Kopi TIMES

Akulturasi Islam Kejawen di Tanah Jalawastu

Kamis, 10 September 2020 - 03:17 | 220.47k
Siti Zulaeka (Mahasiswi Universitas Peradaban Bumiayu) (Grafis: TIMES Indonesia)
Siti Zulaeka (Mahasiswi Universitas Peradaban Bumiayu) (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAWA TENGAH – Perkembangan Islam di Jawa mencapai prestasi yang dinilai cukup signifikan sehingga menghadirkan fenomena Islam Jawa yang unik hingga sampai sekarang ini adalah pada saat pergeseran kerajaan Islam dari daerah pesisir (Demak) ke daerah pedalaman agraris (Mataram) di bawah kekuasaan Sultan Agung pada abad ke-17. Pada masa Sultan Agung ini, mistisme Jawa mengalami perkembangan yang artikulatif. Raja atau sultan dianggap sebagai guru sufi dan kosmologi hindu-budha beretemu dalam wadah sufisme tersebut. 

Menurut Taufiq Abdullah bahwa akluturasi budaya Jawa dan Islam di Jawa mengambil bentuk dialogis. Berbeda dengan akulturasi Islam dan budaya melayu yang mengambil bentuk integratif. Islam dihadapkan pada resistensi tradisi dan budaya lokal, sehingga ketegangan dan konflik Islam versus kejawen menjadi ciri utama perkembangan Islam di Jawa.

Akulturasi budaya Jawa dan Islam dengan pola dialogis, dipahami bahwa Islam dan budaya Jawa berkomunikasi dalam bentuk struktur sosial-agama. Adapaun bentuk akulturasi dari Islam dan melayu dipahami bahwa Islam berkembang dan menjadi salaj satu penyangga terpenting dalam struktur politik melayu. 

Kampung Budaya Jalawastu sebuah pedukuhan yang ada di Desa Cisereuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes. Tahun 2016 kampung Jalawastu dinobatkan sebagai Kampung Budaya yang dilegalkan langsung oleh Bupati Brebes Idza Priyanti S.E, sebab sampai saat ini masyarakat Jalawastu masih mempertahankan budaya adat-istiadat. Salah satu budaya yang masih menjamur hingga saat ini dan berada pada eksistensi ialah upcara ngasa, nama lain dari sedekah gunung.

Upacara ngasa dilakukan setiap tahun satu kali pada mangsa ke sanga dan di hari selasa  kliwon. Upacara ngasa biasanya dihadiri oleh pejabat-pejabat tinggi dari Kabupaten Brebes. Pada bulan maret 2020 Kampung Budaya Jalawastu mendapatkan sertifikat dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasioanal Rebuplik Indonesia bahwa kampung tersebut sebagai warisan budaya tak berbenda, hal ini disaksikan langsung oleh Bupati Brebes dan diserahkan kepada pamangku adat Jalawastu. 

Selain memiliki budaya yang sangat unik hingga bertahan sampai zaman sekarang, masyarakat Jalawastu sangat yakin mempertahankan keismalam yang diyakininya hingga saat ini. Islam kejawen dalam konteks tulisan ini, merupakan Islam yang tidak berdasar pada umumnya. Seperti yang kita tahu dengan mata yang melihat dan telinga yang mendengar secara fisik, bahwa orang yang beragama Islam harus melakukan rukun Islam yakni, syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu.

Namun berbeda dengan Islam yang diyakini oleh masyarakat Jalawastu. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan tentang agama yang diyakininya merupakan turunan para wali, dengan menganut sistem sunda wiwitan, tradisi-tradisi dan adat istiadat yang lain.  Tradisi-tradisi yang sampai saat ini masih lestari yakni upacara tundan, upacara tutulak, babarit,ngaguyang kuwu, tong-tong breng dan cako.

Upacara tundan sebuah upacara yang dimaksudkan untuk mengusir hama tikus yang dirasa bagi masyarakat tersebut sangat merugikan tanaman, upacara ini seringkali dilaksanakan ketika keadaan sedang darurat dan dihadiri hanya beberapa wakil dari keluarga, mereka mempercayainya dengan melaksanakan upacara tersebut maha sri pohaci atau yang diyakini sebagai dewi padi akan menjaga tanaman mereka dan dewa-dewa akan membuat hama tikus itu pergi, sebab telah merusah tanak suci yaitu ladang dari mereka bertani. 

Upacara tutulak disebut upacara tolak bala, uoacara tutulak ditujukkan apabila tetangga ada yang desa ada wabah hama dan penyakit. Tujuan tutulak yaitu untuk menolak atau mengusir wabah hama dan penyakit yang datang agar tidak masuk ke kampung, upacara ini biasanya diikuti oleh perwakilan warga setempat. Dalam konteks Islam, upcara tutulak ini sama dengan tolak bala yaitu dengan tujuan untuk menolak penyakit yang akan datang. Tolak bala yang biasa dilakukan umat Islam pada umumnya ialah dengan membaca doa tolak bala, tidak dilakukan dengan upacara.

Islam secara luas dan Islam kejawen memiliki kesamaan tujuan, hanya berbeda cara medapatkan pembelajarannya serta mengaplikasikannya, 
Selanjutnya ialah Upacara ngaguyang kuwo biasanya diadakan ketika musim kemarau yang berpanjangan. Upacara ini dilakukan untuk meminta hujan karena lamanya tidak turun hujan. Prosesi upacaranya yaitu dengan cara memandikan kuwu/kepala desa atau kepala dusun di sungai yang dianggap keramat yatu curug rambukasang.

Dalam Islam tentu tidak mengenal dengan ngaguyang kuwo, namun biasanya setelah musim kemarau telah tiba dan air semakin langka para umat Islam pada umumnya mengadakan sholat istisqo untuk memohon minta hujan, biasanya sholat istisqo ini dilakukan ditengah-tengah lapangan dengan dihadiri banyak orang. Kadang setelah sholat ada yang menyiram imam sholat dengan air dan juga tidak, karena budaya masing-masing dari setiap daerah. 

Ritual slametan juga menjadi salah satu media masyarakat Jalawastu dalam mengekspresikan wajah komitmen dan keagamannya. Masyarakat Jalawastu dalam mempertahankan slametan merupakan representasi keagamannya dengan afiliasinya pada animisme. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat tersebut dalam berbagai ritual slametan,  magis, perdukunan dan lain-lain. selain upacara yang  menjadi tradisi agama Jawa sampai saat ini, tentu ritual slametan dan perdukunan juga menjadi agama Jawa yang paling populer dan bertahan hingga sekarang.

Slametan yang ada biasa dilakukan oleh masyarakat Jalawastu ialah slametan Syura, maulud dan kamis kliwonan. Masyarakat jaalwastu meyakini bahwa slametan di bulan syuro untuk mendoakan para leluhur Jalawastu, karena di bulan syuro merupakan bulan keramat yang diyakini bahwa bulan tersebut para makhluk gaib sedang dalam puncak kemenangannya. Sedangkan dalam Islam pada umumnya bahwa bulan syuro atau biasa menyebutnya dengan bulan muharrom yaitu bulan yang mulia setelah bulan ramadhan, hingga pada saat bulan muharram mereka berlomba-lomba untuk memperbanyak amal ibadah. 

Slametan mauludan yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Jalawastu berebda dengan masyarakat pada umumnya. Lumrahnya kita mengadakan pengajian dengan diisi oleh dai yang dianggap ilmunya telah mumpuni biasanya menyebutnya dengan Kiai. Namun bagai masyarakat Jalawastu slametan mauludam biasa menggunakan rasulan atau tumpengan dan diikuti oleh perwakilan dari masyarakat kampung budaya Jalawastu.

Selain itu bulan maulud diyakini sebagai bulan yang sangat baik, sebab nabi Muhammad lahir pada bulan maulud, hingga pada tanggal 12 maulud bagi keturunan darah leluhur Jalawastu memandikan peninggalan-peninggalan  para leluhurnya. Seperti keris, pedang, dan sebagainya. memandikan alat-alat yang diyakini dari peninggalan leluhur memang harus tapet dibulan maulud. Selasa kliwonan dan kamis kliwonan biasanya dukun atau orang yang dapat menyembuhkan membakar meyan di weton-weton kliwon, dimaksudkan agar kampung tersebut aman dari bahaya yang akan mengancamnya. 

Islam adalah agama yang rahmatalil’alamin artinya agama bagi semua orang mukmin. Konteks Islam kejawen, Islam KTP, Islam Radikal merupakan buan pemikiran dari setiap perorangan. Sebab kehidupan berputar pada ruang dan waktu. Waktu yang berbeda akan memperoleh pengetahuan yang berebeda pula, artinya meskipun kita sama-sama orang Islam namun buah pemikiran kita terhadap Islam tentu akan berbeda.

Sejarah lahirnya Islam telah mencatat bahwa Islam lahir di tanah Jawa dan disebar luaskan oleh sembilan wali yang akrab disebut dengan walisongo, artinya keterkaitan antara Islam dan Jawa wajar saja hingga sampai saat ini masih diyakini dan dijalankan dengan ritual-ritual yang berbeda. Meskipun secara gamblang bahwa kita mengetahui Islam harus sholat dan sebagainya, namun secara spiritual Islam adalah keyakinan yang ditanamkan pada diri sendiri dan berkembang dalam masyarakat yang berbeda. (*)

***

*)Oleh: Siti Zulaeka (Mahasiswi Universitas Peradaban Bumiayu).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES