Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Pegiat Sosial Sebagai Pejuang Kemerdekaan

Rabu, 12 Agustus 2020 - 15:03 | 33.27k
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Masalah kemajemukan yang gampang atau rawan terusik oleh nafsu kotor dapat diurai lewat komitmen kolektif yang diarahkan untuk membangun (membumikan) “surga sosial” di tengah masyarakat.  Kecenderungan hidup individualis atau memburu keuntungan sendiri harus dikalahkan oleh semangat kolektifitas dalam memerdekakan (menyelesaikan) persoalan penyakit sosial yang selama ini membelit dan menjerat sebagian warga bangsa yang hidup dalam ketidak-berdayaan.

Masyarakat yang sedang hidup dalam ketidakberdayaan di negeri ini tidak sulit ditemukan. Kalau mata kita layangkan ke sekeliling, kita fokuskan pada anak-anak miskin yang berserak hidup di jalanan, perempuan yang terpaksa jual diri demi anak-anak dan orang tuannya yang terhimpit kesulitan ekonomi, anak-anak drop out, bayi-bayi yang mengidap malnutrisi, dan saudara-saudara kita yang terhegemoni derita komulatif akibat bencana alam, maka sudah seharusnya kita ambil bagian sebagai subyek kreatif untuk memerdekaannya.

Kita tidak selayaknya berpangku tangan menyaksikan sesama hidup terhegemoni ketidak-berdayaan (empowerless), pasalnya kita bukanlah, meminjam istilah Herbet Marcuse sosok sosok manusia tunggal yang hanya hidup untuk diri dan kelompok, yang kehilangan kebeningan nurani dan semangat solidaritas sosial.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sebenarnya manusia seperti itulah yang tidak mampu atau gagal beradaptasi dalam keragaman. Keterasingan dan kesenjangan atas nama klas sosial, superioritas etnis, dan kemapanan ekonomi, telah membuatnya berposisi vis-a-vis dengan masyarakat pada umumnya. Ketika segolongan orang terjebak dalam pola gaya hidup monologisnya ini, bukan tidak mungkin komunitas lain yang merasa tersinggung, teraniaya, dan dirugikan, dengan cepat mereaksinya dengan sikap dan aksi radikal.

Mencuatnya sikap dan aksi itu ditembakkan kepada golongan eksklusif-monologis yang sejatinya bermaksud mengingatkannya supaya keberadaannya di tengah kemajemukan berbangsa ini berusaha keras membangun surga sosial. Kelebihan (kemapanan) ekonomi yang dimiliki seharusnya dijadikan modal untuk menabur kesalehan sosial, menjadi investasi agung yang bermaknakan pembebasan kesulitan sesama, atau berfungsi sebagai “surga” yang memberikan kedamaian, kenyamanan, dan kemakmuran bagi masyarakat.

Bertold Brecht dalam “Semua atau Tidak Sama Sekali” pernah menyindir manusia-manusia yang buta empati “kau yang lapar, siapa yang akan memberimu makan? Datanglah pada kami, kami pun kelaparan. Hanya orang-orang lapar yang akan memberimu makan”.

Sindiran Brecht itu merupakan kritik keras terhadap golongan elit minoritas yang sedang mengidap “kelaparan” empati atau yang sedang dilanda penyakit krisis kepedulian sesama dalam stadium akut, sehingga keberadaannya di tengah lingkungan dijadikan sebagai musuh publik (public enemy), atau dijadikan sasaran kelompok massa besar untuk dihakimi atau gampang dipraduga bersalah. 

Golongan itu memilih hidup menjauh atau mengasingkan diri dari lingkungan sosialnya, selalu menutup pagarnya rapat-rapat, atau tidak mau menghadirkan dirinya di tengah persaudaraan kemanusiaan dan persaudaraan kemasyarakatan, karena dihantui ketakutan akan berkurangnya kekayaan atau sumberdaya ekonomi yang dimilikinya.

Seharusnya, jika mereka itu menyadari makna strategisnya berperan sosial humanistik, tentulah “surga sosial” tidak  sulit dibangunnya. Kemampuan ekonomi yang dimilikinya bukan hanya dapat memerdekaan orang-orang lapar atau memerdekakan komunitas tidak berdaya ini dari ketidakberdayaan atau akumulasi penderitaan sosial yang diakibatkan kenaikan harga kebutuhan pokok, tetapi juga mampu menjadikannya sebagai kekuatan fundamental dalam mengawinkan (merajut kuat) kemajemukan.

Kebersamaan dalam membangun atau membumikan “surga sosial” akan menjadi kebersamaan yang mencairkan kecemburuan, kecurigaan, dan barangkali kebencian ke dalam ranah integrasi sosial, karena dengan kebersamaan ini, mereka diikat untuk saling solider atau mengencangkan kebulatan tekad dalam menjadikan setiap bentuk kesulitan yang menimpa sesama sebagai komitmen universal.

Setiap elemen bangsa memang selayaknya menjadi golongan pegiat sosial,  yang pegiat ini layak bergelar sebagai pejuang atau pewarna sejati kemerdekaan Republik Indosesia yang tidak membutakan nurani dan komitmen kemanusiaan, sehingga begitu menyaksikan kondisi masyarakat sedang dimarakkan penderitaan dan diuji susahnya memenuhi kebutuhan pokok ini akibat masih dicengkeram Covid-19,  mereka secepatnya mengambil bagian sebagai pejuang tanpa pamrih, tanpa mendiskriminasikan, tanpa mempertimbangkan asal primordial dan etnisnya,  atau benar-benar pemerdeka universal kemanusiaan yang menyatukan tanggungjawab dalam dimensi kemasalahatan masyarakat.

Kemerdekaan tidak akan menjadi kemerdekaan yang benar-benar bermakna jika kita tidak mengubah mentalitas kita yang berkecenderungan eksklusif menjadi humanis dalam ranah realiasi diri sebagai pegiat sosial. Peran ini akan memberikan dampak besar dalam “menggendong” kondisi Sebagian  saudara kita yang hidup terpuruk.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES