Kopi TIMES

Corona dan Kemerosotan Ekonomi Petani

Senin, 14 September 2020 - 18:25 | 78.50k
Ahmad Sulthon Zainawi, Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia.
Ahmad Sulthon Zainawi, Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Penerapan jarak fisik dan sosial atau social distancing di tengah pandemi Covid-19 membatasi manusia untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga pekerjaan yang harus diselesaikan oleh beberapa orang menjadi terkendala karena aturan dan protokol kesehatan. Bahkan pekerjaan yang membutuhkan relasi dengan pihak lain seperti pedagang, misalnya. Seringkali mendapat kerugian karena modal yang dikeluarkan tak sepadan dengan hasil yang didapatkan.

Persoalan tentang ekonomi di saat pendemi ini merupakan salah satu hal yang sangat rumit dibandingkan dengan persoalan lainnya sebab ini dapat memicu kebingungan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dalam keseharian yang akhirnya bermuara kepada tindakan kurang etis, bahkan lebih parahnya mereka melakukan sebuah pemberontakan.

Beberapa hari yang lalu petani di Kecamatan Paiton melakukan aksi yang cukup fatal. Mereka menebang tanaman tembakunya di sawah dan membakar hasil panen tembakau mereka yang siap dijual. Tindakan ini dilakukan karena kekecewaan mereka terhadap pemerintah daerah yang menutup mata atas keadaan petani. Di sisi lain ini juga disebabkan oleh gudang penyerap tembakau yang tak kunjung buka sehingga berdampak kepada tembakau petani menjadi tidak laku.

Dalam wawancara yang dilakukan oleh wartawan Pantura News kepada salah satu petani tembakau sana pada hari Senin (31/08) kemarin “kekecewaan masyarakat bukan hanya ketika pasca panen, pasca tanam pun mereka harus bersusah payah untuk modal membajak sawah belum lagi diceking oleh persoalan pupuk. Bukan hanya itu, harga tembakau tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi”. Ujar Fadhol, salah satu petani.

Menurut Fadhol, langkah yang diambil oleh petani waktu itu merupakan satu-satunya langkah untuk menyadarkan pemerintah daerah yang kurang peduli atas problematika ini dan menghentikan aksi gudang penyerap tembakau yang memainkan isu tersebut. Tutupnya gudang penyerap tembakau memanfaatkan petani dengan menekan harga tembakaunya. 

Padahal dalam Undang-Undang no. 13 tahun 2013 yang disahkan oleh presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 6 Agustus 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, tertera jelas bahwa maksud diterbitkannya Undang-Undang tersebut tak lain untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik serta melindungi petani dari kegagalan panen dan resiko harga, bukan malah menyengsarakan kehidupan petani.

Respon Pemerintah Daerah

Berdasarkan hasil observasi di Kabupaten Probolinggo pada hari Kamis (03/09) kemarin dan sebagaimana yang dijelaskan juga di Kompas.com tentang tanggpan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Dearah (DPRD) Kabupaten Probolinggo. Sebenarnya prespektif rakyat terhadap Pemerintah daerah tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Probolinggo, Wahid Nurahman. Bukan berarti apatis melihat kepada fenomena genting yang terjadi akhir-akhir ini. Beberapa langkah untuk mengetahui sebab penyebab dan solusi telah dilakukan oleh anggota Komisi II DPRD kabupaten Probolinggo.

Pada hari Rabu (02/09) kemarin. Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Probolinggo mendatangi pimpinan gudang penyerap tembakau di Kabupaten Probolinggo. Menurutnya, sebagaimana yang diungkapakan dalam RMOLJATIM.ID ia sudah melakukan lagkah sebelumnya, bahkan sudah bertemu langsung dengan dinas terkait Pemkab Probolinggo.

Sebelum mendatangi pimpinan gudang, anggota Komisi II DPRD Kabupaten Probolinggo menghubungi salah satu pihak gudang pada hari Senin (31/08) agar gudang tembakau segera dibuka dalam waktu dekat. Hanya saja untuk waktu ini yang kebetulan bertepatan dengan musim panen tembakau gudang belum siap buka karena tidak ingin menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.

Ia juga menyarankan agar harga beli yang ditetapkan oleh gudang kepada petani sesuai dengan harga eceran tembakau. Artinya, gudang tidak menetapkan harga murah yang cukup merugikan petani demi mencegah konflik vital yang akan terjadi di kemudian hari. Di samping itu, ia juga menyarankan agar Pemkab Probolinggo juga ikut turun dan andil dalam permasalahan ini.   

Sebenarnya anggota Komisi II DPRD Kabupaten Probolinggo ini juga mengharapkan agar petani di Kabupaten Probolinggo tidak rugi sebab biaya yang dikeluarkan dari awal penanaman tembakau hingga sampai panen tidak sedikit nominalnya. Selain itu tembakau juga merupakan ciri khas Jawa Timur umumnya, Kabupaten Probolinggo khususnya.       

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, Kabupaten Probolinggo menempatkan posisi keempat sebagai produsen tembakau terbesar di Jawa Timur setelah Kabupaten Pamekasan, Jember, dan Sumenep dengan tujuh gudang penyerap tembakau yaitu Gudang garam, Djarum, Sampoerna, Wismilak, Nojorono, 88, dan PT. Sadana.

Terlepas dari pro kontra konflik ini, sejatinya petani juga harus bisa mengerti tentang keadaan pemerintah daerah dan gudang di saat pandemi ini. Apalagi Kabupaten Probolinggo masuk kepada salah satu Kabupaten berzona merah. Maka pantas apabila gudang ditutup dengan alasan untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan apabila harus dibuka maka gudang penyerap tembakau membutuhkan prtokol kesehatan yang cukup rumit.

Di sisi lain, gudang yang buka juga perlu menghargai usaha Petani dengan membeli hasil panennya dengan harga yang sepadan dan mengedepankan produk lokalnya. Sebab menurut Fadhol, salah satu petani, harga tembakau 10.000 harus diantarkan ke gudang. Maka tidak ada hasil yang didapatkan oleh petani dari hasil panen tembakaunya. Ini justru melenceng dari penjelasan Undang-Undang No. 13 tahun 2013 tentang perlindungan petani dari resiko harga.

Ditambah lagi kepada persoalan Gudang yang mengalihkan fokus bisnis ke luar Kabupaten Probolinggo dan tidak membeli tembakau lokal sehingga ketika musim panen tembakau lokal tidak laku sebagaimana yang diucapkan oleh Kepala Diskominfo, Statistik, dan Persandian pada hari Selasa (01/09) kemarin dalam Kompas.com.

***

*) Oleh: Ahmad Sulthon Zainawi, Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES