Kopi TIMES

Memacu Konsumsi dengan Gaji ke 13 ASN

Rabu, 12 Agustus 2020 - 19:06 | 59.44k
Hayu Wuranti, Statistisi Ahli Madya, BPS Provinsi Jawa Tengah.
Hayu Wuranti, Statistisi Ahli Madya, BPS Provinsi Jawa Tengah.

TIMESINDONESIA, JAWA TENGAH – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mencairkan gaji ke-13 untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) pada bulan Agustus ini. Kebijakan ini bertujuan menggenjot konsumsi masyarakat yang turun selama pandemi virus corona.

Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar 28,5 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kebijakan ini yang akan diberikan kepada 4,1 juta ASN. Rincian penerimanya, tenaga administrator atau eselon 3 sebanyak 101.149 orang, dan tenaga pengawas atau eselon IV mencapai 327.915 orang. Lalu, diberikan juga kepada eselon V sebanyak 14.989 orang, jabatan fungsional umum sebanyak 1,6 juta orang, dan jabatan fungsional teknis yang jumlahnya mencapai 2,1 juta orang.

Pemerintah menganggap pelaksanaan gaji ke-13 sama seperti THR bisa dilakukan untuk menjadi bagian dari stimulus ekonomi atau mendukung kemampuan masyarakat dalam lakukan kegiatan-kegiatannya, terutama terkait tahun ajaran baru.

Hal ini disebabkan selama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ekonomi masyarakat paling bawah tertekan. Sehingga, pencairan gaji ke-13 dan pensiunan bisa menjaga daya beli atau tingkat konsumsi rumah tangga. Pencairan gaji ke-13 diharapkan bisa menggerakkan usaha yang selama ini macet karena pandemi virus corona.

Konsumsi yang akan meningkat adalah konsumsi non-makanan dan produk-produk UMKM, sehingga produk dari non-UMKM juga akan bergerak. Hal itu bisa terjadi lantaran pencairan gaji ke-13 akan melengkapi stimulus perlindungan sosial demi menjaga konsumsi masyarakat yang telah dikeluarkan pemerintah. Total anggaran pemerintah untuk stimulus ini senilai Rp 203,09 triliun. 

Memacu Daya Beli

Pencairan gaji ke-13 dan pensiunan bertujuan meningkatkan kemampuan daya beli atau tingkat konsumsi rumah tangga, sehingga mampu menggerakkan usaha yang selama ini macet karena pandemi virus corona. Berdasarkan Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) perekonomian Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga dengan andil sebesar 57,85 persen pada triwulan 2 2020. Karena memiliki kontribusi terbesar, konsumsi rumah tangga menjadi salah satu acuan untuk mengukur ekonomi secara keseluruhan.

Pada triwulan kedua, konsumsi rumah tangga yang memberikan sumbangan terbesar dalam perekonomian nasional mengalami kontraksi, dari yang biasanya tumbuh di atas 5 persen (5,18 persen di triwulan kedua 2019) menjadi minus 5,51 persen.

Stimulus ekonomi untuk mendukung kemampuan masyarakat dalam lakukan kegiatan-kegiatannya, selain Pencairan gaji ke-13 dan pensiunan adalah  program-program perlindungan sosial pemerintah seperti program keluarga harapan (PKH), kartu sembako, bansos sembako Jabodetabek, bansos tunai non-Jabodetabek, kartu prakerja, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa. Hal ini dilakukan dengan harapan bisa mendorong UMKM tingkat lokal bekerja.

Pencairan gaji ke-13 memang diperlukan agar konsumsi rumah tangga menjadi meningkat dan bisa mempercepat pemulihan ekonomi. Terlebih sasaran kebijakan ini adalah pejabat eselon III ke bawah yang jumlahnya lebih besar. Gaji ke-13 dapat membantu menjaga stabilitas daya beli ASN dan pensiunan, yang pada akhirnya mampu menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Namun gaji ke-13 ASN dan pensiunan tidak akan mengerek konsumsi masyarakat secara signifikan jika penerimanya memilih menabung ketimbang membelanjakannya.

Walaupun ASN mendapatkan insentif, namun jika minat untuk berkonsumsi itu rendah maka hal tersebut tidak akan cukup efektif untuk mendorong konsumsi masyarakat. Keputusan penerima gaji ke-13 menyimpan uangnya lantaran kondisi perekonomian masih tidak menentu yang tampak dari prediksi beberapa pakar ekonomi bahwa  pertumbuhan ekonomi masih akan terkontraksi.

Selain itu, virus corona yang belum terkendali juga menghambat minat masyarakat untuk berbelanja. Minat masyarakat untuk berbelanja memang masih minim. Terlihat dari masih sepinya pusat perbelanjaan setelah dibuka kembali saat pemberlakuan New Normal pada 15 Juni silam.

Pemerintah juga harus mendorong masyarakat untuk optimistis bahwa pandemi dan dampak Covid-19 bisa diatasi sehingga akan mendorong masyarakat melakukan kegiatan aktivitas seperti pergi keluar, traveling, atau pembelian makan di restoran. Pengendalian wabah menjadi kunci penting memberikan rasa aman bagi masyarakat.

Pengetatan kembali PSBB setelah jumlah kasus harian di Indonesia mencapai angka lebih dari 1000 kasus justru semakin menambah ketidakpastian ekonomi, khususnya pada pelaku usaha. Pengetatan PSBB tidak akan menjadi solusi bila kesadaran mematuhi protokol kesehatan masyarakat masih rendah.

Hal yang seharusnya dilakukan adalah peningkatan kedisiplinan masyarakat di masa pandemi. Hal ini dapat  membuat aktivitas perekonomian perlahan tumbuh serta menekan penyebaran virus Covid-19.  Jika wabah Covid-19 masih ada namun masyarakat tidak patuh, maka Indonesia akan mendapatkan dua kerugian  yaitu tingkat konsumsi yang rendah sehingga ekonomi terkontraksi dan wabah yang belum terkendali menyebabkan kasus covid-19 semakin tinggi.

***

*) Oleh: Hayu Wuranti, Statistisi Ahli Madya, BPS Provinsi Jawa Tengah.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES