Kopi TIMES Universitas Islam Malang

“Menikmati” Keterjajahan

Rabu, 12 Agustus 2020 - 09:20 | 39.15k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – “Orang yang dapat menghadapi hidup adalah mereka yang  bangkit dan mencari keadaan seperti yang diinginkan. Bila tidak menemukannya,   mereka menciptakan keadaan tersebut”, demikian ungkap George Bernard Shaw, yang mengandung filosofi kebermaknaan hidup.

Dalam pandangan tersebut, manusia diingatkan tentang kesejatian dirinya yang ditentukan oleh peran-peran yang dimainkan atau dikreasikannya sendiri. Kebermaknaan hidup hanya bisa diraih dengan cara mencari dan menciptakan keadaan sesuai yang dicita-citakan atau diobsesikannya.

 Kita misalnya tidak akan pernah mencapai kemajuan bermain sepakbola seperti yang pernah diraih Belanda. Belanda bisa meraih ini, termasuk meraih “prestasi” dengan menjajah bangsa ini, tentulah tidak lepas dari “agresifitasnya” dalam menunjukkan diri sebagai bangsa yang berakal, punya kreatifitas, keberanian, atau kemampuan yang dikembnagkan yang melebihi kita.

Kita kutuk penjajah atas dasar “kelebihan” yang dimilikinya itu, yang seolah menempatkan kita ini bukan sebagai elemen bangsa berstatus “warga kelas dua” di dunia, yang  tidak akan mampu menyaingi, apalagi melebihi kemampuan “mantan” bangsa penjajah. Kita mestinya tidak demikian, pasalnya kalau kita pernah menunjukkan kelemahan dengan “menikmati” keterjajahan, maka sudah saatnya kita terus mendemonstrasikan ragam prestasi yang mengesankan, yang membuat bangsa di dunia tahu dan paham, bahwa kita bukanlah menjadi bangsa yang tidak menjadikan romantisme “kenikmatan” sebagai bangsa jajahan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sebagai sampel refleksi misalnya, kita bisa saja membayar pelatih asing dengan harga selangit dengan misi untuk memajukan prestasi sepakbola (berandai-andai tidak sedang dalam jajahan Covid-19), tetapi apa yang kita capai tetaplah mengenaskan atau memprihatinkan akibat sikap kita yang tidak berusaha memaksimalkan “warisan historis” dimana seharusnya memiliki “mental” sebagai penjajah, dan bukan sebagai yang suka “menikmati”  keterjajahan.

Kita memang faktanya masih menyukai keterparahan terpapar dalam virus “menikmati” keterjajahan daripada mempunyai nafsu (semangat kuat) dan aksi pembentukan diri yang tinggi sebagai bangsa berkemajuan atau minimal suka bertarung (berkompetisi) dengan menggali potensi, bakat, kemampuan, atau segala yang terpendam dalam diri yang bertajuk “daya”.

Kita selama ini lebih sering asal-asalan dan “meliberalisasikan” diri dalam menghadapi atau menjalani kehidupan di muka bumi, yang seolah hidup ini tidak memerlukan sesuatu yang istimewa dan berguna, sehingga apa yang dilakukan identic yang penting sudah menyenangkan dan memuaskannya.

Prinsip sesuka hati dan membiasakan hidup santai, menerima saja tanpa ada usaha maksimal, tanpa perjuangan, tanpa kegigihan, tanpa ketekunan, tanpa kreatifitas, atau tanpa mengerahkan segala kemampuan, seolah telah demikian akrab menjadi bagian dari diri kita, menjadi “neo-kolonalisme” dalam diri kita.

Kita gampang bilang bahwa apa yang terjadi sudah ada garisnya dari Tuhan, padahal kita sebenarnya tidak pernah tahu, apa sebenarnya garis yang sudah dibuat atau dirumuskan oleh Tuhan.

Kita mudah menyebut kalau kemudahan atau kesulitan, kesenangan atau kesusahan, keberdayaan atau ketidakberdayaan, yang mengenai kita sudah diatur dari “Atas”, termasuk barangkali saat kita dijajah bangsa lain.

Realitas yang mudah, kita seringkali menemukan sekelompok anggota masyarakat dan anak-anak muda yang menikmati kehidupan yang serba santai, yang kesehariannya dihabiskan hanya untuk jalan-jalan, cangkrukan, menyemarakkan kehidupan malam sampai pagi, atau pola hidup yang merugi, yang kalau ditanya dan dilarang, jawabannya “senyampang masih muda, masih  ada waktu, dan belum mati”.

Prinsip seperti itu dapat membuat kita gampang menjadi sosok manusia yang tidak bersungguh-sungguh mengonstruksi inovasi dan menyalakan semangat guna mencari dan menemukan sesuatu yang kita cita-citakan, padahal cita-cita kecil maupun besar baru bisa diraih jika dilalui dengan cara terus menerus mencari dan berusaha membangun kultur menciptakan.

Kata kunci idealnya tertuju pada mencari dan menciptakan. Kedua kata kunci ini secara psikologis dimaksudkan untuk membangkitkan emosi dan kesadaran intelektualitas manusia supaya hidupnya  punya warna, ada sejarah yang terbentuk, ada pola hidup mencerahkan yang bisa dinikmati, atau nilai-nilai kebermaknaan yang diraihnya.

Dalam ranah itu, seseorang berusaha mengerahkan bakat, potensi, atau keistimewaan dalam dirinya yang bisa dikonsentrasikan untuk mendapatkan dan menghasilkan sesuatu yang bernilai. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sesuatu yang bernilai ini tentulah yang membuat peran-peran yang dilakukannya bermanfaat bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk “harga diri negerinya”, bukan apologi kalau “segalanya tidak lepas dari kesalahan yang dilakukan oleh para penjajah”.  Kita harus tunjukkan bahwa kita bukan bangsa yang suka “menikmati keterjajahan”, apalagi sampai berulang-ulang dari zaman ke zaman.

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES