Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Siapa Peduli ABH?

Jumat, 11 September 2020 - 09:40 | 46.62k
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma,  Penulis Buku dan  Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma,  Penulis Buku dan  Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Kasus kekerasan, pencabulan dan pelecehan seksual, perundungan, hingga prostitusi dan perdagangan anak masih marak menjadi tajuk pemberitaan di media. Tentu masih segar dalam ingatan kita, kasus pelecehan seksual yang melibatkan pelaku anak siswa SD dan SMP yang memperkosa hingga hamil seorang siswi SMA di Probolinggo, Jawa Timur pada April 2019. Demikian pula dengan kekerasan fisik dan bullying, yang menewaskan dua orang siswa SMA Taruna Indonesia di Palembang, Sumatera Selatan.

Pemerhati anak Seto Mulyadi menyebut kasus perundungan kini amat lazim terjadi di sekolah. Ini setidaknya terbukti dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bahwa kasus anak berhadapan hukum atau ABH, menjadi kasus yang paling sering dilaporkan ke KPAI.

Sejak 2011 sampai 2019, jumlah kasus ABH yang dilaporkan ke KPAI mencapai angka 11.492 kasus, jauh lebih tinggi daripada laporan kasus anak terjerat masalah kesehatan dan Napza (2.820 kasus), pornografi dan cyber crime (3.323 kasus), serta trafficking dan eksploitasi (2.156 kasus).

Jika ditelaah, angka ABH karena menjadi pelaku kekerasan seksual cenderung melonjak tajam. Pada 2011, pelaku kejahatan seksual anak ada pada angka 123 kasus. Angka tersebut naik menjadi 561 kasus pada 2014, kemudian turun menjadi 157 kasus pada 2016, dan pada medio Januari sampai Mei 2019, angka kasus ABH sebagai pelaku kekerasan seksual mencapai 102 kasus.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Selain kasus kekerasan seksual yang dilakukan anak, kasus perundungan seperti fisik dan psikis yang dilakukan anak juga cukup menyita banyak perhatian. Menurut data KPAI, laporan ABH karena menjadi pelaku kekerasan fisik dan psikis mencapai 140 kasus pada tahun 2018 (Sumber KPAI, 2020).

Kasus seperti itu jelas memilukan dan memalukan, menampar muka orang tua, sekolah,  dan  identitas sebagai masyarakat beragama. Anak-anak yang semestinya berperilaku mulia dan menikmati keadaban dikalahkan oleh perilaku bercorak homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya).

 Kasus tersebut juga membenarkan asumsi, bahwa ada gejala kurang baik, kotor, atau bercorak dursila yang sedang menimpa anak-anak. Mereka terbentuk menjadi serigala yang tega “menerkam” temannya, yang mengindikasikan kalau dalam dirinya sedang mengidap krisis sebagai sosok penyayang, dan sebaliknya melekat watak “serigala”. 

Mereka itu memang layak dipersalahkan, akan tetapi dengan usianya yang masih dini ini, kesalahan layak ditimpakan atau dilamatkan kepada pihak lain, seperti pepatah menyebut “evil causis-evil vallacy”, sesuatu yang buruk terjadi adalah disebabkan oleh hal-hal buruk yang mempengaruhinya..

Mereka identic sedang atau telah tercemar kepribadiannya, sehingga terjerumus dalam memperkeruh kondisi kekerasan seksual di Indonesia, yang setiap lima jam, terjadi satu kali kasus perkosaan. Mereka terseret memasuki identitas baru sebagai “penjahat seksual”, yang korbannya seusia dengan dirinya.

Perkosaan di tengah masyarakat memang cenderung mengalami pergeseran. Ia (pemerkosaan), terutama jika pelaku dan korbannya orang dewasa, tidak lagi dinilai sebagai kasus sensasional. Kasus ini baru “sedikit” mendapatkan perhatian, kalau yang jadi korbannya anak-anak, lebih-lebih jika yang menjadi pelakunya adalah anak-anak.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Barangkali, pelaku dari kalangan anak-anak (ABH) itu menganggap kalau  korban yang seusia dengan dirinya itu tidak akan berani melawan, memberontak, dan melaporkan, karena, pertama pelaku merasa dirinya lebih superior dibandingkan dengan korban, kedua, pelaku merasa orang tua korban atau pelaku tidak akan mempercayai kalau anak-anaknya sudah menjadi pemerkosa atau pelaku dursila, dan ketiga, keluarga korban akan malu diketahui orang lain jika mengadukan kasusnya.

Terlepas dari asumsi pemerkosa kecil itu, upaya pemerintah dengan menggelontorkan produk hukum  untuk melindungi anak-anak, benar-benar menghadapi tantangan serius.  Kehadiran pembaharuan hukum belum mampu menyentuh ranah  sebagai alat pembaharuan masyarakat (as tool of social engineering), karena baru dalam tahap mencegah anak-anak supaya tidak berbuat dursila saja, ternyata belum berhasil.

Dari hari ke hari, ada kecenderungan terjadi “revolusi perilaku” yang seolah perbedaan gender seperti kawan perempuannya  adalah obyek permainan atau eksperimen, yang digunakan untuk membuktikan superioritas, memperebutkan identitas “keberanian”, atau memenangkan slogan sebagai “anak bebas bau kencur”.

“Revolusi perilaku” itulah yang seringkali kurang terbaca dengan baik oleh pilar-pilar pendidikan, seperti orang tua (keluarga), sekolah (guru), dan pemerintah. Mereka  ini baru terkesima setelah anak-anak sudah terseret cukup jauh dalam gelombang perubahan yang membuka kran penghalalan gaya hidup seperti dalam pola pertemanan maupun pengadopsian perubahan budaya yang menjerumuskannya makin dalam menjadi ABH dalam tingkatan lebih serius lagi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma,  Penulis Buku dan  Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES