Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Momentum “Pembantaian Demokrasi”

Kamis, 10 September 2020 - 13:45 | 34.15k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG“Abite nummi, ego vos mergam, ne mergar a vobis,” kata mutiara ini bermakna pergilah wahai uang, saya akan menenggelamkan kamu, sehingga kamu tidak bisa menenggelamkan saya. Suatu kata Mutiara yang bermakna peringatan tentang siis lain dari bahaya uang. Penulis kata mutiara ini sudah mengalkulasi sisi positip uang yang memang berguna bagi masyarakat dan bangsa manapun di muka bumi, sehingga penulisnya hanya mengungkap dari sisi kemungkinan bisa jahatnya uang dalam kehidupan ini saat digunakan sebagai instrumen yang salah.

Terbukti, kata mutiara itu juga sangat keras mengingatkan kita, khususnya siapapun yang berurusan dengan kepentingan bangsa dan negara agar tidak menempatkan uang sebagai instrumen yang “membalik” kebenaran, termasuk kebenaran hukum sebagai ketidakbenaran atau kelaziman diganti dengan praktik-praktik yang buruk, ilegalitas, atau pembusukan nilai (values decay) keagungan.

Dalam ranah itu, secara tidak langsung mengisyaratkan nasehat, bahwa setiap subyek bangsa harus berhati-hati dalam menggunakan uang. Katankanlah dalam kehati-hatian ini berkaitan dengan etika, bahwa saat menggunakan uang untuk kepentingan aspek apapun dalam kehidupan berelasi antar manusia, haruslah berpedoman  pada etika.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Momentum yang sebentar lagi dinilai akan menguji ketahanan nilai agung bangsa ini adalah pemilihan kepala daerah (pilkada). Pilkada ini berelasi dengan uang dalam jumlah besar, yang barangkali di negeri ini tidak ada yang benar-benar mendekati kebenaran tentang besaran peredaran (penggunaan) uang saat sebelum, saat berlangsung pemungutan suara, hingga setelah pesta demokrasi itu.

Kita sudah diberi tahu oleh para penyelenggara pesta demokkrasi, bahwa Pilkada serentak akan berlangsung di bulan Desember 2020 ini.  Pilkada yang secara yuridis disebut sebagai perwujudan demokrasi negeri ini diekspektasikan oleh kaum idealis bisa berjalan dengan transparan, obyektif, berkeadilan, dan berkejujuran, atau tidak dirias oleh praktik-praktik ilegalitas seperti politik uang. Suatu idealitas yang seringkali dicibir oleh banyak pihak akibat kuatnya praktik-praktik yang membuat norma hanya “manis di atas kertas”.

Di beberapa pilkada sebelumnya, namanya politik uang masih meriasnya, yang mengindikan kalau cara kotor wujud segmentasi kultural Para kandidat dan tim sukses menjadikan uang benar-benar sebagai instrumen penahbisa kekuasaan, yang seolah tanpa melakukan praktik tercela ini kekusaan tidak akan bisa didapatkan. Akhirnya dalam penyelenggaraan pilkadanya lebih tampak sebagai “liga kriminalitas” yang berselubungkan demi demokrasi dan kebenaran.

Sebagian “oleh-oleh” dari pilkada itu jadinya penistaan hukum yang bernama korupsi, yang kemudian secara umum menjadi korupsi berlanjut dan “mengultur” saat kandidat memenangkan kursi eksekutif (gubernur, walikota, dan bupati, serta lainnya), yang kemudian dari kursi panas ini, sosok yang terpilih  memikul beban untuk “memprogresifitaskan” koruspi, yang dari modus permisif ini, bisa digunakan mengisi “proposal” kader, partai, dan barangkali kepentingan ibadah dan kemanusiaan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Penistaan hukum seperti itu tentu saja berakibat serius pada kedudukan Indonesia sebagai negara hukum. Negara menjadi kurang atau tidak pantas menyandang “jabatan agung” ini akibat sekumpulan elitis dengan dukungan sebagian “oknum” rakyat membenarkan praktik ilegalitas. Dari sisi generalitas, barangkali uang yang digunakan dan diedarkan ke konstituen hanya “recehan”, namun bagi Indonesia yang bergelar sebagai negara hukum ini, jelas sebagai bentuk penistaan yang mengerikan. Inilah yang disebut sebagai bagian dari momentum “pembantaian demokrasi”.

“Pembantaian demokrasi” itu cermin kesalahan kita sendiri yang demikian gampang kita maklumatkan sebagai kelaziman dari suatu bangsa yang sedang belajar menata era refomasi, padahal perjalanan ini sudah lama dan makin lama tentu akan menjadi semakin mengerikan jika ditoleransi.

Negara hukum merupakan wujud negara yang idealisasinya mampu menyejahterakan, membahagiakan, memberikan banyak keadilan pada rakyat, namun karena negara ini dipilari oleh banyak oportunis pragmatis, khususnya yang “diproduksi” dari pilkada, akibatnya negara hukum ini  gagal memberi yang terbaik pada dirinya dan rakyat awam. 

Negara hukum sejatinya berfungsi jadi payung besar dan sakral terhadap kedaulatan rakyat yang diantaranya secara konstitusionalitas ditunjukkan lewat pesta demokrasi (pilkada), khususnya dalam membumikan program-program pemanusiaan, keberadaban, dan penyejahteraan rakyat, dan bukan sebagai tempat beraksi para oportunis koruptif, yang berambisi mendapatkan kursi atau sebagian “oknum” rakyat yang mau dibodohinya untuk ikut-ikutan memasifikasikan (meluaskan) korupsi, yang salah satunya mesti mengakibatkan demokrasi tidak ubahnya “candu”. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum dan Progam Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) serta penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES