Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Jangan Sampai Jadi Budaya Hukum

Rabu, 12 Agustus 2020 - 14:22 | 72.43k
Anang Sulistyono, Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan hukum (BKBH), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Anang Sulistyono, Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan hukum (BKBH), Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Salah satu pakar hukum yang sering dijadikan acuan atau referensi kalangan pembelajar hukum adalah Lawrence M. Friedman. Menurut Lawrence M. Friedman, bahwa sebagaimana yang diketahui bahwa sistem hukum merupakan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Bila dilihat sebagai sistem tersendiri, maka sistem hukum terdiri dari: (1) Substansi Hukum,  (2)  Struktur Hukum, dan  (3) Budaya Hukum (legal culture).

Budaya hukum adalah pola, sikap, perasaan,  yang mendasari dan mengarah pada tingkah laku, sikap, tanggapan, persepsi, terhadap hukum dalam sistem hukum dan sistem social. Pemahaman ini sudah jelas dan ternag maknanya, bahwa budaya itu berelasi dengan sikap,  bentuk dan perilaku manusia dan aspek-aspek yang “mengitarinya”.

Berdasarkan batasan tersebut maka bagaimana individu, kelompok, masyarakat, komunitas, bersikap, bertindak, berekspresi, berpersepsi, terhadap hukum, sistem hukum, merupakan cermin dari budaya hukum  individu, kelompok, masyarakat, komunitas, dimaksud. Oleh sebab itu budaya hukum bisa dikelompokkan menjadi dua: (1) positif (yang mendukung, menerima, berperilaku sesuai hukum), (2) negatif (yang menentang, melanggar hukum).  Eigenrichting  atau kekerasan atau segala bentuk perbuatan yang melanggar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok adalah contoh budaya hukum yang negatif, utamanya  bagi negara hukum yang mengakui, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan supremasi hukum, seperti negara Indonesia. Hal ini dilakukannnya dengan banyak apologia tau alasan yang dikemukakan oleh pelakunya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Eigenrichting  tidak boleh sampai bergeser jadi budaya hukum, pasalnya kalau hal ini sampai terjadi, maka atmosfir dalam kehidupan masyarakat ini akan banyak menghdapi barbarian yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Mereka bisa saling unjuk kebiadan atau apa yang menurutnya tidak memuaskan, misalnya secara hukum sudah benar, tapi menurutnya tetap salah dan berlawanan dengan kepentingannya, maka masyarakat dan kehidupan bernegara ini menjadi kacau.

Dunia hukum akhirnya hanya akan menjadi dunia prasangka, dan bukan sebagai norma yang memberikan kepastian mengenai jalna hidup yang terbaik dan memuaskan (memberikan keseimbangan) secara psikologis.

Kita pernah diingatkan oleh Notohamidjojo yang berargumentasi, bahwa ilmu hukum menuntut pada pemangku atau pelaksananya untuk menilai dalam dua segi. Dua segi yang dimaksud adalah pertama, menilai isi peraturan hukum dan kedua menilai dalam pelaksanaan hukum. Akan tetapi kedua segi pekerjaan yuris tersebut terikat oleh norma-norma moral, keadilan, aequitas, kebenaran, dan kebaikan. Makin besar ia merasa terikat oleh norma-norma moral itu, makin baik mutunya sebagai norma yuridis, sebagai otoritas hukum, dan semakin besar sumbangannya bagi pembangunan hukum dan masyarakat dari Negara.

Peringatan pakar itu bermaksud menyarakan atau mengajak paham pada semua pembelajar dan praktisi hukum, bahwa dunia hukum adalah dunia yang mulia yang setiap ornag mempunyai kewajiban menghomatinya sebgai norma yang mengikat perilakunya, karena dalam norma ini ada nilai-nilai kemuliaan yang diamanatkan padanya. Kalau sampai tidak dihormati, maka di tengah masyarakat ini akan banyak perilaku manusia yang mencuat yang tidak menghomati hak asasi manusia maupun kehadiran negara. Praktik main hakim sendiri hanya menjadi salah satu contohnya, bahwa apapun bisa terjadi di tengah masyarakat ini, sehingga semuanya harus menjalaninya dengan saling menghomati produk hukum negara.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Guru besar Ilmu Hukum Subekti juga sudah lama mengingatkan, bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah: mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Hukum tidak saja harus mencari keseimbangan antara berbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, untuk mendapatkan “keadilan” tetapi hukum juga harus mendapatkan keseimbangan lagi antara tuntutan keadilan tersebut dengan tuntutan “ketertiban” atau “kepastian hukum”.

Kalau  setiap individua atau kelompok saling berbuat atau menyepakati pola perilaku yang antagonistic dengan norma-norma hukum, maka jelas tujuan mulia hukum tidak akan pernah terwujud. Yang terwujud hanyalah ambisi atau nafsu sadis, biadab, dan eksklusif setiaap orang atau kelompok itu. Disinilah kemudian hidup menjadi kehilangan makna dan keterarahan yang benar.

Van Apeldoorn, yang pikiran-pikirannya juga banyak dijadikan rujukan ahli hukum dunia  dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandserecht” pernah mengatakan, bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. hukum menghendaki perdamaian. Kalau ada sekelompok orang berbuat sesukanya, apalagi berusaha kuat menggesernya menjadi budaya hukum, tidak mungkinlah terbentuk kedamaian di tengah masyarakat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Anang Sulistyono, Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan hukum (BKBH), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES