Kopi TIMES

Menghindari Birokrasi Parkinson di Masa Pandemi

Rabu, 12 Agustus 2020 - 21:32 | 135.37k
Dimas Aufar Dwi Cahya, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya Malang, Peneliti di Pusat Kajian Inovasi Pemerintah Daerah (PUSPIDA) FISIP UB, dan Ketua Komisariat GmnI FISIP UB 2018 - 2019.
Dimas Aufar Dwi Cahya, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya Malang, Peneliti di Pusat Kajian Inovasi Pemerintah Daerah (PUSPIDA) FISIP UB, dan Ketua Komisariat GmnI FISIP UB 2018 - 2019.

TIMESINDONESIA, MALANG – Sejak pandemi corona berlangsung, birokrasi telah menjadi sasaran empuk bagi kemarahan publik. Bagaimana tidak, berbagai kritik dan kemarahan publik ini muncul akibat birokrasi yang dianggap tak solutif dalam menangani kasus Covid-19.

Hal ini dipicu dari mulai terlihatnya inkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah, tidak jelasnya mekanisme penyelesaian Covid-19, hingga layanan publik yang sempat terhenti beberapa hari di awal masa pandemi berlangsung. Seluruh permasalahan awal birokrasi ini menunjukkan bahwa birokrasi kita tengah mendapati ujian sulit yang tak terlupakan dalam sejarah tata kelola pemerintahan di Indonesia. 

Secara sekilas, sejarah birokrasi kita memang tidak secara utuh menunjukkan adanya perencanaan matang dalam menghadapi pandemi atau serangan skala global. Birokrasi di Era Soekarno misalnya saja, tidak mencerminkan proses persiapan secara menyeluruh dalam menghadapi pandemi atau serangan global, meskipun di masa ini konflik masih berkecamuk di beberapa tempat. Sebabnya ialah orientasi pemerintahan Soekarno yang masih harus dihadapkan dengan penyelesaian permasalahan inkosolidasi elite pusat hingga daerah, yang salah satu jalannya ditempuh dengan melakukan operasi militer ke daerah-daerah, dan pembersihan aparatur sipil negara yang dianggap tidak mendukung jalannya revolusi melalui komite PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara). 

Pada sisi yang sama, pemerintahan Soeharto juga tidak menunjukkan desain birokrasi yang memiliki daya tahan dalam menghadapi krisis atau pandemi seperti sekarang ini. Kita justru bisa melihat, bahwa birokrasi era Soeharto banyak dirancang untuk melakukan proyek diseminasi dalam rangka menjaga hegemoni penguasa pada periode yang panjang.

Demikian pula dengan birokrasi di era reformasi, yang meskipun membawa semangat perubahan dengan mengganti sistem-sistem birokrasi peninggalan orde baru, birokrasi era reformasi justru terjebak pada proses membangun kepercayaan dan kepuasaan jangka pendek kepada masyarakat. 

Kealpaan sejarah birokrasi kita untuk dapat menunjukkan adanya referensi desain tata kelola pemerintahan dalam menangani guncangan skala global seperti sekarang ini, akhirnya mendorong pemerintah pada level pusat maupun daerah mengajukan berbagai rancangan birokrasi sebagai upaya alternatif penanganan Covid-19. Sementara ini, pada level pemerintahan pusat dan daerah upaya penanganan Covid-19 dilakukan dengan rekayasa institusional atau institusional engineering dengan membentuk wadah birokrasi baru bertajuk Satgas Covid-19. Pembentukan Satgas Covid-19 sebagai bentuk upaya rekayasa institusional ini meskipun di banyak sisi menunjukkan sisi yang positif, namun tak sepenuhnya steril dari kritik dan evaluasi.

Berkaca pada keputusan Presiden Joko Widodo melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang secara tegas memiliki substansi pembubaran 18 lembaga pemerintah, menjadi fenomena penting yang harus dianalisis secara mendalam.

Dalam kajian ilmu pemerintahan, rekayasa institusional dengan membubarkan lembaga pemerintah adalah bentuk dari kebijakan menghindari "birokrasi parkinson". Menurut Hans-Dieter Ever dan Tilmen Schiel "birokrasi parkinson" digambarkan sebagai kemunculan birokrasi yang cenderung menggemuk, namun justru minim fungsi. Hal ini tentu juga berpotensi terjadi pada Satgas Covid-19 di setiap level pemerintah yang hingga hari ini masih menjadi tumpuan dalam menyelesaikan pandemi virus corona. 

Diberikannya kekuasaan yang optimal bagi Satgas Covid-19 untuk menyelesaikan pandemi virus corona, tentunya telah membuka potensi munculnya gejala "birokrasi parkinson". Kewenangan dan tuntutan yang besar bagi pemerintah melalui Satgas Covid-19 untuk menyelesaikan pandemi virus corona dapat membuka peluang dibentuknya mekanisme dan struktur birokrasi baru demi meningkatkan daya serap anggaran penangan Covid-19.

Permasalahannya kemudian adalah birokrasi baru ini justru dapat terkesan tidak fungsional, pemborosan anggaran atau bahkan dapat berpeluang hanya mencerminkan produk dari kohesi politik di tingkat elite, mengingat birokrasi sendiri tak pernah dapat lepas seutuhnya dari konsepsi relasi kuasa. 

Oleh karenanya pelaksanaan kewenangan pemerintah untuk menangani persebaran virus corona melalui Satgas Covid-19 dan lembaga sejenisnya, harus betul-betul dijalankan seefektif mungkin. Pemerintah diharapkan dapat kritis mengawasi potensi munculnya dorongan pembentukan birokrasi dan program baru penyelesaian pandemi, yang di banyak sisi justru dapat melahirkan peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan situasi dengan menguras "kas negara" atas nama membantu peningkatan daya serap anggaran. Pada titik yang sama, tentu keadaan seperti ini akan mengantarkan pemerintah pada jebakan korupsi di masa pandemi. 

Dengan demikian, meski keputusan pembubaran 18 lembaga melalui Perpres nomor 82 tahun 2020 dalam konsep keilmuan tata kelola pemerintahan dirasa tepat dilakukan, bukan berarti seutuhnya dapat terbebas dari petaka "birokrasi Parkinson". Masih besarnya potensi jebakan "birokrasi parkinson" terjadi, utamanya pada Satgas Covid-19 harus mulai menjadi perhatian serius kita bersama.

Potensi "birokrasi parkinson" ini dapat dicegah dengan menjalankan skema kerja penanganan covid-19 yang koordinatif dan di banyak hal menunjukkan kerja yang efektif, efisien, serta dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini juga harus diimbangi dengan upaya menjaga dan mengasah political will seluruh stakeholder terkait, agar tetap bekerja dengan mengutamakan prinsip kemanusiaan dan keselamatan bersama dengan menjauhi praktik-praktik politik oportunis. Akhir kata jika proses ini direalisasikan dengan konsisten, maka secara langsung birokrasi kita tentu telah memperbaiki kealpaan referensi tata kelola di masa lalu dengan menggoreskan sejarah baru keberhasilannya dalam menghadapi situasi genting pandemi virus corona.

***

*)Oleh: Dimas Aufar Dwi Cahya, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya Malang, Peneliti di Pusat Kajian Inovasi Pemerintah Daerah (PUSPIDA) FISIP UB, dan Ketua Komisariat GmnI FISIP UB 2018 - 2019.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES