Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kemewahan Yang Menipu

Kamis, 17 September 2020 - 01:01 | 37.14k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum dan program pascasarjana Unisma Malang, serta Penulis buku Hukum dan Agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum dan program pascasarjana Unisma Malang, serta Penulis buku Hukum dan Agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam hidup ini memang seharusnya kita tidak gampang silau dengan penampilan mewah seseorang, pasalnya dalam kemewahan ini tidak jarang mengandung unsur menipu. Repotnya, kita gampang sekali terseret dalam pengakuan dan bahkan pembenaran kalua kemewahan adalah segala-galanya.

Alkisah, dalam suatu forum dimana berkumpul para sahabat, sahabat Umar bin Khattab dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang mengenakan pakaian mewah dan  memakai wewangian yang termahal atau berpenampilan istimewa. Menyaksikan kehadiran orang ini, Umar kemudian bertanya kepada seseorang:

“siapakah dia?,”

“bukan siapa-siapa,  hanya seseorang yang suka berpakaian mahal atau berpenampilan mewah,” jawab salah seorang sahabat

“dengan pakaian dan wewangian yang mahal itu, tentulah dia dari keluarga dan keturunan berderajat.

“tidak juga,” jawab sahabat yang lain.

“bukankah pakaian menunjukkan keberadaannya. Kalau pakaiannya serba mahal, tentulah dia punya kekayaan yang banyak”

“dia tidak bekerja” (pengangguran), tegas sahabat lainnya.

“bagaimana dia bisa punya pakaian mahal kalau tidak bekerja”

“dia meminta kepada orang tuanya”

Mendengar jawaban sahabat tersebut, Umar lantas tidak lagi respek dengan penampilan orang tersebut. Umar kemudian berkata: “orang tersebut menjadi rendah di mataku”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Mengapa Umar bin Khattab, yang dikenal sebagai salah seorang khalifah pemberani, tegas, berwibawa, dan adil ini memandang rendah orang tersebut? Apakah karena mewahnya  penampilan membuatnya secara otomatis tidak menarik di mata Umar.

Bukan soal mewahnya penampilan yang membuat Umar tidak respek. Siapapun di dunia ini berkah mempunyai penampilan yang bermacam-macam, termasuk penampilan yang mewah, masalahnya bagi Umar, adalah darimanakah sumber yang digunakan untuk “mendisain”  penampilannya?

Dalam agama Islam, Tuhan menilai seorang hambaNya memang bukan dari sudut penampilannya, tetapi dari sisi ketakwaannya. Ketakwaan manusia yang mendapatkan evaluasi tertinggi di mataNya ini berkenaan dengan aktifitas yang ditunjukkannya. Selama aktifitasnya bermakna, berguna, atau memberikan nilai manfaat baik bagi diri, sesama, maupun bangsanya, maka Tuhan akan menghargainya.

Berpakaian dengan kadar tertentu adalah manusiawi, selama pakaian yang ditunjukkan ini mencerminkan keberadaan dirinya, bukan hasil rekayasa yang sebenarnya menipu atau mendustai kemampuannya. Pakaian adalah atribut yang ketika pertama kali bertemu dengan seseorang, akan cepat mengundang tanggapan, baik yang bersifat kekaguman maupun cibiran.

Sangatlah ironis ketika pakaian yang dikenakan ternyata bertolak belakangan dengan dirinya. Posisi sebagai penganggur atau tidak punya pekerjaan misalnya, adalah identitas yang selayaknya tidak diimbangi dengan cara mengenakan pakaian mahal, apalagi kalau pakaian ini diperoleh dengan memaksakan diri, melanggar hukum, atau membebani diri dan orang lain, yang kondisi seperti nyatanya gampang kita temukan di masyarakat.

Penampilan atau pakaian yang dikritik oleh Umar di atas tidak semata tertuju pada kemewahan yang dikenakan seseorang, tetapi lebih kepada kondisi bertolak belakang antara penampilan dengan aktifitas seseorang.

Siapapun orangnya tentu berkeinginan punya penampilan yang baik dan mendapatkan label publik yang tidak berupa cibiran., apalagi umpatan dan hinaan. Label sebagai sosok  yang baik, sopan, dan kredibel, adalah dambaan umum setiap orang ketika mengemas dirinya dalam penampilan atau berpakaian.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Atribut saja tidaklah cukup, karena ajaran Islam menggariskan bahwa setiap orang akan dihargai dan dihormati berdasarkan usaha-usaha keras yang ditunjukkannya. Penampilan saja belum cukup jika tidak diikuti dengan kerja keras secara individual maupun kolektif. Dari kerja keras ini, bukan hanya prestasi kebermaknaan yang bisa diraih, tetapi reputasi pun bisa diperolehnya.

Nabi Muhammad SAW pun tidak menyukai seseorang yang membiarkan dirinya jadi penganggur dan hidup bermewah-mewah. Beliau menghormati dan memuji orang-orang yang hidupnya tidak “miskin” kreatifitas, tidak membiarkan dirinya stagnan, atau hanya berpangku tangan. 

Tangan berotot, kasar  atau banyak bekas yang tidak menyenangkan (tidak lagi halus) karena digunakan  untuk bekerja merupakan tangan yang juga disukai olehNya dibandingkan tangan halus yang tidak banyak digunakan aktifitas bermakna.

Apresiasi tersebut menunjukkan, bahwa ajaran Islam menekankan kepada setiap pemeluknya untuk tidak menjadi penganggur dan bergaya hidup santai, apalagi sampai terlena dengan gaya hidup asal distigma mewah.

Berbuat dan berbuat, mencoba dan mencoba, atau berkreasi dan berkreasi  merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang bercita-cita mewujudkan perubahan, baik untuk diri, keluarga, masyarakat, maupun bangsanya. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum dan program pascasarjana Unisma Malang, serta Penulis buku Hukum dan Agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES