Kopi TIMES

Belajar dari Kasus Fetish Mahasiswa Surabaya

Kamis, 13 Agustus 2020 - 16:03 | 148.63k
Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.
Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

TIMESINDONESIA, JEMBER – Kasus fetish mahasiswa berinisial G dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Surabaya sempat viral. Sejumlah korban melayangkan surat pengaduan kepada Help Center di PTN tersebut. Sampai saat ini, pihak Universitas mencatat sekitar 15 korban yang mengadu atas pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku, dengan berkedok melakukan riset atau penelitian pelaku berhasil meluluhkan hati para korban untuk melakukan apa yang diperintahkannya.

‘Fetish’ adalah label yang kini diberikan oleh masyarakat Indonesia kepada pelaku. Masyarakat dibuat panik dan geram karena ulah dirinya. Tetapi pantaskah masyarakat sebagai orang awam, bahkan tidak terlibat dari kasus tersebut melabel pelaku mengidap kelainan ‘Fetish’?

Seseorang dapat dikatakan mengidap ‘fetish’ harus dibuktikan dan diperiksa oleh ahli kesehatan, memang beberapa laporan dari korban menyatakan secara eksplisit bahwa pelaku memiliki ketertarikan kepada sesama jenis, jarik, dan kegiatan bungkus-membungkus.

‘Fetish’ adalah sebutan bagi seseorang yang memilliki gairah seksual terhadap benda mati, seperti celana dalam, pakaian dalam, jarik, dan barang non alat reproduksi lainnya. Hasrat seksual orang dengan ‘fetish’ atau fetisisme ini akan bangkit dengan menyentuh atau menggunakan benda-benda tersebut.

Sejumlah korban juga menjelaskan bahwa dirinya pernah menjadi alat pemuas pelaku, karena korban dipaksa dan merasa takut apabila tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh pelaku, korban pun menjelaskan bahwa pelaku memberinya ‘mark’ dan menyentuh alat vital korban. Jika setelah penyidikan dan penyelidikan hal ini benar adanya, berarti pelaku sudah melakukan tindakan pencabulan. 

Ranah hukum pun menjadi pilihan masyarakat. Jika dilihat tindakannya, memang beberapa tindakan terindikasi pencabulan, maka berlaku Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman maksimal 9 tahun penjara.

Kembali lagi kepada pelaku, belum diketahui pasti apakah pelaku memang benar mengidap kelainan ‘fetish’ yang memang menyebutkan para penderitanya memiliki hasrat terhadap benda mati. Di sisi lain, ada korban yang melaporkan bahwa dirinya pernah dipaksa untuk telanjang bulat/ naked, diberikan ‘mark’ dan disentuh alat vitalnya, berarti ada dua sisi dari pelaku yang harus dibuktikan kebenarannya, pemeriksaan lebih lanjut merupakan hal yang tepat dilakukan, ada beberapa kondisi yang dapat mengubah perilaku seseorang, diantaranya kondisi lingkungan atau lebih dikenalnya Ecologycal Approach, adanya traumatik, dan sebagainya.

Pasalnya sejumlah kasus penyimpangan seksual ini berasal dari trauma pada masa anak-anak, mendapatkan kekerasan dari orang sekitar, atau bahkan mendapat perlakuan pelecehan seksual ketika anak-anak, hal ini dapat menjadi pemicu ketika anak telah beranjak dewasa, akan menjadi predator seks.

Beberapa kejadian masa lampau dapat menjadi dasar untuk merangkai peristiwa supaya terciptanya suatu korelasi. Itulah perlunya pemeriksaan lebih lanjut, jadi masyarakat ditekankan kembali tidak bisa untuk memberi label seseorang, meskipun sudah diketahui beberapa kesaksian korban. Bahkan seharusnya para korban tersebut selain melapor kepada pihak akademik kampus pelaku, korban juga harus melapor kepada kepolisian sebagai Aparat Penegak Hukum (APH) yang melakukan penyidikan, dan pihak kampus harus bersinergi dengan kepolisian setempat untuk mengusut tindakan pelecehan seksual ini.

Perlu diketahui juga bahwa hukum di Indonesia menganut asas ‘presumption of innocence’ atau asas praduga tak bersalah. Kita sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) harus taat terhadap aturan yang berlaku. Tidak bisa melabel seseorang sebelum dibuktikan kebenarannya. Perlu diperiksa lanjut oleh pihak yang berwenang seperti penyidik dan ahli kesehatan, yang harus ditegaskan seseorang yang berhak mengadili adalah seorang hakim, setelah putusan inkra dan terbukti kebenaran di meja hijau, barulah bisa dikatakan seseorang terbukti bersalah atau tidak.

Jika terbukti bersalah dan mengharuskan pelaku mendekam di balik jeruji, harus tetap diberikan penilaian atau dilakukan assessment kepada yang bersangkutan untuk diketahui kebutuhan dan risiko pelaku ketika ada di penjara. Kemungkinan pelaku melakukan pelecehan seksual kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang lain harus diperhitungkan, memberikan treatment yang tepat sangat membantu pelaku.

Treatment yang dimaksud adalah memberikan pengobatan dengan berbagai metode agar para penderita dapat sembuh dan dapat beraktivitas seperti manusia lainnya, penyakit yang sering menjangkiti para narapidana adalah depresi, putus asa, merasa dirinya tidak berguna, dan lainnya. Kondisi penyakit psikologis seperti inilah yang konon menyebabkan kondisi narapidana semakin buruk.

Tidak bisa dipungkiri kondisi penjara di Indonesia saat ini overcrowded, artinya susah untuk melakukan treatment kepada para WBP atau narapidana, tetapi harus dilakukan pembinaan secara subjektif, karena tiap individu pasti memiliki latar belakang yang berbeda, tentunya perlakuan pembinaan pun harus berbeda.

Seluruh narapidana berhak mendapatkan treatment yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) setempat, terlebih pelaku berinisial G jika nanti terbukti bersalah dan mengidap penyakit psikologis tersebut. Pelaku wajib diberikan treatment oleh tim kesehatan setempat, tentunya melalui assessment yang telah dilakukan, serta wajib diawasi agar tidak melakukan penyimpangan kembali di dalam penjara. Karena di dalam sel sudah dipastikan akan tinggal bersama sesama jenis, harus adanya monitoring secara berkala terhadap pelaku tersebut. Intinya pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan jika memang mengharuskan pelaku berinisial G mendekam di balik jeruji harus diperhatikan sesuai kondisi psikologis pelaku.

Dan untuk masyarakat, harus lebih memahami atas asas hukum yang dianut oleh Indonesia, menjaga kondisi psikologis pelaku dengan tidak memberikan label sebelum diperiksa lebih lanjut oleh pihak yang berkepentingan. Serta sebelum adanya putusan yang inkracht setelah pemeriksaan di pengadilan, karena dengan labeling fetish dapat menyebabkan pelaku tertekan secara psikologis.

***

*) Oleh: Rama Fatahillah Yulianto, Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES