Kopi TIMES

Pesantren dan Komunisme

Rabu, 12 Agustus 2020 - 22:49 | 127.77k
Ahmadd Sulthon Zainawi, Mantan sekertaris Federasi Bahasa Internasional masa bhakti 2018/2019 Lembaga Pengembangan Bahasa Asing, Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Ahmadd Sulthon Zainawi, Mantan sekertaris Federasi Bahasa Internasional masa bhakti 2018/2019 Lembaga Pengembangan Bahasa Asing, Pondok Pesantren Nurul Jadid.

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Meski mayoritas penganut komunisme itu atheisme, tapi pernyataan bahwa komunisme adalah atheisme itu salah. Sabab sejatinya komunisme dan atheisme adalah dua pemahaman yang berbeda. Komunisme merupakan ideologi politik dalam suatu negara sedangkan atheisme merupakan ideologi kepercayaan dalam suatu agama.

Hal yang melatar belakangi penceraian antara agama dan komunisme berawal dari arus pemikiran Karl Marx sebagai bapak komunis yang cukup ambivalen dengan agama. Ini dibuktikan dengan pernyataannya dalam buku Biografi Lengkap Karl Marx; Pemikiran dan Pengaruhnya (Labirin; 2017) bahwa “teologi harus menyerah atas superioritas filsafat”. Menurutnya selama masih ada agama, maka penindasan akan lebih menjadi subur, sebab umat beragama lebih mengandalkan doa ketimbang usaha.

Arus pemikiran ini yang kemudian menjadi suatu pemahaman rakyat China dan Uni Soviet sebagai negara penganut komunis terbesar di dunia untuk menolak ajaran beragama, sehingga mayoritas rakyat China dan Uni Soviet memutuskan suatu keputusan dengan mengukurkan kepada logika saja.

Namun meskipun negara penganut komunisme terbesar di dunia atau bahkan seorang bapak komunispun menolak akan paham dan ajaran agama, bukan berarti semua penganut komunisme anti agama. Saya membaca kehidupan di beberapa pesantren yang sistem kehidupannya berideologikan komunisme namun tetap memegang teguh asas-asas keagamaan.

Terdapat salah satu pondok pesantren besar berbasis modern di jawa timur dengan rangking ke-14 dari 17 pesantren terbesar se-jawa timur dilansir dari ceramahmotivasi.com (10/11/17) yaitu Pondok Pesantren Nurul Jadid yang didirikan oleh KH. Zaini Munim pada tahun 1950 di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Sebagai santri 6 tahun yang pernah mengaji, belajar, dan menyusun arah kehidupan, saya membaca bahwa pesantren tersebut menganut sistem komunis. Bagaimana tidak, coba bayangkan ketika kita menganalogikan pesantren sebagai suatu negara dan perekonomian dalam skala besar menjadi kekuasaan pesantren, apakah ini tidak disebut komunis? Ini masih perihal ekonomi bukan sistem partai dan derajat kemanusiaan.

Sistem pereknomian di pondok pesantren Nurul Jadid dalam skala besar sepenuhnya dihandle oleh pesantren meski ada beberapa lembaga formal dan non formal di dalamnya. Untuk beberapa lembaga itu tersendiri hanya memiliki perekonomian dalam skala kecil. Apabila seluruh lembaga itu membutuhkan dana dengan nominal yang cukup besar, maka lembaga  tersebut harus mengajukan proposal ke pesantren untuk menadapatkan dana. Begitupun usai pemakaian dana yang diberikan oleh pesantren, maka lembaga tersebut wajib memberi laporan.

Ini sama dengan sistem perekonmian di negara komunis seperti Korea Utara, China, dan Kuba yang menggunakan sistem ekonomi terpusat. Hampir semua  usaha yang krusial bagi kehidupan rakyat di Korea Utara dijalankan oleh Negara dan masyarakatnya hanya sebagai pegawai negeri. Begitupula dengan China dan Kuba meski tak separah Korea Utara. Sebab China kemudian melakukan reformasi ekonomi menjadi lebih kapitalis sedangkan kuba menyerahkan manajemen produksi pangan kepada masyarakat. 

Sistem partai

Negara dengan ideologi komunisme biasanya menganut sistem satu partai seperti China, misalnya. Meski di negara tirai bambu itu terdapat sembilan partai, namun yang memegang tombak kekuasaan adalah PKC belaka. Ini mirip alias hampir sama dengan PDIP dan PPP dihadapan Golkar pada masa orde baru. Ketika PKC bilang satu yang lain hanya bisa mendengar dan menaati.

Tak heran jika Xi Jinping telah lama menjabat sebagai presiden RRC dengan tempo waktu yang cukup lama, bahkan lebih dari dua periode. Karena asas-asas pemilu di  negara komunis berbeda dengan asas-asas pemilu di negara demokrasi. Di negara komunis seperti China, fungsi pemilihan umum hanya sebagai formalitas karena sejatinya yang dicalonkan oleh partai komunis dapat dipastikan menjadi presiden.

Tak dipungkiri, sistem satu partai ini sama dengan sistem kantor pusat di pesantren wabil khusus Pondok Pesantren Nurul Jadid. Maksudnya ada beberapa asrama dengan kantor independen di sana, sekitar belasan asrama dengan kantor independen. Namun yang memegang kekuasaan atas beberapa kantor itu ialah kantor pusat. Maka ketika kantor pusat mengubah segala aturan di suatu asrama, asrama itu hanya bisa “sami‘nā wa aṭa‘nā” meski memiliki kantor sendiri.

Derajat kemnusiaan

Selanjutnya yang membuat keyakinan saya semakin bulat akan penerapan ideologi komunisme di dalam pondok pesantren yaitu masalah derajat kemanusiaan yang menganggap bahwa setiap manusia itu setara. Tidak ada anak presiden, menteri, atau pengusaha ketika masuk ke pondok pesantren. Hanya ada tiga identitas yang dikenal yaitu; kiai, ustadz, dan santri. 

Berdasarkan pengalaman selama menjadi santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, ketika setiap anak masuk ke pondok pesantren dengan mengikrarkan diri sebagai santri, maka ketika itu pula tidak ada perbedaan golongan antara santri satu dengan yang lainnya. Maksudnya anak dari golongan rakyat kecil seperti buruh tani misalnya, berhak bergaul dengan anak golongan atas seperti anak aparat birokrat. Jarak pergaulan hanya berlaku antara santri dengan ustadz dan ustadz dengan kiai.

Jika diibaratkan dengan sistem pemerintahan di China, barangkali kedudukan kiai di pondok pesantren sama halnya dengan kedudukan Xi Jinping di China. Rakyat China segan terhadap Xi Jinping karena kedudukannya sebagai presiden sang pemegang kekuasaan negara. Di pondok pesantren, santri dan ustadz segan nan takdzim kepada kiai karena kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan dan karena jasanya yang rela membimbing dan mengajar.

Kesetaraan derajat antar manusia ini yang merupakan salah satu ciri paling utama dari ideologi komunisme. Sehingga memicu rakyat, terutama rakyat kecil untuk menggelut ideologi tersebut karena setiap diri dari rakyat bisa merasakan kemakmuran. Artinya tidak ada kaum proletar dan kaum borjuis.

***

*) Oleh: Ahmadd Sulthon Zainawi, Mantan sekertaris Federasi Bahasa Internasional masa bhakti 2018/2019 Lembaga Pengembangan Bahasa Asing, Pondok Pesantren Nurul Jadid.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES