Kopi TIMES

Kandidat Pilkada: Vote Getter, Solidarity Maker, atau Leadershipnya?

Senin, 14 September 2020 - 14:28 | 58.42k
Choirul Amin, kolumnis, founder inspirasicendeki.com, Bekas relawan Jaringan JPPR Malang Pemilu 2009.
Choirul Amin, kolumnis, founder inspirasicendeki.com, Bekas relawan Jaringan JPPR Malang Pemilu 2009.

TIMESINDONESIA, MALANGKONTESTASI dan kemenangan pemilihan kepala daerah (pilkada) sangat dipengaruhi banyak hal. Paling utama, sosok figur yang diusulkan dan maju dalam pencalonan. Siapa saja kandidat yang muncul, tak dinafikan pula memengaruhi tingkat partisipasi publik untuk menggunakan hak pilihnya. 

Membaca kontestasi perebutan kepala daerah di Kabupaten Malang, sementara sudah pasti muncul dua pasangan calon yang bakal bersaing. Mereka adalah paslon Latifah Sochib-Didik Budi Mulyono (dengan label LaDub) dan paslon petahana, Sanusi-Didik Gatot Subroto (SanDi). Dua paslon kandidat pilkada Malang ini pun disebut-sebut sejatinya pertarungan head-to-head pengusungnya, antara partai PDIP dan koalisinya versus partai PKB (plus Hanura).

Jika dilihat pada basis calon pemilih, kontestasi pilkada Kabupaten Malang bisa disimpulkan juga sebagai unjuk kekuatan primordialisme vs ideologis, antara (mayoritas) 'abang-ijo' yang sebenarnya. Tetapi, memilih tetaplah masalah privat dan pilihan politik, yang bisa saja bergantung pada banyak hal, melebihi primordialisme dan idealisme apapun. 

Dari hitungan matematis, berdasarkan perolehan suara parpol saat Pemilu 2019 lalu, sangat jelas. Paslon SanDi yang juga didukung lima parpol pengusung (Partai NasDem, Gerindra, Demokrat, Golkar, PPP), modal perolehan suaranya jauh lebih unggul. Total perolehan suara koalisi ini mencapai 953.352 suara, dibanding perolehan suara PKB plus Hanura, sejumlah 306.523 suara (sumber: KPU Kabupaten Malang).

KPU Kabupaten Malang mencatat, total suara sah yang diberikan pemilih pada semua parpol peserta pemilu 2019 lalu sejumlah 1,45 juta lebih suara. Dengan demikian, berapa kebutuhan suara tiap paslon untuk bisa memenangi pilkada kali ini tentu sudah bisa dihitung dan diprediksi. Pertanyaannya kemudian, ceruk pemilih mana yang akan disasar dan digali? Perlu dipikirkan juga, kemungkinan suara mengambang, partisipasi pemilih, dalam keniscayaan situasi saat ini. 

Vote Getter, Tak Cukup

Konteks pilkada Kabupaten Malang tahun ini tentunya harus disikapi berbeda dibanding pilkada sebelumnya. Kontestasi figur paslon yang ada memang hampir sama, tukar posisi saja, saat Pilbup 2015 lalu. Perbedaan mencoloknya, ada pada dipinangnya petahana sebagai bekas kader parpol pengusung rival, dan lebih gemuknya koalisi pengusung sang petahana. 

Dan, sementara masih minus paslon perseorangan alias jalur independen. Tetapi, peluang perseorangan meramaikan kontestasi masih terbuka. Jika paslon perseorangan benar-benar lolos, tentu akan mengubah dan mewarnai peta kontestasi pada Pilbup Malang yang bakal digelar 9 Desember 2020 mendatang ini. 

Eitts...tunggu dulu! Fakta dan hitungan matematis suara di atas kertas, tak serta merta jadi jaminan kemenangan. Ingat yang terjadi saat pemilu 2019, bisa jadi pemilih sebenarnya tidak memahami saat menentukan pilihannya. Kartu suara superlebar, berisi nomor partai dan daftar caleg peserta pemilu, sempat membingungkan pemilih. Angka suara tidak sah, salah coblos, atau coblos dua kali, menunjukkan kebingungan pemilih. Bisa jadi, perolehan suara tiap parpol peserta ini, tidak mencerminkan seutuhnya pilihan konstituen. Kita lihat saja perbedaannya pada pilkada 2020 ini. 

Ceruk pemilih konstituen parpol ini yang nantinya bakal tak mudah dipastikan. Saat pemungutan, yang dimunculkan utamanya tentun gambar foto paslon dan nomor urutnya, bukan menampilkan gambar partai besar-besar. Dalam konteks ini, siapa figur paslon yang dikenali pemilih mungkin yang akan banyak dicoblos. Ya, popularitas figur memang penting sebagai pendulang suara (vote getter).

Tim pendukung pun harus jeli. Siapa petahana dan pasangannya, atau siapa pula paslon rival, masing-masing harus dipastikan, apakah juga dikenali dengan baik konstituen parpol pengusungnya. Jangan-jangan, 2 juta lebih warga Kabupaten Malang yang mayoritas masih di wilayah pedesaan, tidak tahu siapa bupati dan wakilnya saat ini. Sebaliknya, banyak yang tahunya justru sosok kepala daerah lama yang sudah tak lagi menjabat. 

Sedikit membaca kekuatan vote-getter paslon, memang belum cukup menjanjikan. Paslon yang diusung PDIP dan koalisinya misalnya, setidaknya bisa dilihat kekuatan seorang Didik Gatot, sebagai pasangan petahana. Didik Gatot memang sukses menjadi ketua DPRD Kabupaten Malang saat ini. Namun, bisa dilihat perolehan suaranya saat pileg 2019 lalu. Di dapil 6 (Lawang-Pakis-Singosari) dengan 401.347 pemilih, ia mendapatkan kursi peringkat 3, yang disusul di bawahnya caleg kolega partainya. 

Perolehan suaranya masih kalah dari caleg dari PKB (tertinggi) dan Gerindra. Totalnya, komposisi kursi dewan berdasarkan suara pileg kemarin adalah PKB (1), Gerindra (1), PDIP (2), partai Golkar (2), NasDem (1), dan partai Demokrat (1). Jika semua vote-getter ini terjun total menjadi mesin pendulang pada pilkada kali ini, kita lihat saja konsistensi hasil suara yang didapat nantinya! 

Pemilih Sama, Perlu Solidarity Maker

Calon pemilih Pilbup Malang tahun ini juga ada di mayoritas masyarakat lapisan akar rumput yang sama. Mereka sebenarnya bukan konstituen (non-partisan), namun memiliki ikatan emosional dan primordial kuat pada sesepuh atau tokoh di lingkungannya. 

Ceruk pemilih sama ini pula yang harus pandai-pandai dan arif disikapi tim paslon. SanDi dengan ikon 'Abah Sanusi' atau LaDub dengan ikon 'Bu Nyai', tentu bukan tanpa alasan dan punya tujuan tersendiri. Pencitraan yang sama-sama menunjukkan ketokohan dalam lingkup dan sosiokultur masyarakat tertentu. Pendek kata, ketokohan seorang 'abah' atau 'bu nyai' bukanlah sebutan sembarangan, setidaknya sama-sama bermakna orang yang dihormati, dituakan, dan punya pengikut. 

Bagi calon pemilih, akan menjadi kebingungan dan serba berat hati tentunya, ketika dihadapkan pada dua pilihan memilih tokoh panutan di saat bersamaan. Kebingungan yang rentan menimbulkan ketidaknyamanan, bahkan gesekan antarpendukung. Saling klaim pengikut (jamaah) sangat mungkin bisa terjadi. Jika tidak dewasa menyikapi, bisa menjadi sumber perpecahan baru. 

Di awal pencalonan, kekhawatiran ini justru sudah terjadi di tubuh elit salah satu parpol sendiri. Petahana dan sejumlah kader loyalisnya, sudah lebih dulu hengkang dari partai yang membesarkannnya. Dan, kini berbalik menjadi rival dalam kontestasi pilkada Kabupaten Malang. Semoga hal serupa tidak terjadi di kalangan ummat dan jamaah nantinya. 

Nahh...dalam konteks ini, dibutuhkan sosok yang tak hanya pendulang suara, melainkan juga bisa membangun keutuhan solidaritas (solidarity maker). Dan, ini juga bisa selalu bisa dilakukan para kandidat paslon, berikut tim pengusungnya. Ceruk pemilih paternalistik, dengan primordialisme yang sama, juga harus diperhatikan pengaruh dan dampak non-politisnya. 

Terakhir, calon pemilih yang lebih rasional dan tak berpikir dukung-mendukung, tak bisa dinafikan begitu saja. Meski sulit dikalkulasi persentase jumlahnya, bisa jadi suara klaster pemilih ini sangat menentukan. Leadership (kepemimpinan) calon kepala daerah lah yang lebih bisa ditawarkan di hadapan mereka. 

Mereka lebih cerdas bahkan kritis, dan tidak perlu dimobilisasi pilihan dan dukungannya. Tak hanya siapa figurnya, namun juga seperti apa kapasitas kepemimpinan dan apa yang akan dilakukan calon kepala daerah lah, yang lebih menjadi pertimbangan pemilih ini memberikan suaranya nanti.

Pilkada adalah harapan! Produk (pemimpin) yang dihasilkan, itu yang diharapkan publik bisa mewujudkannya. Sekali lagi, kontestasi kepala daerah jangan hanya soal mendulang suara 2 juta lebih pemilih. Namun, bagaimana kehidupan sosial tetap terjalin, dan kapasitas kepemimpinan bisa menjamin terwjudunya kemaslahatan bersama. Semoga! (*)

***

*) Oleh: Choirul Amin, kolumnis, founder inspirasicendeki.com, Bekas relawan Jaringan JPPR Malang Pemilu 2009.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES