Peristiwa Daerah

Setyo Budi Wardoyo, Sosok Bapak di Rumah Detensi Imigrasi Surabaya

Jumat, 11 September 2020 - 12:50 | 107.96k
Setyo Budi Wardoyo, Kepala Rumah Detensi Imigrasi Surabaya. (Foto: Ammar Ramzi/Times Indonesia)
Setyo Budi Wardoyo, Kepala Rumah Detensi Imigrasi Surabaya. (Foto: Ammar Ramzi/Times Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Indonesia sampai hari ini berposisi sebagai negara transit bagi para pengungsi. Artinya pemerintah Indonesia tidak memberi suaka dan tidak menerbitkan hak untuk bekerja bagi imigran. Terkait hal ini, Indonesia menyediakan Rumah Detensi Imigrasi sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang melanggar Undang-Undang Imigrasi.

Bersama Setyo Budi Wardoyo, Kepala Rumah Detensi Imigrasi Surabaya, TIMES Indonesia berkesempatan mengunjungi Rumah Detensi Imigrasi di Puspa Agro Sidoarjo, Jawa Timur.

Setyo-Budi-Wardoyo-2.jpg

Rumah Detensi Imigrasi atau yang disingkat dengan rudenim didefinisikan sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang melanggar Undang-Undang Imigrasi. Orang asing yang berdiam di rudenim disebut dengan deteni.

Rudenim menjadi tempat penampungan sementara bagi pencari suaka ataupun pengungsi yang datang ke Indonesia sebelum kemudian dikembalikan ke negara asalnya. Ini sesuai dengan Konvensi internasional di Jenewa tahun 1951 tentang aturan menghadapi pengungsi dan orang yang kehilangan kewarganegaraan.

Pada 2019 yang lalu, setidaknya satu persen penduduk dunia atau 79,5 juta orang melarikan diri dari persekusi mapupun konflik bersenjata di kampung halaman mereka. Jumlah pengungsi yang kabur ke Indonesia diperkirakan mencapai 13.000 orang pada periode waktu tersebut. 

Menurut Setyo, kebanyakan deteni di rudenim Puspa Agro adalah pencari suaka yang menginginkan negara seperti Australia, Selandia Baru, dan Amerika.

"Di sini terdapat 326 deteni. Semuanya laki-laki yang kebanyakan datang dari negara konflik seperti, Afganistan, Iran, Iraq, Suriah, dan lain-lain," ungkapnya.

Mengenai biaya operasional untuk menghidupi para deteni sebanyak itu, Setyo menjawab sepenuhnya didukung oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) atau Komisariat Tinggi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR).

"Sedangkan pengawasannya di bawah Kemenkumham Dirjen Keimigrasian," jelasnya.

Tidak sedikit dari Imigran di rudenim Puspa Agro yang telah menetap selama lebih dari lima tahun. Bahkan banyak di antara mereka yang telah lancar berbahasa Indonesia.

Setyo-Budi-Wardoyo-3.jpg

"Rata-rata masa tunggu ke negara pemberi suaka atau kembali ke negara asalnya itu tidak bisa ditentukan, mengingat setiap orang dengan kasus yang sama pun bisa berbeda waktunya," kata Setyo.

"Ada banyak faktornya, apakah negara yang dituju bisa mengeluarkan suaka dengan cepat. Atau jika pulang, bagaimana proses dari kedutaan negara tersebut," tambahnya.

Artinya pihak keimigrasian terus melakukan komunikasi intens dengan kedutaan terkait agar proses berjalan lancar.

Setyo kemudian membagikan cerita paling berkesan tentang seorang imigran yang pernah ia tangani. Suatu waktu, ada seorang dewasa yang dideportasi dari Malaysia karena dianggap sebagai warga negara Indonesia.

Setelah dilakukan penyelidikan oleh pihak imigrasi, ternyata secara fakta dia adalah seorang yang lahir di Malaysia dari bapak dan ibu warga negara Indonesia yang merantau ke negeri jiran. Tanpa pernah diurus surat kelahiran dan dokumen lainnya.

Kemudian setelah bapaknya meninggal, ibunya menikah lagi dengan orang Malaysia. Anak ini tidak terurus dan memiliki keterbelakangan mental. Setelah beranjak dewasa, dia ditangkap oleh imigrasi Malaysia karena tidak punya identitas.

Ketika seseorang sudah terabaikan dari suatu negara, maka tentu akan menjadi kesulitan tersendiri bagi hidupnya. Jadi secara hukum ia kehilangan kewarganegaraan atau stateless.

"Hati saya sebagai sesama manusia di sini terketuk. Saya tidak sanggup jika harus membiarkannya," tutur Setyo.

Maka bantuan yang Imigrasi berikan dalam bentuk menghubungkan dengan keluarganya yang ada di sini. Sebab diketahui orang tuanya berasal dari Indonesia, maka dilakukan pelacakan.

"Ditemukan kakek dan neneknya masih hidup di Pulau Bawean. Bahkan Lurahnya juga masih kenal. Alhamdulillah terlacak," ucapnya.

Saat ini yang bersangkutan masih dalam pengawasan rudenim sambil menunggu proses administrasi. Secara fisik kini dirinya lebih sehat, aktif, dan wajahnya tidak murung lagi. Dalam jangka waktu sekitar enam bulan, dia akan kembali memperoleh kewarganegaraan.

"Bayangkan, ini baru satu cerita. Di sini maksud saya ingin memberitahu masyarakat, bahwa ada orang-orang dengan kondisi seperti ini. Tidak memiliki status kewarganegaraan yang jelas," paparnya.

Setyo berharap tidak ada lagi seperti ini, orang-orang yang tidak memiliki daya untuk mengurus dokumen pribadinya.

"Ini bakal berbuntut panjang kepada nasib dan jalan hidupnya. Dia tidak bisa bebas seperti manusia pada umumnya," ucap Setyo Budi Wardoyo, Kepala Rumah Detensi Imigrasi Surabaya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES