Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kapan Rakyat Bisa “Ningrat”?

Selasa, 15 September 2020 - 16:00 | 42.42k
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGAda kata mutiara berbunyi ad astra per aspera”, yang  artinya seseorang bisa mencapai bintang melalui pengorbanan, rintangan, kesulitan.

Jika kata ini kita gunakan untuk menyemangati  diri sebagai subyek bangsa Indonesia, maka dapat diinterpretasikan,  bahwa hingga sekarang mereka belum bisa bisa “meraih bintang”, pasalnya syarat ada kerelaan berkorban, keberanian manjawab (membebaskan) diri dari tantangan, atau tidak membiarkan orang lain (rakyat) menjalani hidup dalam penderitaan, belum dijadikan “proyek” empirik yang diwujudkan oleh semangat dan aksi militansi.

Saat kita menduduki status sebagai sekumpulan elite kekuasaan yang digaji besar oleh negara, kita tentu belum berani memberikan gelar pada rakyat Indonesia sebagai rakyat yang sudah sukses menikmati kedamaian, keadilan, kenyamanan, bebas dari ketakutan, dan kesejahteraan ekonomi, pasalnya senyatanya kita masih lebih suka nemilih jalan apatis dan monologis.

Kita masih tampak sering menunjukkan sikap paradoksal dan ambiguitas.  Saat kita berpidato dengan sarat janji sebagai pejabat atau penguasa baru, di hadapan warga akar rumput atau pegawai golongan rendah, sering sekali ada beberapa baris kalimat “manis” yang kita ucapkan yang menyebut bahwa masyarakat benar-benar telah menikmati  kesejahteraan atau kondisi ekonominya semakin membaik, padahal kita tidak pernah melihat realitasnya kalau mereka sebenarnya belum “manusiawi”, atau masih berada dalam cengkeraman kemiskinan, pengangguran, ketidakterdidikan, kelaparan, gizi buruk, dan berbagai bentuk ketidakberdayaan lainnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ironis sekali, kita sering lantang “berkhutbah” di hadapan masyarakat itu, kalau kita sudah menjadi pejabat di lini strategis dengan dukungan anggaran kegiatan miliaran atau trilyunan rupiah untuk “memajukan” negeri, padahal faktanya kita masih menjadi punggawa yang benar-benar “miskin” kinerja dan amanat, sehingga tentu saja  gagal “memanusiakan” rakyat, khususnya di wilayah pinggiran dan pedalaman. 

Fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa kita ini belum militan untuk menfokuskan pada gerakan “pemanusiaan” masyarakat dari ketertindasan menuju atmosfir kehidupan yang memberdayakan dan mencerahkannya.

Kita masih  sangat arogan meraih atau menduduki jabatan baru, yang senyatanya lebih digunakan sebagai instrumen “kaningratan” dan pengobral janji, dan bukan amanat yang berorientasi memberikan bukti dalam mempersembahkan yang terbaik pada masyarakat negeri ini.

Sebagai refleksi, benarkah kita yang merasa “ningrat” itu mengingat terhadap sumpah “atas nama Allah/Tuhan”  yang dilantunkannya dengan keras, manakala dirinya dihadapkan dengan “proyek-proyek” structural dan sosial-kemanusiaan masyarakat yang menuntut dilaksanakannya secara maksimal dan jujur?

Jawaban jujur atas itu, kita belum jadi kaum “ningrat” yang sibuk membuat rakyat atau menjadi “ningrat” hidupnya. Kita terkadang atau bahkan lebih senang lebih memilih kegiatan atas nama negara yang bisa mendatangkan keuntungan berlipat ganda demi pribadi, anak, isteri, kroni, dan partai daripada menyibukkan diri memproduk legislasi atau menjalankan diskresi pembangunan yang “meningratkan” rakyat.

Bagaimana kita bisa sampai “meraih bintang” kalau penyakit kita yang bernama korupsi masih terbiarkan menyerang hampir di semua lini kehidupan. Begitu akutnya korupsi di negeri ini, sampai ada pernyataan bahwa mencari koruptor itu jauh lebih mudah dibandingkan mencari orang baik. Mencari sosok yang baik diantara kita, jauh lebih sulit dibandingkan dengan mencari dan menemukan yang berkelakuan koruptif.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kita masih lebih memilih jadi demagogis atau sosok yang mendustai dan mempermainkan etik profetis. Mereka masih senang tergelincir dalam praktik menyelingkuhi amanat yuridis atau sambil canda berujar ”kalau sampai berurusan dengan hukum (KPK), berarti sedang tidak bernasib baik”.

Terbukti, kecenderungan menjadi ”kleptokratis” itu bukan label tanpa alasan, pasalnya selama ini, mereka yang bermasalah secara hukum seperti pepatah mati satu tumbuh seribu di kalangan elitis kekuasaan.  Beberapa orang sudah atau sedang menjadi pesakitan, tidak lama kemudian tumbuh bersemai yang lainnya, padahal seharusnya pejuang-pejuang pembebasanlah yang bermunculan di tengah masyarakat, dan bukannya parasit yang liar dan liberal merampok hak-hak rakyat.

Idealnya kita itu mestinya bisa mengisi agenda progresifitas kinerja dengan memasifikasi gerakan menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Sebagai penjaga dan pengelola rezim yang secara umum kumpulan ”yang terpelajar”, yang sudah diikat dengan traktat moral untuk menegakkan amanat dalam mewujudkan idealitas negara hukumdan negara berbasis kesejahteraan, maka semestinya  kita tunjukkan kalau kita tidak main-main.

Kondisi tersebut sejatinya sebagai  eksaminasi etis terhadap kebiasaan kita yang lebih disibukkan menyiapkan ritus seremonial  kekuasaan atau “penasbihan” kepentingan eksklusif daripada memenuhi tuntutan kewajiban sebagai pengabdi rakyat yang harus menunjukkan peran kepejuangn guna menyebarkan dan menyuburkan penyejahteraan dimana-mana.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES