Kopi TIMES

Pak Arif Hoetoro dan Ide "Nakal"

Sabtu, 19 September 2020 - 09:48 | 145.41k
Akhmad Jayadi (Dosen FEB Unair Surabaya).
Akhmad Jayadi (Dosen FEB Unair Surabaya).

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Layaknya mahasiswa (rajin) lainnya, di smester VII saya sudah mengambil skripsi. “Tak ada nilai D, dan IPK di atas 3.00”, itulah pertanggungjawaban saya pada emak, bahwa dalam 3,5 tahun semua sudah rampung, kecuali skripsi. Entah kenapa, saya lalu memberanikan minta restu emak bahwa sembari mengerjakan skripsi, saya akan membaca buku-buku lainnya dulu. Dan kuwalat itupun terjadi. Saya benar-benar mengerjakan skripsi itu hingga 3,5 tahun berikutnya. Sempurnalah kuliah saya 7 tahun persis, layaknya segelintir mahasiswa (bandel) lainnya.

Itu tahun 2003, ketika saya menghadap Sekretaris Jurusan (Sesjur) Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP), Pak Bahtiar Fitanto, dan menyerahkan outline skripsi. Setelah dibaca, Pak Bahtiar lalu mengarahkan, “Kamu sebaiknya dibimbing oleh Pak Arif Hoetoro”. Saya hanya berkata siap. Bagi saya, siapapun pembimbing, itu adalah tantangan. Saya langsung menemui Pak Arif, dosen muda yang belum pernah mengajar saya. Orangnya super baik, rendah hati, halus bicaranya, Solo banget. 

***

“Oke Jayadi, apa idemu?” Saya sampaikan bahwa saya ingin menulis tentang ekonomi politik. “Khususnya?”, spesifiknya adalah deal uang, jatah, komisi dan kewenangan dalam pembuatan kebijakan publik. “Kebijakan yang mana?”, di DPR kata saya. “Apa contohnya?” Nah, di situ saya tersendat. Saya hanya tahu bahwa di senayan banyak UU dibuat secara transaksional, rent seeking istilahnya (saya baca dari buku Prof. Didik J. Rachbini). Saya bisa menyebut UU, tapi saya tidak bisa menunjukkan buktinya. 

“Kalau begitu, skripsimu kualitatif deskriptif, bahkan studi literature saja”. Saya mengangguk setuju. Lalu Pak Arif meminta saya menyusun bab 1 dulu, baru setelah selesai, saya boleh menghadapnya lagi. Nahasnya, bab 1 itu belum juga rampung dalam beberapa minggu. Saya lalu menghadap dengan wajah berharap permakluman.

“Bagaimana?” katanya. Saya hanya geleng kepala tanda menyerah. “Oke, mari kita diskusi. Kalau kamu memang ingin kualitatif, kenapa tidak tentang pemikiran tokoh saja?” Wah menarik juga itu, saya bilang. Karena memang teman seangkatan saya, Tedy, juga menulis skripsi tentang pemikiran Bung Hatta, di bawah bimbingan Prof. Ahmad Erani Yustika. 

Saya bersemangat sekali. Saya lalu menyampaikan tentang ide menulis filsafat ekonomi. Misalnya membedakan ekonom atau mazhab yang teoritis (epistemolog), dan mana yang gerakan (aksiolog). Ide itu akhirnya kandas juga ketika saya ditanya siapa saja filosof ekonomi kontemporer. Saya hanya bisa menyebut yang lama-lama. 

Lalu pembicaraan kesana kemari ke berbagai tokoh. Entah darimana, tiba-tiba Pak Arif dengan santainya menimpal, “Jangan salah. Tokoh non ekonom pun, bisa saja punya pandangan ekonomi pembangunan. Misalnya ya, ini misalnya lho, siapa tahu Amrozi, Mukhlas, Imam Samudra cs itu, punya ide tentang pembangunan?” !!!???!!!

Saya antara mau tertawa atau terpana. Ini ide nakal, tapi bisa jadi ini beneran. Saya tanya tentang mekanisme. “Ya, kamu harus ke Kerobokan, ijin untuk wawancara. Gali ide mereka tentang pembangunan.” Hmm.. untuk mahasiswa S1 dengan uang seadanya, lalu harus ke Bali untuk wawancara, saya kira itu ide gila. Saya anggap itu sebagai pancingan saja. Dan memang setelahnya kami tidak membahas topik itu lagi. Dugaan saya, Pak Arif ingin menguji keseriusan saya untuk garap skripsi kualitatif based on literature or indepth interview. Oke, saya give up.

Pertemuan-pertemuan selanjutnya lebih banyak membahas buku, fenomena ekonomi, peristiwa politik dan sebagainya. Ketika saya konsultasi, lalu ada mahasiswa IESP lain yang juga bimbingan, Pak Arif selalu bandingin saya dengan mahasiswa tersebut. Itu motivasi Pak Arif saja, agar saya mau berpacu dalam skripsi.

Lama-lama saya sungkan untuk konsultasi, dan tenggelam dalam aktivitas lainnya: baca buku, jualan, ikut demo, diskusi, jadi relawan, bikin posko, baksos di kampung, jaga warung, dll. Sampai pada suatu hari di tahun 2005 saya dipanggil oleh Pak Arif. Saya khawatir ditanya ini-itu. Di luar dugaan, Pak Arif pamit untuk S3 di Malaysia, sehingga tidak bisa lanjut membimbing, dan menyerahkan saya kembali ke jurusan. SesJur memutuskan pembimbing baru saya adalah Prof Khusnul Ashar. 

Lain dengan Pak Arif, lain pula dengan Pak Khusnul. Pada pertemuan pertama (dan itu sudah semester ke-13), saya langsung ke topik yang realisitis untuk saya kerjakan, yaitu tentang Program Pengembangan Kecamatan (PPK, belakangan menjadi PNPM Pedesaan). Saya ambil studi kasus di Sumenep, atas saran Pak Lendy Wibowo sebagai Konsultan Manajemen Provinsi yang tahu best practices. Dalam hitungan bulan skripsi kuantitatif itu selesai, dan saya selamat dari ‘lubang jarum’ pada Juli 2006.

Belasan tahun kemudian, dalam suatu kesempatan saya cerita tentang pengalaman ganti pembimbing pada beberapa teman. Prof Erani kebetulan mendengar, dan komentar, “Hanya mahasiswa hebat yang sampai ganti dosen pembimbing. Pembimbing pertama kewalahan”. Kalimat itu sesungguhnya satir, tapi saya menerimanya dengan senang hati. Karena faktanya saya memang bandel dan menyusahkan.

***

Kelak setelah saya menjadi dosen dan membimbing mahasiswa, saya selalu ingat Pak Arif, pembimbing yang tak sempat saya realisasikan idenya. Saya dengar kabar bahwa setelah meraih Ph.D, Pak Arif menjadi pakar (dan diamanahi ketua program studi) ekonomi islam di Universitas Brawijaya. Ia menerbitkan beberapa textbook bagus dan menjadi acuan banyak penelitian, yaitu tentang teori mikro, sejarah dan metodologi ekonomi islam. Di luar kampus, ia juga aktif di yayasan dan ormas islam seperti Muhammadiyah dan ICMI.

Kemarin, Rabu 16 September 2020, persis ketika putri bungsu saya genap berusia 1 tahun, berita duka itu saya terima. Pilu rasanya mengingat kebaikan Pak Arif. Selama bimbingan ia tidak pernah menegur saya. Konon ia alumni Pondok Pesantren Ngruki. Tidak heran jika pribadinya tawadu’, santun dan tidak neko-neko. Ia dosen yang serius, rajin dan sangat relijius. Perjuangannya untuk ilmu dan agama tidak diragukan.

Saya melihatnya terakhir kali di wide screen Dyandra CC Surabaya sebagai panelis debat putaran II calon Gub-Wagub Jawa Timur, Mei 2018. Kami tidak sempat salaman karena saya di baris paling belakang, sementara Pak Arif di sofa paling depan. Bulan tersebut saya ingat karena kebetulan saya juga panelis debat Bup-Wabup Pamekasan 2018.

Mengenang Pak Arif Hoetoro mengingatkan saya ihwal ide ‘nakal’ tentang konsep ekonomi pembangunan. Selamat jalan, ustadz…

Pamekasan, 17 September 2020.

***

*)Oleh: Akhmad Jayadi (Dosen FEB Unair Surabaya).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Bayhaqi Kadmi
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES