Kopi TIMES

Perempuan dan Budaya Patriarki

Senin, 14 September 2020 - 19:12 | 289.72k
Fita Dwi Oktavia, Mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Peradaban Bumiayu.
Fita Dwi Oktavia, Mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Peradaban Bumiayu.

TIMESINDONESIA, BREBES – Patriarki ialah rules of father yang artinya sebuah aturan yang mengikuti tradisi kebapakan. Ada pandangan paternalis ketika berbicara tentang patriarki, keberadaan laki-laki yang menentukan tercapainya struktur fungsionalisme dalam keluarga. Bukan perempuan.

Peran aktor yang sangat diperhatikan yaitu garis keturunan laki-laki atau bapak. Prasyarat dalam menciptakan tatanan sistem sosial yang terkonstruksi menjadi sebuah tolak ukur itu adalah laki-laki.

Ada persepsi gender, laki-laki dan perempuan memiliki sifat yang berbeda, laki-laki lebih mendominasi sisi penghargaan, penghormatan, dan menjaga kewibawaan dibanding perempuan, dan secara keseluruhan laki-laki dianggap berperan penting dalam mengangkat harkat perempuan. 

Budaya patriarki nyatanya sudah ada sejak dulu.  Ada pemahaman bahwa kaum hawa direndahkan dan itu terjadi tidak hanya di Indonesia saja melainkan terjadi di berbagai belahan dunia. Akar budaya patriarki sudah terpatri jauh sebelum abad modern datang.

Sebagai contoh di negara Arab, ada ketidaksetaraan yang merendahkan posisi perempuan. Keadaan perempuan pada masa Arab Jahiliyyah ialah perempuan terhalang dari hak mewarisi secara mutlak, sebab warisan terbatas dan diperuntukkan oleh kaum laki-laki saja dalam pandangan mereka. Bayi perempuan tidak mendapat hak hidup sama sekali, bahkan tak segan untuk menguburnya begitu ia terlahir ke dunia. Perempuan dianggap sebagai dalang atau penyebab dari kemiskinan dan bencana yang terjadi. 

Di Yunani perempuan itu seperti sebuah barang yang layak diperjual belikan, tidak memiliki derajat sosial sama sekali. Bahkan statemen perempuan Yunani pada masa itu tak lain hanya sebagai penerus keturunan saja, perempuan berfungsi hanya sebagai melahirkan anak, sebagai generasi penerus. Tak mendapat perlakuan yang layak sebagai seorang ibu dan istri sebab ruang gerak perempuan sangat dibatasi oleh kaum adam. 

Lalu di Indonesia sendiri, ada yang menarik untuk disimak, yaitu budaya patriarki dalam suku Jawa. Sebagai contoh, tradisi kungkungan adat, yang menyatakan bahwa perempuan itu tidak bebas dalam beraktivitas. Perempuan itu harus dipingit ketika memasuki usia baligh, dan tak lama setelah itu harus mau dinikahkan dengan lelaki yang tidak dikenalnya. Tidak diperbolehkan menolak apalagi komplain terhadap pilihan jodohnya yang ditentukan oleh orangtuanya. Perempuan itu kodratnya di rumah, melakukan pekerjaan di ranah domestik, mulai dari melayani suami, melahirkan serta membesarkan anak-anaknya. Dan ini mempengaruhi citra seorang perempuan Jawa.

Selain itu terdapat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa perempuan Jawa itu wani di toto yang artinya harus bisa masak, mengurus rumah tangga, kekuasaan yang dipegangnya hanya berkutat pada area dapur, sumur, dan kasur. Semua itu harus bisa dilakukan perempuan Jawa, bila salah satu unsur tidak bisa terpenuhi mendapatkan stigma negatif, tidak pantas, dan mendapat gunjingan. 

Memasuki abad modern, memasuki perkembangan Iptek yang kian pesat, pemikiran tentang perempuan mulai berubah. Peran dan posisi perempuan yang sebenarnya mulai diperbincangkan, yang tidak merugikan, yang tidak merendahkan harkat dan martabat perempuan, dan sebisa mungkin mampu membangun cinta yang setara antara laki-laki dan perempuan. Serta mampu membunuh hantu-hantu patriarki yang tidak selaras dengan kondisi perempuan, dan mampu meluruskan pemikiran yang keliru. 

Berbicara budaya patriarki erat kaitannya dengan menyuarakan kesetaraan gender, dan gerakan feminisme yang sering digaungkan. Namun, pengertian dari feminisme sendiri sering disalahartikan oleh kebanyakan orang. Sering kali, feminisme dipandang secara keliru sebagai sebuah paham yang menyalahi kodrat dan anti terhadap kaum laki-laki.

Perlu digaris bawahi bahwa pengertian feminis sesungguhnya ialah merujuk pada dua hal yaitu, pertama menyadari kenyataan dan kesadaran akan masih terjadinya ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Dan yang kedua, keyakinan bahwa hal tersebut tidak layak terjadi. Feminisme bukan semata-mata sebagai bentuk kepercayaan saja, tetapi juga dibarengi dengan tindakan dan aksi nyata. Berjuang secara aktif untuk mewujudkan keadilan bagi perempuan, mengakhiri segala bentuk penindasan terhadap perempuan, entah itu rasisme, dan penindasan seksis terhadap perempuan

***

*) Oleh: Fita Dwi Oktavia, Mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Peradaban Bumiayu.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES