Kopi TIMES

Sisi Lain Kisah Djoko Tjandra, Tentang Eksistensi PK JPU yang Pernah Ada

Selasa, 11 Agustus 2020 - 05:21 | 114.14k
Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum., Jaksa pada Kejari Situbondo/Tenaga Pengajar Pada FH Unars Situbondo/Mahasiswa S3 FH Unhas Makassar Beasiswa Badan Diklat Kejaksaan RI.
Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum., Jaksa pada Kejari Situbondo/Tenaga Pengajar Pada FH Unars Situbondo/Mahasiswa S3 FH Unhas Makassar Beasiswa Badan Diklat Kejaksaan RI.

TIMESINDONESIA, SITUBONDO – Joko Soegiarto Tjandra, yang lebih familiar disebut dengan Djoko Tjandra menjadi primadona pembicaraan akhir-akhir ini. Terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali yang telah diadili pertama sekitar dua dekade yang lalu ini mengejutkan publik karena sempat berada di Indonesia padahal yang bersangkutan merupakan buronan Aparat Penegak Hukum lebih dari satu dasawarsa.

Dikutip dari laman kompas.com, perjalanan kisah panjang Joko Tjandra berawal dari keterkaitannya sebagai Direktur PT Era Giat Prima yang mendapatkan hak pengalihan penagihan piutang Bank Bali di Bank Indonesia, sehingga dinilai merugikan keuangan negara lebih dari sembilan ratus miliar rupiah. Namun dalam pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan diputus lepas oleh Majelis Hakim karena kasus tersebut dipandang bukan merupakan perbuatan pidana melainkan masuk dalam ruang lingkup ranah perdata.

Selanjutnya Penuntut Umum melakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung namun putusannya selaras dengan putusan pada Pengadilan Negeri, sehingga pada saat itu perkara aquo telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Atas hal tersebut kemudian Penuntut Umum melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dengan putusan yang akhirnya berbeda dari putusan tingkat sebelumnya, dengan menyatakan Joko Tjandra bersalah dan menghukum karenanya. Namun demikian belum sempat dieksekusi oleh Jaksa, terpidana Joko Tjandra telah melarikan diri dari Indonesia.

Karakteristik Upaya Hukum PK

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa Perlawanan atau Banding atau Kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam ketentuan hukum acara pidana. Jadi dalam proses peradilan pidana (criminal justice process) upaya hukum merupakan langkah jalan keluar terhadap ketidakpuasan dari pihak-pihak yang telah ditentukan undang-undang atas putusan Hakim Pengadilan.

Secara umum upaya hukum diatur dalam kitab induk hukum pidana formil berlabel UU Nomor 8 Tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara garis besar upaya hukum terbagi menjadi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Apabila dikaji secara sederhana maka perbedaan tersebut terletak pada fase waktu pengajuan, yang mana upaya hukum biasa dapat diajukan dalam masa sebelum perkara tersebut berkekuatan hukum tetap, sedangkan upaya hukum luar biasa baru dapat diajukan setelah perkara aquo mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Upaya hukum PK termasuk dalam ruang lingkup upaya hukum luar biasa yang diatur dalam rentan Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Secara umum PK diartikan sebagai upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. 

Apabila dilihat dari ketentuan KUHAP maka subjek hukum yang bisa mengajukan PK bersifat limitatif tersurat yaitu hanya terpidana atau ahli warisnya. Adapun alasan PK pun bersifat terbatas ditentukan dalam undang-undang yaitu karena adanya keadaan baru (novum), adanya putusan yang bertentangan satu dengan yang lain, dan/atau adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

Tidak adanya pengaturan Penuntut Umum dalam KUHAP sebagai pihak yang dapat mengajukan PK, menurut M. Yahya Harahap karena undang-undang memang memperuntukkan PK untuk kepentingan terpidana. Upaya hukum luar biasa selain PK dalam KUHAP telah dibuka kesempatan kepada Penuntut Umum melalui Jaksa Agung berupa Kasasi Demi Kepentingan Hukum. Oleh karena itu hak mengajukan PK merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya untuk menyelaraskan keseimbangan hak mengajukan Kasasi Demi Kepentingan Hukum yang diberikan undang-undang kepada Penuntut Umum melalui Jaksa Agung, sehingga kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang.

Terobosan Hukum JPU melakukan PK

Putusan Nomor 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996 telah menjadi sejarah awal tentang PK Penuntut Umum yang diterima secara formal oleh Mahkamah Agung dalam kasus Muchtar Pakpahan. Di dalam kasus tersebut Muchtar Pakpahan divonis bersalah dalam tingkat Pengadilan Negeri dan tingkat Banding, namun diputus Bebas dalam tingkat Kasasi. Kemudian Penuntut Umum melakukan upaya hukum PK dan untuk pertama kalinya Mahkamah Agung menerima dan mengabulkan permintaan PK dari Penuntut Umum dan menyatakan Muchtar Pakpahan divonis bersalah.

Langkah 'berani' Penuntut Umum dalam kasus ini berhasil menerobos 'tembok kertas' yang mengatur tentang ketentuan Penuntut Umum yang tidak menjadi bagian dari pihak yang dapat mengajukan PK. Yurisprudensi inilah yang kemudian menjadi preseden Penuntut Umum sebagai dasar hukum dalam mengajukan PK pada masa-masa selanjutnya tidak terkecuali dalam perkara Joko Tjandra.

Hal yang bersifat terobosan semacam ini juga pernah terjadi terkait upaya hukum Kasasi. Kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan Kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Bunyi Pasal 244 KUHAP tersebut telah secara tegas menyatakan jika putusan bebas tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi.

Pada tahun 1982 dalam perkara Natalegawa yang merupakan Direktur Bank Bumi Daya pada saat itu didakwa melakukan tindak pidana korupsi diputus bebas dalam tingkat Pengadilan Negeri, atas hal tersebut kemudian Penuntut Umum melakukan upaya hukum Kasasi, dan melalui Putusan Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 Mahkamah Agung menerima secara formal permintaan Kasasi Penuntut Umum atas perkara yang diputus bebas tersebut. Putusan dari Mahkamah Agung bertajuk 'bebas tidak murni' tersebut juga telah mengesampingkan (contra legem) ketentuan KUHAP yang kemudian menjadi landasan Penuntut Umum dalam mengajukan upaya hukum Kasasi terhadap putusan bebas yang lain pada masa berikutnya.

Nasib PK JPU Pasca Putusan MK

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga tinggi negara yang memegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung (MA). Adapun salah satu tugas MK adalah menguji undang-undang apakah bertentangan atau tidak terhadap UUD 1945. Tidak terkecuali dengan ketentuan PK oleh Penuntut Umum, polemik pertentangan antara realita dengan ketentuan dalam KUHAP pun telah diuji.

Mahkamah Konstitusi yang melakukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah mengeluarkan Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 yang diucapkan tertanggal 12 Mei 2016 yang menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit (tegas) tersurat dalam norma a quo.

Hal ini mengartikan bahwa klausul yang tertulis dalam bunyi Pasal 263 ayat (1) KUHAP harus 'saklek' dan tidak boleh ditafsirkan lagi termasuk klausul terkait pihak-pihak yang dapat mengajukan PK. Oleh karena sifat putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh, serta mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding), maka sejak saat itu pula secara tegas Penuntut Umum bukanlah pihak yang dapat mengajukan PK sesuai bunyi tersurat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Sehingga secara konsistensi formal pengajuan PK oleh Penuntut Umum pasca putusan MK tidak lagi dapat diterima.

Hal berbeda terjadi terhadap uji materi Pasal 244 KUHAP terkait Kasasi terhadap putusan bebas yang dilakukan Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 114/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013, disebutkan jika frasa 'kecuali terhadap putusan bebas' dalam Pasal 244 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini mengartikan bahwa Penuntut Umum dalam perkara bebas sudah dapat mengajukan Kasasi tanpa harus lagi mengurai tentang bebas tidak murni.

Penuntut Umum memang bukan lagi pihak yang dapat mengajukan PK pasca Putusan MK, namun demikian tulisan M. Yahya Harahap tentang pertanyaan yang dikemukakan oleh Alan M. Dershowitz patut direnungkan yang berbunyi: 'Bagaimana Pengacara, Penuntut Umum, dan Hakim bisa tidur jika mengetahui seorang yang bersalah bebas dari hukuman? Bagaimana kita bisa tidur jika seseorang yang tidak bersalah dijebloskan dalam penjara?' 

Perenungan terhadap pertanyaan tersebut diperlukan dalam situasi dan kondisi penegakan hukum yang bersifat kasuistis eksepsional, sehingga pagar tembok kertas berlabel sebuah klausul pasal tidak serta merta menjadi penghalang demi tegaknya sebuah keadilan. Ya, sekali lagi 'Untuk Keadilan'.

***

*) Oleh: Handoko Alfiantoro, S.H., M.Hum., Jaksa pada Kejari Situbondo/Tenaga Pengajar Pada FH Unars Situbondo/Mahasiswa S3 FH Unhas Makassar Beasiswa Badan Diklat Kejaksaan RI.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES