Kopi TIMES

Bangsa Ini Perlu Dilatih Berpikir Terbalik

Kamis, 10 September 2020 - 14:13 | 47.25k
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

TIMESINDONESIA, MALANG – Sesekali Anda perlu berpikir secara terbalik. Ini penting biar bisa melihat dari berbagi sudut pandang. Mininal beprikir dengan sudut pandang yang lain. Mengapa? Karena berbagai informasi yang kita dapatkan selama ini atau yang kita terima sering ditelan “mentah-mentan”. Apalagi jika kita punya kepentingan atas informasi itu karena sesuai dengan kebutuhan atau dikatakan oleh orang yang kita percaya, punya ikatan emosional atau “tekanan” struktural tertentu.

Kita ambil contoh yang ringan-ringan saja. Apakah Anda pernah berpikir diluar “pemikiran umum” tentang Sumpah Palapa (SP) yang pernah dipopulerkan mahapatih Gadjah Mada (1290-1364)? Misalnya, apakah Anda pernah berpikir bahwa Sumpah Palapa itu bukan menyatukan Nusantara tetapi menundukkan daerah lain di bawah kekuasaan Majapahit? Ini misalnya saja.

Mengapa pertanyaan itu penting? Karena selama ini kan kita mengetahui SP identik dengan persatuan dan kesatuan. Tidakkah Gadjah Mada mengerahkan semua kekuatan militer dan sumber daya lain untuk membuat tunduk wilayah lain?  Berarti penguasaan atas kuasa lain? Jika  daeah lain tersebut tidak tunduk, nanti akan diperangi. Bagi wilayah kerajaan lain yang lemah akan mudah untuk menyerah dan tunduk. Untuk kerajaan yang kekuatan militer dan sumber dayanya mumpuni tidak mudah dilakukan. Nah, pernahkan Anda berpikir unik seperti ini?

Saya tidak mengajak Anda untuk menggugat sejarah. Bukan itu. Namun, bukankah sejarah dibuat oleh mereka yang menang secara kekuasaan? Artinya, siapa yang menang dialah yang akan membuat sejarah dan itu terus menerus diturunkan pada sekian generasi.

Akhirnya, kita hanya mengenal sejarah yang kita terima itu, lalu diajarkan di sekolah-sekolah terus sampai generasi selanjutnya. Ini bukan menggugat sejarah. Bukan itu maksud saya. Saya hanya mengajak berpikir sebaliknya. Bukan sok gagah-gagahan. Tetapi memberikan ruangan kecil dalam otak kita diluar pemikiran mainstream tentu tak ada salahnya, bukan? Karena informasi yang kita terima bisa jadi bias karena beragam kepentingan atas informasi tersebut.  Beranikah kita?

Logika Terbalik

Jika kita siap dan bahkan telah membangun ruang kecil di dalam otak untuk kebutuhan informasi lain kita lanjutkan pembahasan ini. Sebab jika tidak, Anda akan menduh saya memberikan informasi dan memprovokasi sembarangan. Atau malah jangan-jangan saya dilaporkan kepihak yang “berwajib” karena mengajak berpikir “radikal”.

Jadi begini. Sekarang kita lihat berbagai informasi di sekitar. Apa informasi yang selama ini gencar Anda dengar atau diteriakkan (sekali lagi saya tidak bermaksud memprovokasi tetapi berlatih berpikir lebih detail)? Setidaknya wacana yang sedang dibangun, misalnya; korupsi, influencer, buzzer, khilafah, garis keras, toleransi, intoleransi, pluralis, fundamentalis, NKRI harga mati atau istilah yang berkaitan dengan soal pandemi covid-19.

Apa yang bisa Anda tafsirkan dari kata-kata itu? Tentu masih bingung bukan? Coba kita lekati dengan sebuah kata lain. Lihat sebuah pernyataan, “Saya tidak korupsi.” Ini misalnya. Kemudian pertanyaan itu Anda tafsirkan. Apakah Anda percaya begitu saja dengan kata-kata yang diucapkan oleh seorang yang diduga terlibat korupsi tersebut? Bisa jadi sangat tergantung pada kepentingan Anda, faktor emosional yang terlibat, atau tujuan tertentu. Anda bisa percaya bisa tidak. Terserah Anda.

Tetapi pernahkan Anda membuka ruang kecil dalam otak dengan cara lain dari yang selama ini Anda dengar atau baca? Coba berpikir sebaliknya. Bisa jadi jawaban atas pernyataan itu hanya untuk membela diri yang dilakukan oleh seorang yang diduga terlihat korupsi. Itu dikatakan di depan publik dengan tujuan memengaruhi opini masyarakat dan bisa jadi lembaga “pengadil”.

Tentu Anda yang berpikiran sederhana hanya akan percaya informasi yang diengar dan dibaca saja. Padahal setiap pesan yang diucapkan seseorang itu punya tali temali dengan maslah yang lain pula. Apakah Anda berani menyimpulkan bahwa pernyataan “Saya tidak korupsi” itu justru berarti sebaliknya? Bahwa orang yang mengatakan itu memang terlibat korupsi?

Kemudian jika ada pernyataan, “KPK tidak bisa diitervensi” sebagaimana dikatakan oleh komisionernya. Apa yang  bisa Anda simpulkan? Bisakah memakai logika di atas sebagaimana pernyataan “Saya tidak korupsi?”. Sekali lagi, saya tidak mendorong dan memengaruhi Anda sesuai pendapat saya ini. Ini hanya melatih berpikir di luar mainstream  yang tampak (manifest). Kita juga perlu terbiasa berpikir dan memahami sesuatu yang tak tampak (latent). Tapi semua keputusan ada di tangan Anda.

Lalu, kita ingat berbagai pernyataan pejabat-peiabat kita. Misalnya begini, “Corona tidak akan mewabah di Indonesia”, “Indonesia itu wilayah tropis, tak akan diserang Corona”, “Ekonomi akan segera membaik”, “PSBB untuk menekan virus”, “Kita tak butuh lock down karena covid-19”.

Bagaimana logika yang Anda bangun di dalam pikiran kecil Anda? Sekali lagi saya tidak mengajak Anda memprovokasi dan tak percaya pada semua perkataan para pejabat tersebut. Tetapi mencoba memahami arti sebenarnya yang sangat mungkin tidak kita dengar secara lisan atau tulisan.

Pernyataan itu juga bisa dianalogikan pada pesan-pesan, “Semoga daerah ini menjadi wilayah yang mendukung Pancasila”, “Ancaman negara ini sejak dahulu adalah PKI”, “Khilafah mengancam keutuhan bangsa”, “Komunisme sedang menggeliat di tubuh pemerintahan”. Apa yang Anda bisa tafsirkan? Sesekali melatih pikiran dengan analogi sebaliknya. Intinya  biar kita tak mudah dibohongi oleh sesat informasi, apalagi disebarkan elite politiknya.

Kita tak membutuhkan jawaban untuk itu. Kita jawab enteng-entengan saja dengan memakai kasus Gadjah mada. Bisakah kita berpikir terbalik bahwa SP Gadjah Mada itu (misalnya) juga bukan untuk menyatukan nusantara tetapi “menjajah” dan “menundukkan” wilayah lain dengan kekuatan Majapahit sebagaimana sering kita baca dalam teks sejarah?

*) Penulis: Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES