Kopi TIMES

Asmilasi Narapidana di Masa Pandemi Covid-19, Perlukah?

Selasa, 08 September 2020 - 15:26 | 107.51k
Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI). (Grafis: TIMES Indonesia)
Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI). (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JEMBER – Covid-19 seakan-akan menjadi musuh besar yang tak terlihat, namun keberadaannya nyata. Sejumlah masyarakat dari balita hingga lansia ikut menyumbang dalam jumlah kasus positif Covid-19. Itu semua karena virus ini sangat cepat menyebar, oleh karena itu masyarakat Indonesia diharuskan menggunakan masker serta menjaga jarak aman atau biasa kita sebut Social Distancing atau bahkan Physical Distancing.

Kasus Covid-19 semakin hari semakin meningkat, namun jumlah pasien yang sembuh pun semakin meningkat, itu artinya sudah semakin membaik, walaupun saat ini masyarakat Indonesia tetap perlu waspada untuk melawan musuh tak tampak ini.

Physical Distancing, penggunaan masker, serta mencuci tangan saat ini merupakan cara yang ampuh untuk mencegah Virus Covid-19 menjangkiti diri kita. Itu artinya kita sebisa mungkin untuk menghindari tempat-tempat yang rawan terjadinya penularan Virus Covid-19 ini, contoh cafe, bioskop, pertokoan, dan tempat tertutup lainnya. Karena tempat-tempat tersebut sangat rentan untuk penyebaran virus.

Masyarakat Indonesia perlu menjaga diri dengan baik dengan mengikuti himbauan-himbauan pemerintah dan memulai pola hidup sehat, hal ini juga berlaku bagi narapidana. Narapidana juga merupakan bagian dari warga negara yang harus dijamin kesehatannya. Efektifkah penjaminan kesehatan di dalam Lapas dan Rutan? Sedangkan saat ini masalah terbesar Lapas dan Rutan di Indonesia adalah over capacity dan over crowded, sehingga hal itu bertolak belakang dengan himbauan pemerintah untuk menjaga jarak antara satu dengan yang lain.

Asimilasi adalah salah satu program dari Kementerian Hukum dan HAM untuk membaurkan narapidana dengan masyarakat agar mereka dapat mengenal satu dengan yang lain dan yang terpenting dapat membuktikan bahwa narapidana telah mengalami perubahan yang signifikan di sisi kepribadian, kemandirian, karakter, serta keaktifan dalam bermasyarakat. Sehingga dibutuhkan pula peran masyarakat yang bersikap ‘welcome’ terhadap para narapidana.

Selanjutnya, perlukah program asimilasi dilakukan di masa pandemi Covid-19 seperti ini? Menteri Hukum dan HAM, Bapak Prof. Yasonna H. Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D. menginstruksikan untuk melaksanakan program asimilasi bagi narapidana yang sudah memenuhi syarat. Beliau mengeluarkan peraturan, yakni Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan institusi yang tertutup, dan didalamnya diisi ratusan bahkan ribuan narapidana karena tersandung kasus pidana, sehingga mereka diharuskan dibina didalam untuk dapat disatukan kembali di kehidupan masyarakat.

Narapidana yang berhak mendapatkan hak asimilasi di situasi pandemi ini diantaranya mereka yang telah menjalani ½ masa pidana, berkelakuan baik dan tidak menjalani masa hukuman disiplin dalam 6 bulan terakhir, serta aktif dalam mengikuti program pembinaan di Lapas, sehingga syarat-syarat tersebut dapat diketahui oleh pihak pembina di dalam Lapas.

Selanjutnya program asimilasi bagi anak, mereka harus menjalani masa pidana paling singkat 3 bulan, berkelakuan baik dan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 3 bulan, serta aktif dalam menjalani kegiatan pembinaan. 

Secara global, pembebasan narapidana dengan persyaratan tertentu terjadi di belahan dunia, seperti Brazil, Myanmar, Afghanistan, Amerika Serikat, Iran, serta negara lainnya. Karena hal ini merupakan instruksi Dewan HAM PBB, Michelle Bachelet dalam keterangannya di Genewa, Swiss, yang isinya mendesak negara-negara untuk melonggarkan populasi di dalam penjara.

Risiko penyebaran virus di dalam penjara sangat rentan, ditambah kondisi penjara yang selanjutnya disebut Lapas dan Rutan di Indonesia over capacity dan over crowded. Bukan saja pada kondisi pandemi seperti sekarang ini, namun hal itu merupakan masalah kemanusiaan, karena para narapidana harus menjalani masa pidana jauh dibawah standar, dan hal ini merupakan perlakuan yang tidak manusiawi.

Mereka harus rela menjalani kehidupan dalam ruangan yang sesak, berbagi tempat tidur antara narapidana satu dengan yang lain. Sedangkan mereka adalah warga negara yang harus dijunjung haknya, seperti hak mendapatkan fasilitas kesehatan, bantuan hukum, hingga kunjungan keluarga. Sehingga program asimilasi, yang tentunya dengan syarat-syarat yang berlaku sangat perlu dilakukan.

Selanjutnya, program asimilasi bukanlah suatu pembebasan, mereka telah menjalani ½ masa pidana, dan apabila saat menjalani program asimilasi mereka mengulangi kejahatan kembali, mereka akan langsung dikembalikan ke Lapas untuk menjalani ½ masa pidana yang belum dilaksanakan ditambah masa pidana yang baru, sehingga narapidana yang menjalani program asimilasi belum bebas sepenuhnya.

Banyak faktor mereka mengulangi kejahatannya kembali, diantaranya ketidaksiapan psikologis menghadapi masyarakat yang terkesan menstigma buruk narapidana, kondisi perekonomian yang buruk sehingga mereka tidak ada cara lain selain melakukan tindak pidana untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Disamping mengeluarkan narapidana dengan program asimilasi, perlu dilakukan hal lain yang menjunjung Hak Asasi Manusia, contoh memfasilitasi narapidana dengan sarana kesehatan, pengobatan, sistem imunitas, monitoring dari tim medis, dan kegiatan-kegiatan kesejahteraan sosial yang sangat mendukung perekonomian mereka. Dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM dapat bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan para elemen masyarakat di lingkungan narapidana yang bersangkutan. (*)

***

*) Oleh: Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Sekolah ikatan dinas Kementerian Hukum dan HAM RI).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES