Kopi TIMES

Aktivis Sok Bijak vs Kader Tiktok

Sabtu, 15 Agustus 2020 - 03:35 | 206.43k
Lailatul Khomsiyah, Mahasiswi aktif IAIN Madura Program Studi Tadris Bahasa Indonesia Semester 5.
Lailatul Khomsiyah, Mahasiswi aktif IAIN Madura Program Studi Tadris Bahasa Indonesia Semester 5.

TIMESINDONESIA, MADURA – Dalam dunia mahasiswa, tentu tidak asing dengan istilah organisasi dan juga aktivis yang berperan sebagai kader yang menjalankan roda organisasi. Notabenenya, organisasi mahasiswa bertujuan untuk membentuk dan menghimpun mahasiswa agar produktif, kritis dan memiliki cara pandang yang analitis.  Dengan gelar yang disandang mahasiswa sebagai kaum akademisi, mau tidak mau, mahasiswa dituntut untuk berpikir secara intelektual.

Cara berpikir yang intelektual memang dirasa sangat penting melihat peran mahasiswa sebagai Agent of Change (penggerak perubahan), Guardian of Value (penjaga nilai-nilai dalam masyarakat), Iron Stock (generasi penerus bangsa), Moral Force (kekuatan moral) dan Social Control (pengontrol kehidupan sosial).

Mengenai peran mahasiswa sebagai Social Control, hal ini bukan hanya pengontrol kehidupan di kampus, tetapi lebih dari itu. Mulai dari kehidupan sosial milenial, masyarakat, hingga pemerintah. Baik dalam kehidupan nyata, maupun kehidupan maya, seperti bersosial media.

Sebab seperti yang kita semua ketahui, bahwa di era milenial, identik dengan media sosial. Sehingga mahasiswa juga tidak terlepas dari itu. Lebih-lebih di kalangan aktivis, media sosial berperan besar dalam pemenuhan kebutuhan sebagai alat yang menunjang kegiatan keorganisasian.

Mulai dari perencanaan dan pemberitahuan kegiatan yang disebar di grup-grup chatting, penyaluran aspirasi seperti opini dan artikel di berbagai platform media sosial, hingga pengadaan seminar-seminar online yang dianggap lebih praktis dan lebih menjangkau banyak orang.

Namun demikian, berbagai hal positif media sosial yang telah dipaparkan di atas, tentu tidak terlepas juga dari hal negatif di dalamnya. Mulai dari berita-berita hoax, tulisan-tulisan yang menyinggung SARA, konten-konten amoral, pendiskriminasian pada orang atau golongan tertentu, hingga hal-hal yang terlihat sepele, seperti tagar-tagar (hastag) unfaedah dan mengundang perpecahan.

Saya sebut salah satunya adalah tagar #kadertiktok yang baru-baru ini muncul di kalangan aktivis. Kalau dilihat dari arti harfiahnya, yang dimaksud kader tiktok adalah orang yang berada dalam suatu organisasi (sekumpulan) di tiktok. Namun, arti tersebut dibelokkan menjadi kata yang mengandung satire, dengan maksud sarkasme.

Apa makna yang dimaksud? Makna #kadertiktok diambil dari kata kader yang berarti sebutan bagi para aktivis yang ditempa dalam organisasi. Lalu diambil juga dari kata tiktok yang merujuk kepada aplikasi yang notabenenya dicap buruk daripada aplikasi media sosial lainnya oleh sebagian golongan.

Hal ini tentu bisa dikatakan sebagian masyarakat masih belom "move on" dari kejadian dua tahun lalu, ketika tiktok diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) karena banyaknya laporan dari masyarakat perihal konten-kontennya yang diduga berbau negatif. Terhitung pemblokiran tiktok dimulai tanggal 3 Juli 2018 sampai 10 Juli 2018, hanya sepekan saja. Sebab, sehari pasca pemblokiran tim manajemen Tiktok telah datang ke kantor Kominfo dan mengatakan siap mematuhi aturan yang berlaku di tanah air dan meningkatkan layanan konten yang positif. Sehingga tiktok, bisa beroperasi hingga kini.

Dari arti kedua kata tersebut, tentu #kadertiktok merujuk pada pengertian yang tidak mengenakkan, yang disematkan kepada kader aktivis yang buruk. Baik dari segi skill, kebiasaan, moral, dsb. Kini pertanyaannya adalah ... apa salah tiktok?

Sebagai kalangan akademisi, tentu kita tidak serta merta menelan bulat-bulat suatu perkataan dan langsung mengikuti trend tertentu tanpa tahu hakikat maknanya dan akibat penggunaannya. Seperti yang telah dipaparkan di awal, bahwa mahasiswa aktivis, dituntut untuk selalu berpikir analitis.

Tiktok adalah sebuah platform media sosial, sama halnya seperti instagram, twitter, snapchatt, line, facebook, youtube, dsb. Fungsinya pun sama, yaitu untuk bersosial melalui media, yang membedakan hanyalah fitur-fiturnya.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa yang namanya media sosial, yang manapun itu, pasti di dalamnya ada hal-hal negatif, karena memang orang-orang yang menggunakannya tidak semua suka berbagi kebaikan. Tinggal masing-masing individunya saja yang menyaring hal-hal apa yang layak dikonsumsi dan yang tidak.

Untuk itu, pencapan tiktok sebagai media sosial yang buruk adalah suatu statement yang tidak mendasar. Apalagi jika dikatakan oleh orang-orang yang mengaku intelek. Mengapa demikian? Mari kita analisa.

Pertama, jika ingin membuat sebuah statement, entah itu statement baik atau buruk, tentu harus memiliki landasan. Kalau semisal mengenai sebuah aplikasi, setidaknya kita harus menggunakannya minimal dua minggu hingga sebulan. Mengapa lama sekali? Iya ... ini adalah penelitian. Sebab perkataan orang yang terdidik, tidak pernah sembarangan. Meski hanya untuk hal-hal yang kerap dianggap sepele.

Jadi, jika ada yang membuat statement tentang suatu hal tanpa landasan, apapun itu, itu berarti perkataannya ngawur. Sama halnya ketika ada orang bilang sate itu tidak enak, padahal belum pernah mencicipinya. Bilang suatu aplikasi buruk, tetapi tidak pernah menggunakannya.

Kedua, pengguna aktif tiktok pada tahun 2019 setara dengan pengguna aplikasi instagram yang lebih awal hadir bagi pengguna media sosial, jumlahnya mencapai lebih dari satu miliar. Dilihat dari jumlah peminat yang hampir menyalip instagram, maka barangkali memang ada hal yang menarik dari tiktok.

Dari Times Indonesia (29/7/2020), Head of User and Content Operations Tiktok Indonesia Angga Anugrah Putra mengatakan bahwa video edukasi menjadi konten hiburan dan edukasi milenial. Ia menyebutkan saat ini, Tiktok fokus ke milenial dan Gen Z, yang senang learn something new dan digali lebih dalam soal interest. Antusias yang tinggi dapat terlihat dari viralnya tagar #SamaSamaBelajar yang digunakan untuk konten edukasi telah ditonton sampai 16 miliar kali. Konten tersebut berisi ajang untuk berbagi skill di bidang sains dan tech, tutorial, DIY, life hacks, dll. Hal ini menunjukkan keseriusan Tiktok untuk menjalin kerja sama dengan Indonesia. Bahkan Kominfo sudah memiliki akun Tiktok sejak Maret 2019.

Dari The Next Web, Rabu (22/01/2020), Evan Spiegel sebagai pendiri snapchatt mengatakan bahwa tiktok berpotensi melebihi facebook dan instagram. Hal ini disebabkan, selama ini media sosial cenderung berfokus pada status untuk mendapat like dan komentar sehingga dianggap keren. Sedangkan para pengguna tiktok lebih menunjukkan talenta, daripada hanya sekadar status.

Selain itu, karena merasa akan tergeser, Facebook pernah berusaha meniru tiktok dengan peluncuran Lasso pada 2018, aplikasi yang hampir identik dengan tiktok. Selain itu, aplikasi instagram di tahun ini, meluncurkan instagram reels yang fitur-fitur di dalamnya menyerupai tiktok. Jadi, bisa dikatakan, facebook dan instagram kini, adalah tiktok versi lain.

Itu berarti, tidaklah mendasar jika tiktok dan penggunanya dikatakan lebih buruk dari aplikasi lainnya. Sebab jika lebih buruk, mana mungkin kompetitornya ingin membuat fitur yang serupa.

Ketiga, analisa poin ketiga ini mungkin sedikit tabu, tetapi dirasa perlu tahu. Jika berbicara baik-buruknya aplikasi media sosial, salah satu hal efektif yang bisa kita lihat adalah hal-hal viral di dalamnya. Coba ketik di pencarian google dengan kata kunci video viral tiktok, video viral twitter, video viral instagram, video viral youtube dan video viral aplikasi lainnya. Masukkan kata kuncinya bergantian.

Lalu bisa dilihat di bagian teratas halaman, apa-apa yang paling viral dari masing-masing aplikasi tersebut. Twitter paling parah, karena menghadirkan konten-konten adult tanpa sensor.

Namun, seperti apa yang telah dipaparkan di awal, satu-satunya yang mampu membuat media sosial bermanfaat, adalah ada pada kita sebagai pengguna. Untuk itu, tidaklah etis bagi kita, utamanya yang mengaku kalangan akademisi membuat suatu statement yang tidak berlandas dan menyesatkan. 

Ketika kita mengatakan sebuah aplikasi buruk tanpa menggunakannya, itu sama halnya dengan kita berargumen di forum kajian tanpa referensi. Artinya adalah ... tong kosong nyaring bunyinya. Jangan mengaku aktivis yang bijak, jika perkataanmu tak berpijak pada landasan fakta.

Jika penggunaan tagar #kadertiktok tidak layak, lalu bagaimana untuk menyebut seorang kader yang buruk atau terkesan main-main dan tidak amanah dalam mengemban tugas organisasi? 

Yuk, pakai saja tagar #NgakuNgakuKader atau #NgakuNgakuAktivis. Bukankah tagar yang maknanya jelas lebih baik daripada tagar yang menimbulkan ambiguitas?

***

*)Oleh: Lailatul Khomsiyah, Mahasiswi aktif IAIN Madura Program Studi Tadris Bahasa Indonesia Semester 5.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES