Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Machiavelli Jadi “Imam”

Sabtu, 19 September 2020 - 15:08 | 51.84k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Salah satu “madzhab” politik yang paling aktual dijadikan kiblat kalangan komunitas elit politik baik yang membawa bendera legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, ormas sosial-keagamaan, maupun komunitas non-partisan adalah Machiavelisme, yang arsiteknya Nicollo Machiavelli. Mengapa mereka ini gampang jadi “makmum” Machiavelli dalam melaksanakan konstruksi sistem politiknya? Atau mengapa mereka mudah menempatkan Machiavelli jadi imamnya?

Memang, Machiavelli menawarkan ajaran berpolitik yang paling pragmatis-eksklusifistis, karena ia menkampanyekan apa yaang disebut “het doel heiling de middelen”,  cara apapun boleh, sah, dan dapaat dilakukan untuk merebut, mempertahankan, dan mensukseskan target-target kekuasaan. Jika ingin sukses, kebenaran tak harus dijunjung tinggi, kejujuran menjadi sah untuk diamputasi, sementara hak-hak rakyat tak wajib diperhatikan.

Masih dalam tataran prinsip itu, jadi penguasa harus bisa mengaum seperti serigala, yang bisa menebar ketakutan dimana-mana, sehingga dapat menciptakan ketakutan dimana-mana yang membuat rakyat  kehilangan nyali untuk menkritik, melawan, dan menggusurnya dari kekuasaan. Dan politik sebagai cermin lain dari kekuasaan harus digunakan sebagai “ikon” menghalalkan segala cara.  Suara-suara kebenaran, keadilan, dan kejujuran tak boleh terus bergema, sementara suara kebohongan, kemunafikan, dan aksi kekejian  harus dihalalkan dan dimenangkan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Itulah salah satu rahasia yang memposisikan Machiavelli masih tetap jadi “maha guru” komunitas elit politik, apalagi jika komunitas elit politik ini benar-benar menempatkan kekuasaan (baca: kursi) sebagai target unggulan. Akibatnya tak dapat dihindari, bahwa kompetisi atau laga politik menciptakan suhu yang sangat panas, menakutkan, dan menabur kekhawatiran dimana-mana.

Siapapun yang jadi makmum Mavhiavelli tentulah tidak menginginkan ada kekuatan di era reformasi, yang mendapatkan tugas mulia dan suci  dalam melaksanakan dan mewujudkan  agenda reformasi (diantaranya: penegakan supremasi hukum, pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pemulihan ekonomi atau kesejahteraan rakyat), tentulah tidak menginginkan mereka yang di garis kemuliaan ini akan sukses.

Logis jika mereka mendaulatkan dirinya jadi kekuatan di garda depan reformasi, mengentas republik yang lembek (soft republic) menjadi negeri yang kuat, mencerahkan rakyat atau membebaskan rakyat yang pernah jadi objek penindasan berlapisdi masa lalu,  harus kerja keras,  menunjukkan kinerja maksimalnya, atau konsisten melaksanakan “jihad” multidimensional.

Selain itu, hingga sekarang tampaknya sejumlah elitis negeri ini belum menunjukkan kreasi-kreasi kenegaraannya secara positip, belum terlihat produk riil pemerintah, terutama dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, artinya pemerintah masih masih lebih perkasa, represip dan eksklusif dalam menunjukkan dirinya sebagai representasi “negara” dibandingkan jadi organisasi besar yang punya tugas mulia dalam mencerahkan rakyatnya.

Idealnya, tujuan akhir negara itu ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya, bonum publicum, common good, common weal,   Rakyat harus dijadikan pelaku utama dalam tataran kepentingan publik, hidupnya wajib dibahagiakan, disenangkan, dan dicerahkan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam ranah itu, berarti rakyat tak boleh dibikin susah, dibuat sengsara, apalagi sampai dimiskinkan. Kalau ada suatu diskresi bermuatan penggalian sumber ekonomi dari rakyat yang dikeluarkan pemerintah yang bercorak represip, sementara diskresi itu sudah tak layak lagi dikenakan pada rakyat, karena sehari-harinya rakyat sudah hidup kesulitan ekonomi, maka inilah namanya bentuk “pemiskinan” yang terproduk secara dehumanisasi dan sistemikasi struktural.

Kekuatan lama (atau baru) yang pernah disebut oleh peneliti dan pengamat politik LIPI Hermawan Sulisttyo sebagai “orang-orang bermasalah” tentu tak menginginkan lahirnya dan memberdayanya komunitas pejuang (mujahid) dan pembaharu  (mujtahid) dari gerbong partai politik anak kandung reformasi. Mereka tak ingin apa yang selama ini diperoleh, dikuasai, dan dikultuskannya tiba-tiba terancam dan hendak direbut kekuatan baru.

Mereka sudah lama meraup kemapanan, hidup dalam buaian kenikmatan duniawi, larut dalam romantisme kekuasaan absolut, dan pesona tiranitas yang digelar sebagai kartu mati guna menghalau dan membunuh terbitnya fajar demokratisasi. Mereka telah jadi punggawa-punggawa atau setidaknya, komunitas elit yang sudah piawai mengakarkan jaringan kroni yang mengepakkan sayap-sayap  kekuatan dimana-mana dengan segala arogansi dan kenikmatan ekonominya.

Itulah yang membuat mereka  bernafsu tak ingin direcoki oleh kekuatan baru dari kaum idealistik yang bermaksud menawarkan pencerahan, mendekonstruksi kejahiliahan structural, yang nota bene sebagai salah satu parpol ancaman. Komunitas idealistik yang tidak mau jadi makmum Machiavelli  tentu ingin istiqamah dalam jihad  mengentas (memerdekakan) negara, yang  sudah sekian lama menempati posisi, meminjam kata sosiolog kenamaan Gunnar Myrdal “negara lembek” (soft state), suatu konstruksi negara yang dihuni dan dipilari oleh pejabat yang bermental indisipliner, parasit, asal bapak senang, main terabas, dan  kleptokratik.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES