Kopi TIMES

Covid-19, Resesi dan Siaga Satu Perekonomian Indonesia

Senin, 10 Agustus 2020 - 20:34 | 48.16k
Tri Karjono, Staf Ahli BPS Provinsi Jawa Tengah.
Tri Karjono, Staf Ahli BPS Provinsi Jawa Tengah.

TIMESINDONESIA, JAWA TENGAH – Pandemi Covid-19 telah secara nyata memberi dampak yang sangat luar biasa terhadap perekonomian hampir seluruh negara di dunia. Memasuki akhir kuartal kedua beberapa negara telah memproklamirkan diri mengalami keterpurukan ekonomi yang ditandai dengan masuknya situasi ekonomi negara tersebut dalam kategori resesi pada tahun ini. 

Resesi atau kemerosotan ekonomi merupakan kondisi dimana ketika suatu prosuk domestic bruto/PDB atau pertumbuhan ekonomi riil suatu Negara mengalami kontraksi selama dua kuartal atau lebih dalam setahun.

Kontraksi dapat diartikan sebagai pertumbuhan yang negative. Ketika kontraksi berlangsung berturut turut dalam jangka waktu yang lama maka akan mengakibatkan depresi ekonomi. Berbagai sumber menyebutkan bahwa ketika pertumbuhan ekonomi negative berlangsung lebih dari 18 bulan maka sejatinya depresi ekonomi telah terjadi pada suatu negara tersebut. Ini akan terjadi ketika pemerintah tidak mampu membuat kebijakan yang tepat untuk segera dapat  dalam mengatasi kontraksi PDB yang terjadi sesegera mungkin.

Uni Eropa sebagai komunitas Negara yang dikenal memiliki tingkat perekonomian yang stabil selama ini, pun dua kuartal berturut-turut mengalami kontraksi 3,2 persen pada kuartal pertama dan 11,9 persen di kuartal kedua. Demikian pula negara kota bisnis seperti Singapura jatuh lebih dalam dengan minus 3,3 persen dan 41,2 persen. Atau pula dua Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di duniapun tak berdaya dan harus terkapar oleh serangan pandemi ini.  Sepertinya akan semakin banyak lagi Negara-negara yang akan bernasib serupa. Jika ini terjadi maka resesi ekonomi akan terjadi secara global. 

Bagaimana dengan Indonesia?

Kebijakan untuk melakukan pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia seperti penutupan sekolah dan beberapa kegiatan bisnis, pembatasan kegiatan masyarakat (PKM), pemberlakuan PSBB bahkan lockdown telah mengakibatkan penurunan konsumsi dan investasi.

Kebijakan ini yang hanya dilakukan kurang dari satu bulan pada kuartal pertama tahun ini (bulan Maret saja) telah membuat pertumbuhan ekonomi yang biasanya tidak kurang dari 5 persen menjadi hanya 2,97 persen. Padahal pemerintah, Bank Indonesia bahkan banyak pengamat saat itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal pertama hanya akan turun menjadi tidak kurang dari 4,5 persen. Ini tidak lepas dari keyakinan akan kebijakan yang dilakukan pemerintah yang lain yaitu menyiapkan dan menyalurkan berbagai stimulus ke banyak pihak termasuk masyarakat terdampak langsung dilakukan. Tetapi lagi-lagi kesigapan implementasi di lapangan kadang masing menghambat.

Berdasar pada situasi tersebut, saat itu segera pemerintah melakukan kebijakan pelonggaran terhadap berbagai bentuk pembatasan bisnis maupun aktivitas masyarakat, kecuali sekolah, dilakukan. Kebijakan pelonggaran pembatasan aktivitas tersebut juga dibarengi dengan kebijakan berbagai stimulus baru dan cakupan bantuan terhadap masyarakat terdampak yang diperluas dengan meningkatkan anggaran penanganan Covid-19 melalui realokasi anggaran negara dan daerah. Hal ini diharapkan roda perekonomian dapat kembali berangsur pulih demi menjaga dan menghindari kemungkinan keterpurukan ekonomi yang lebih dalam pada kuartal kedua dan selanjutnya. 

Namun realitasnya penerapan pelonggaran aktivitas ini menjadikan boomerang dari sisi kesehatan. Terbukti kebijakan ini justru seakan-akan menjadikan kasus penderita Covid-19 yang semakin meningkat. Disamping itu cluster baru bermunculan pada ranah dimana tempat tersebut ketika dilakukan pembatasan aktivitas belum terjadi, diantaranya industri dan perkantoran. Ini menjadi kehawatiran tersendiri bagi masyarakat dan dunia usaha untuk melangkah secara mantab dalam menggerakkan kembali ekonominya.

Akhirnya beberapa hari yang lalu BPS merilis laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal kedua {5/8/2020). Tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal kedua dibanding kuartal pertama mengalami kontraksi sebesar 4,19 persen. Situasi ini menjadikan kumulatif pertumbuhan ekonomi pada semester pertama 2020 dibanding semester pertama tahun 2019 terkontraksi sebesar 1,26 persen dan year on year atau selama setahun terakhir terkontraksi cukup tinggi yaitu 5,32 persen. 

Masyarakat pantas bertanya-tanya dengan situasi ini. Apakah hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang telah diambil kurang tepat atau karena implementasi kebijakan yang dilakukan tidak berjalan dengan baik. Hal ini sulit untuk dipastikan. Lagi-lagi salah satu penyebabnya adalah serapan anggaran dalam mendukung berbagai kebijakan pemerintah tersebut masih jauh dari target. Pertengahan Juni presiden marah akibat serapan anggaran yang masih sangat rendah. Bahkan beberapa informasi terakhir sampai bulan Juli saja serapan anggaran kesehatan baru terserap 7,19 persen. Padahal perekonomian akan berjalan dengan baik ketika kesehatan dalam situasi seperti sekarang ini dapat terjamin. 

Baru saja presiden menyampaikan kebijakan baru dengan akan memberi bantuan tunai terhadap pekerja swasta dengan take home pay kurang dari 5 juta rupiah (6/8/2020). Bahwa sesuai dengan hasil survei BPS bahwa pandemi ini telah menurunkan pendapatan utamanya pada masyarakat dengan berpendapatan rendah. Semakin rendah pendapatan seseorang maka akan lebih berpotensi mengalami penurunan pendapatan selama pandemi ini. Oleh karenanya kebijakan baru ini diharapkan akan mampu mengembalikan pendapatannya yang berkurang dan mengembalikan daya belinya.

Seperti dijelaskan pula oleh BPS bahwa sumber tertinggi dari terkontraksinya pertumbuhan ekonomi kuartal kedua ini adalah konsumsi rumahtangga yang mengalami penurunan sebesar 2,96 persen atau 57,85 persen dari PDB year on year. Sehingga ekonomi akan kembali bergerak. Namun kembali implementasi lapangan, siapa saja mereka yang berhak dan sebagainya menjadi pekerjaan rumah tersendiri.

Di luar harapan kembali meningkatnya daya beli masyarakat melalui berbagai bantuan baik langsung maupun tidak langsung, juga beberapa masih dapat diharapkan untuk bisa mendongkrak tumbunya PDB pada kuartal ketiga ini. Diantaranya adalah mempertahankan dan memperkuat kebijakan yang talah ada, segera merealisasikan belanja barang dan jasa serta belanja pegawai yang tertunda, serta secercah harapan dari situasi ekpor impor di mana bulan Mei dan Juni ini mengalami tren nilai transaksi yang membaik dan terjadi surplus, situasi yang belum pernah terjadi dari lebih dua tahu terakhir.

Lebih dari itu, kepatuhan siapapun terhadap protokol kesehatan Covid-19 menjadi kunci penting dalam kembali menjadikan kuartal ketiga sebagai momentum titik balik pertumbuhan ekonomi Indonesia agar tidak terjadi resesi seperti yang telah terjadi di beberapa negara saat ini. 

***

*) Oleh : Tri Karjono, Staf Ahli BPS Provinsi Jawa Tengah

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES