akan jadi prioritas utama ? ataukah justru lebih memilih tetap melanjutkan pilkada ini tetap di 2020, sebagai bagian dari "menyelamatkan" banyak hal kepentingan di dalamnya?

*) Penulis: Imam Fauzi Surahamat, Peneliti di SIGI LSI Network.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES