Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ijtihad Politik Perempuan

Sabtu, 19 September 2020 - 14:25 | 49.91k
Dr. Hj. Ana Rokhmatussa’diyah, SH.MH, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma,  Penulis Buku dan  Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Dr. Hj. Ana Rokhmatussa’diyah, SH.MH, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma,  Penulis Buku dan  Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Area politik kontemporer mulai menempatkan perempuan sebagai subjek strategis dalam ranah publik. Perempuan bukan hanya tak dipandang sebelah mata lagi, tetapi diakui sebagai sosok dan komunitas pelaku sejarah yang kehadirannya diniscayakan sangat potensial mencerahkan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Fakta historisnya memang tak bisa dipungkiri kalau perempuan itu sudah membuktikan dirinya layak berperan “mengarsiteki” wilayah publik dengan tidak meninggalkan kodratnya sebagai pelaku fundamental wilayah domestik. Perempuan telah menghadirkan  apa yang disebut oleh penyair kenamaan Ahmad Syauqy Bey “masyarakat berkeringat harum”, karena berkat peran-peran yang telah ditunjukkan perempuan, masyarakat dan negara dapat menunjukkan jati dirinya.

Tampilnya perempuan dalam dunia panggung politik untuk tak dibedakan atau tak didiskriminasikan dengan kaum lelaki sudah direstui oleh konstitusi kita, seperti dalam pasal 28-I ayat (2), “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan  yang bersifat diskriminatif”.

Kata ‘setiap orang” menunjuk pada makna egalitarian dan demokratisasi, artinya baik lelaki maupun perempuan punya hak untuk disucikan dari perlakuan yang menghinakan berupa diskriminatif. Gender tak bisa dijadikan sebagai dalil politis untuk menempatkan  seseong, dalam hal ini perempuan dalam posisi subordinasi, sementara lelaki dalam posisi superioritas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kata “setiap orang” merupakan ruh yang membenarkan dan menghidupkan iklim dinamisasi  dan mobilisasi kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang sehat dan inklusif. Karena masing-masing orang berarti memperoleh garansi  dari negara untuk bisa melakukan “ijtihad” atau upaya-upaya positip-konstruktif yang membahagiakan, menyejahterakan, dan mencerahkan.

Ruang publik politik itu makin lebar  tatkala Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia juga melegitimasi ruang ijtihad  bagi perempuan.  Misalnya disebutkan dalam  pasal 46  Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan, anggota legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.

Posisi perempuan yang dapat garansi yuridis itu tergolong istimewa, karena idealnya masing-masing diri dalam kehidupan bernegara, terutama di panggung politik, masing-masing pelaku tanpa alasan gender punya hak kebebasan untuk bersaing dalam memperebutkan area dan pesona politik, dan bukannya ditentukan secara spesifik kalau harus ada keterwakilan perempuan.

Namun mengingat potret politik perempuan selama ini dirundung gelap akibat sistem politik di masa lalu tidak  memberikang tempat yang “memanusiakan” atau mendemokratisasikannya, maka garansi hukum yang diberikannya  semacam penegas bahwa, pertama, agenda sejarah perhelatan politik di Indonesia secara dominan (khususnya di rezim Orba) telah menempatkan perempuan sebagai objek yang tersubordinasi, bahkan “terjajah”.

Kalaupun ada  perempuan yang tampil di panggung politik, jika tidak betul-betul punya kapabilitas hebat, jelas akan terhadang dan bahkan terbendung untuk bisa mengisi dan berpartisipasi aktif dalam  area politik, atau  peran-peran yang dimainkan perempuan dalam berpolitik tak masuk dalam garapan strategis.  Bahkan ironisnya lagi, peran politiknya mencerminkan kalau keadirannya sekedar “diposisikan” atau masuk dalam prinsip karitas (pemberian).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedua, garansi hukum, termasuk kuota 30% yang diraih oleh perempuan  saat ini merupakan  bukti keberhasilan ijtihad  yang dilakukannya. Artinya perempuan tidak membiarkan dirinya jadi penonton, sehingga secara terus-menerus melakukan dan menggelar “gerilya-gerilya” moral dengan target terjadinya reformasi dan dekonstruksi ketidak-sehatan praktik  politik.

         Ijtihad itu dapat dinilai sebagai gerakan  feminitas yang mencoba menyembuhkan kultur maskulinitas yang selama ini tak mudah dibongkar gara-gara kaum lelaki dan sistem yang bertajuk maskulinisasi struktural yang dibangunnya  telah menghadang dan menutup gerak cerdas perempuan. 

Di era masa lalu, pperempuan tidak memiliki tempat dalam kehidupan publik. Konstruksi tak sehat ini kokoh menancap ribuan tahun, mendapatkan legitimasi dari tradisi, adat, maupun agama sehingga pola relasi dan pembagian (distribusi) peran itu seolah menjadi kebiasaan yang tidak mungkin diubah. Kaum lelaki mengontrol kuat seluruh domain kebudayaan, agama, ekonomi, dan politik, sementara perempuan adalah second man dan konco wingking lelaki.

Sekarang momentum transparansi, demoktratisasi, dan egaliterisasi sudah tersedia sebagai hak yang bisa dimanfaatkan perempuan. Perempuan tinggal menggencarkan melakukan, salah satunya, berbentuk ijtihad  politiknya untuk memberikan yang terbaik pad arakyat negeri ini. Disinilah ujian perempuan dipertaruhkannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. Hj. Ana Rokhmatussa’diyah, SH.MH, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma,  Penulis Buku dan  Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES