Kopi TIMES

Demokrasi Gus Dur dalam Bulatan Bola

Minggu, 13 September 2020 - 17:26 | 70.90k
Dodik Harnadi, Anggota Dewan Riset Daerah Bondowoso.
Dodik Harnadi, Anggota Dewan Riset Daerah Bondowoso.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur, Sindhunata mengutip kata-kata Cesar Luis Menotti mantan pemain dan pelatih Argentina “Kesebelasan tanpa pemain bintang seperti negeri tanpa penyair” untuk memberikan perspektif alternatif dalam melihat  situasi kepemimpinan yang dihadapi Gus Dur (Sindhunata, 2010:183). Sebelumnya, Sindhunata pernah membaca kepemimpinan Gus Dur dengan menggunakan simbolisme sepak bola yang secara brilian dijawab pula oleh Gus Dur dengan bahasa yang sama.

Secara spekulatif, Sindhunata hendak menyampaikan pesan, bahwa konsep kepemimpinan Gus Dur terlihat belum maksimal dalam implementasinya, lebih disebabkan oleh ketiadaan ‘pemain bintang’ di semua lini permainan.  Gus Dur yang visionir, lincah, dan kreatif selalu menampilkan pola kepemimpinan yang tanpa pekam dan-akibatnya- tidak mudah ditebak. Sementara pada saat yang bersamaan, tidak semua personil dalan tim Gus Dur yang mampu menerjemahkan gagasan dan konsep kepemimpinannya secara tepat.

Di sinilah sang presiden menunjukkan sisi kemanusiaannya, di mana Gus Dur bisa salah membaca dan memperhitungkan keadaan, termasuk dalam menyusun ‘starting lineup’ yang akan diajaknya bertarung. Akibatnya, bahasa kepemimpinan Gus Dur yang jenius kadang tak mampu diterjemahkan secara tepat oleh ‘pemain’ di sekelilingnya. Bahkan, ketidaktepatan membaca Gus Dur sering membawa kepada kesimpulan sisi kontroversial Gus Dur.

Dalam spektrum ini, komentar salah seorang kiai yang dikutip Yenny Wahid dalam melukiskan kepemimpinan ayahanda menjadi relevan. Menurutnya, Gus Dur ibarat kereta api ekspres dengan kekuatan supersonik, membawa gerbong kereta yang sudah tua. Dampaknya, orang-orang yang berada di sekitar Gus Dur kewalahan mengikuti ritme kepemimpinannya.

Kembali kata Sindhunata, Gus Dur ibarat Johan Cruyff dalam karir sepak bola. Cruyff menjadi sosok paling berpengaruh dalam sejarah sepak bola era 90-an. Total foottball, menjadi filosofi yang menyatu dengan karakter permainannya. Namun, Cruyff yang sukses sebagai pemain, tak mampu berbicara banyak saat beralih status sebagai arsitek  permainan.

‘Dewi Fortuna’ mungkin tidak berpihak kepada mereka. Keduanya menghadapi realitas yang sama di luar jangkauan kecerdasan dan skill individu mereka. Mereka sama-sama ingin menerapkan total football, namun apa daya, kesebelasan mereka, kata Sindhunata, tak mampu memainkannya, disebabkan kualitas pemain yang di bawah rata-rata.

Gus Dur maupun Cruyff, tidak seberuntung nasib salah satu superstar generasi setelah mereka, Zinadine Zidane. Zizou, dinaungi nasib lebih baik, karena ‘terdampar’ di tim bertabur bintang, Los Galaticos, Real Madrid. Setidaknya hingga kini, reputasi Zidane sebagai mega bintang lapangan hijau semasa jadi pemain, masih terjaga dalam sementara karir kepelatihannya di Madrid.

Kalau boleh berandai-andai, boleh jadi Zidane akan bernasib sama dengan Cruyff dan Gus Dur andai tuhan melabuhkannya di ‘tim’ tanpa bintang. Atau sebaliknya, kehebatan Gus Dur dan Cruyf seharusnya tetap terjaga andai visi ‘permainan’ keduanya ditopang oleh para pemain berkualitas bintang. Namun Gus Dur tidak menyerah dengan keadaan, setidaknya dengan terus mencari formula tim yang bisa memahami visi dan konsep kepemimpinannya.

Di sinilah, Gus Dur berani melakukan gambling dengan kebijakan rotasi (reshuffle) yang dilakukannya. Dalam dunia sepak bola rotasi adalah wajar dan menjadi hak prerorgratif manajer. Tapi di sinilah perbedaannya. Dalam politik, reshuffle adalah pertaruhan yang kadang tidak mudah ditebak implikasinya.

Dalam dunia sepak bola, pemain yang mengalami rotasi tidak ada yang bisa dilakukannya selain meresponnya dengan memberikan bukti permainan impresif. Kepercayaan sang manajer menjadi target yang harus diraihnya kembali, untuk mendapatkan posisi inti dalam tim. Namun dalam pemerintahan, ‘rotasi’, meski baik sekalipun, bisa berakibat fatal bagi munculnya instabilitas politik.

Selama hampir tiga tahun menjabat presiden, Gus Dur menjadi presiden yang paling sering melakukan pergantian kabinet. Perjudian Gus Dur ini pada satu sisi dilakukan dalam kerangka mencari formulasi tim ideal. Namun, sekali lagi it is not a football, perjudian ini justru membawa akibat semakin ofensifnya ‘lawan’ untuk mengalahkan Gus Dur. Bulogate dan Bruneigate menjadi strategi ofensif yang dilakukan untuk menjinakkan sang presiden.

Dalam kondisi digempur, Gus Dur sepertinya taslim akan filsosofi total football, pertahanan terbaik adalah menyerang. Jual beli serangan pun terjadi. Dalam situasi inilah strategi politik total football Gus Dur dimainkan. Dalam tulisannya “Catenaccio Hanyalah Alat Berat” yang terbit di harian Kompas, Gus Dur mengakui bahwa strategi total football diterapkannya untuk membendung ofensi Bulogate. Bahkan, strategi yang sama ini juga akan dimainkannya untuk menegakkan demokrasi di Indonesia (Rumadi, 2010:49)

Sekali lagi, Gus Dur hendak menegaskan, sebagaimana tersirat dalam judul tulisannya ini, total football, catenaccio, serta taktik permainan apapun hanyalah instrument, yang efektif digunakan dalam situasi dan kondisi yang tepat. Pada akhirnya, Gus Dur tetaplah Gus Dur.  ‘Cruyff’ dalam politik yang rumit diterka, dengan visi kepemimpinan yang tidak sederhana untuk diterjemahkan. Gus Dur yang jenius anti pakem, filosofi kepemimpinannya tidak semata mewakili gaya permainan tertentu secara keseluruhan.

Gus Dur misalnya menegaskan, total football demokrasi tidak bisa dibayangkan untuk dilakukan terburu-buru. Terlebih melihat fakta Indonesia masih berada dalam masa transisi. Gus Dur pun memberikan alternatif strategi hit and run untuk diterapkan dalam musim transisi demokrasi di Indonesia, yang menuntut permainan lebih sabar, dengan daya tahan dan stamina kuat, namun efektif. Dalam konteks demokrasi, hit and run ini menurut Gus Dur lebih dapat menghindarkan sindrom ‘penyakit kiri kekanak-kanakan’ (infantile leftism) yang bermimpi perubahan bisa dilakukan dalam sekejap.

Dus, Gus Dur tetap menjadi salah satu ‘misteri’ yang tidak mudah dipecahkan oleh kacamata sederhana. Kejeniusannya menuntut kualitas tim yang bisa mawadahi visi kepemimpinannya. Sayangnya, kondisi ini tak pernah gayung bersambut selama era pemerintahannya. Dan Gus Dur terdepak, bukan lantaran kualitasnya yang perlu dipertanyakan, melainkan karena kesebelasan yang dipimpinnya saat itu, belum sepenuhnya memahami visi dan konsep kepemimpinan yang diterapkan.     

***

*) Penulis: Dodik Harnadi, Anggota Dewan Riset Daerah Bondowoso

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES