Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Fatalnya Cendekiawan Konservatif

Kamis, 13 Agustus 2020 - 11:37 | 115.05k
Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas Islam Malang (UNISMA).
Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa hari lalu di kampung halaman bertemu dengan  salah satu tokoh masyarakat. Bisa dikatakan tokoh masyarakat tersebut kyai langgaran (kyai yang memiliki Mushola) tokoh masyarakat tepatnya. Mengenai kemasyhuran religiusitas tidak dapat diragukan lagi. Sholat akan tepat waktu serta ibadah wajib nyaris  sempurna. Semua masyarakat di sekelilingnya tidak meragukan akan pemahaman ke Nahdlatul Ulama (NU) atau ke Muhammadiyah-an jangankan  hanya perbedaan fiqih, mengenai tauhidnya pun, paham.

Mula-mula dengan perbincangan sederhana. Fenomena kali ini dibuka dengan sebuah peristiwa serta dinamika kehidupan kita sehari-hari; Covid 19, peran pemerintah, dan mengapa urusan ibadah dikaitkan dengan musibah. Dalam ketiganya menjadi pembahasan secara detail dan singkat. Pun, semua itu memang dekat dengan kehidupan kita akhir-akhir ini. Seorang pengamat serta orang yang tidak ingin hanya menikmati namun merasakan kejanggalan dengan jiwa kritisnya, terkadang membuka diri untuk menunjukkan akan dirinya sebagai seorang cendekia.

Secara umum definisi atau pengertian umum akan  cendekiawan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), memiliki arti orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus membangkitkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang di atas dalam paragraf kedua, yang menggali pertanyaan akan tiga hal tersebut menjadi ciri seorang cendekia.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam kehidupan seorang cendikia bisa dilihat dari sebuah lingkungan masyarakat di mana hidup. Tepatnya, ketika berada dalam lingkungan. Maka pengaruh dari lingkungan menjadikan pola pikir, pembicaraan, dan tindakan. biasanya lebih sering disebabkan terkontaminasi dari sebuah kultur serta budaya (kebiasaan), kebiasaan yang sering terjadi, sering ditemukan, serta stigma dari banyak kepala dalam menghakimi atau memberikan asumsi.

Pertama, yang menjadikan sebuah kefatalan dalam hal tersebut. bisa dilihat dari sebuah gerakan (tindakannya). Kebencian dibangun dengan sebuah narasi satu arah. Bahkan, terkadang memberikan sebuah pandangan akan sebuah kejadian diberi perspektif satu arah. Memandang sebuah kejadian covid 19, baginya sebuah bentukan dari orang-orang pintar dengan berupa warna warni motif setiap orang sakit divonis terkena virus korona. Baginya “merugikan bagi kami, menguntungkan bagi mereka”, pandangan akan hal tersebut terlontar darinya. Tidak dapat disalahkan dan tidak dapat dibenarkan sebagai subjek yang ingin lebih bijak dalam memberikan komentar.

Kedua dalam hal tersebut dipandang dengan peran pemerintah. Dalam hal ini sebagai orang yang ingin membuka pandangan dengan banyak sisi tidak hanya bersudut pandang hanya pada satu sisi. Membuka dengan banyak sisi menjadi salah dua jalan bijak dalam tidak mudah serta mencederai orang cendikiawan. Jika dilihat dari peran pemerintah dalam hal covid 19 baginya sangat memberikan sebuah pandangan masyarakat akan membaca gerak serta kerja pemerintah dalam memberikan kebijakan; pandangan secara umum dalam penanganannya dalam lambat menanganinya memang ‘iya, bahwa bisa dihitung terlambat penanganannya, masih dibilang masih latah’, dalam mengambil keputusannya sebagai pemerintah telah tepat karena mengantisipasi akan lebih fatalnya kondisi pandemi tersebut.

Ketiga bagaimana kondisi seperti covid 19 ini masuk ke ranah vitalitas agama. Khususnya agama Islam, dalam pendapat tersebut terlontar pernyataan ‘bagaimana mungkin seorang beragama dilemahkan dengan adanya fenomena alam apalagi tidak terlihat ini , malah pemerintah melakukan kebijakan tidak harus melakukan ibadah secara berjamaah (bersama) dilarang, sebagai orang yang paham akan agama tidak terima dengan hal tersebut’, ungkapnya. Dalam pendapat tersebut dapat membuat seorang pemuda yang mengunyah asam garam di perguruan tinggi akan hal tersebut mencoba menarik nafas terlebih dulu memberikan sebuah pemahaman, apalagi untuk memberikan sebuah perspektif baru. Membaca mimik muka serta pemahamanya akan semua itu harus dikontrol. Karena sedikit tergambar sebuah kegelisahan yang memang terlahir dari sebuah kekecewaan atas keputusan. Bahkan dalam menyelimuti kebencian dalam beranggapan semua kejadian tersebut merupakan buah dari sebuah perpolitikan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tanggapan Perspektif Cendekia Konservatif

Semua seperti halnya menghadapi anak kecil. Membiarkan agar selalu bermain dengan pilihannya sendiri serta kenyamanan sendiri. Bagaimana seorang anak kecil akan dilarang bahkan tidak diperbolehkan  melakukan kesukaannya. Jika hal itu terjadi akan memberontak. Emosi, melakukan apa-apa yang dianggap benar, rasio tidak terkontrol terjadi fatalistik dalam memberi pandangan dan sanggahan. Dan pada akhirnya memaksakan dirinya selalu benar tanpa berpikir kebenarannya tepat tidak, dalam konteksnya. Namanya akan kecil terkadang sadar setelah orang tua tersebut telah memberi pandangan dan jera dalam melakukan sesuatu yang serupa yang kurang tepat.

Analogi tersebut merupakan refleksi dalam menggambarkan seorang yang konservatif. Dalam hal tersebut banyak cara dalam memberikan pandangan, yang paling sederhana yaitu mendiamkan diri kala semua pembicaraan itu terjadi. Seperti halnya seorang striker sepak bola menunggu umpan matang di dalam kotak penalti, dan bisa mencetak gol. Dan bersyukur bisa mendapatkan hadiah penalti kepadanya.

Sebenarnya dalam menghadapi cendekia konservatif lebih baik menghadapi orang nol potol (bodohnya orang bodoh), yang ingin sekali mengetahui sedikit banyak hal dengan apa yang ada di logos daripada banyak yang diketahui di logos ini. Sebab mengetahui keberadaan dunia dengan materil tidak akan menjadikan manusia lebih bisa membawa dirinya lebih baik dalam berpikir, jika yang dipikirkannya hanya dari satu sisi, namun jika dari banyak sisi akan menjadi bijak dalam menanggapinya.

Fatalistik seorang yang konservatif memaksakan sebuah pandangan lama tetap relevan di masa sekarang, atau keberadaan masa dulu ingin disamakan bahkan dibawa kemasa sekarang. Pendapat Sayyidina Ali dalam kata mutiaranya yang penuh hikmah “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya” hal tersebut menjadikan kita sebagai muslim harus berfikir yang kreatif bukan konsertif. Dan menjadikan agama islam yang visioner dan revolusioner dengan kreativitas, tanpa membuang tradisi lama yang masih relevan bahkan masih bisa dijadikan pedoman dalam hidup (intinya tetap menjaga tradisi lama menuju masa depan lebih sempurna).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES