Kopi TIMES

Integrasi Komunal Desa, Antisipasi Krisis Pascapandemi

Sabtu, 08 Agustus 2020 - 15:01 | 60.83k
Choirul Amin, Pegiat literasi, founder inspirasicendekia.com, *) Bergiat di AKSARA CENDEKIA Learning Society. Bekas fasilitator program Life-Site Laboratorium PLS UM. 
Choirul Amin, Pegiat literasi, founder inspirasicendekia.com, *) Bergiat di AKSARA CENDEKIA Learning Society. Bekas fasilitator program Life-Site Laboratorium PLS UM. 

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam masa pandemi corona ini, eksistensi desa sebagai sebuah entitas memang sedang diuji dan dipertaruhkan. Tak hanya kekuatan komunal warga masyarakatnya, melainkan juga public trust terhadap kepemimpinan, menjadi hal penting yang harus ditata ulang, bahkan mungkin perlu dibenahi. 

Disain ideal pembangunan desa sudah digambarkan dalam sebuah perencanaan matang sebelumnya. Seperti, melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes), jangka pendek,  menangah dan panjang. Prosesnya pun tidak mudah, melalui kajian matang dan pemikiran panjang semua pihak. Bisa jadi bahkan, melalui pengelolaan konflik (kepentingan) yang penuh kerja keras dan menyita waktu. 

Sedikit ganjalan memang, terlebih bagi desa yang dikepalai kades baru, apa yang sudah dijanjikan dalam visinya, belum sepenuhnya bisa diwujudkan karena penyesuaian kondisi pandemi. Ada kegalauan pemangku desa, masyarakatnya menjadi meragukan, bahkan berujung skeptis dan apatis, karena berbagai perubahan mendadak yang harus dialami di tengah jalan akibat pandemi. Sekadar catatan, di Kabupaten Malang ada sejumlah 169 kepala desa baru yang baru menjabat setelah terpilih saat Pilkades serentak 2019 lalu.  

Sebuah testimoni logis dan berdasar, dialami sejumlah kepala desa dan pemangku pemerintahan di kecamatan Kepanjen,  Kabupaten Malang. Kades Kedungpedaringan Kepanjen, Suhartono misalnya, mengakui memiliki kekhawatiran terkait kritik warganya yang mempertanyakan janji program yang sudah banyak disampaikannya dalam berbagai kesempatan. Terlebih, ia tergolong kepala desa yang baru terpilih dan menjabat setahun terakhir. 

"Saat seperti ini rentan, desa jadi sasaran warga yang kurang memahami kondisi dan fakta sebenarnya. Berubah-ubahnya kebijakan pemerintah, bisa berpotensi memunculkan ketimpangan di bawah. Kasus penerima bansos yang tidak bisa dipastikan, juga skema pemanfaatan Dana Desa yang terpaksa harus diubah, rentan memicu protes warga. Ya, pihak desa yang harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan dampaknya," kata Suhartono. (wawancara diambil 1 Juli 2020 di kantor desa setempat). 

Sebagai ilustrasi, Desa Kedungpedaringan Kepanjen ini mendapatkan pagu Dana Desa (DD) Tahun Anggaran 2020 sejumlah Rp 840 juta lebih. Dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35 Tahun 2020, pihak pemerintah desa setempat mengakui hampir 50 persen anggaran DD dikeluarkan dan dialihkan bagi pencegahan dan penanganan covid-19. Persentase ini dimungkinkan bisa bertambah hingga 70-75 persen, sebelum situasi pandemi corona benar-benar kembali normal. 

Terbaru, melalui Permendes-PDTT Nomor 7/2020, pemerintah menambah lagi hingga sekitar 15 persen bansos bantuan langsung tunai yang bersumber dari Dana Desa masing-masing (BLT-DD). Yakni, bantuan berupa uang sejumlah Rp 300 ribu per-KK selama tiga bulan ke depan. Beban pengalihan Dana Desa untuk BLT tambahan ini tentunya tidak sedikit.

Dalam konteks ini, desa memang harus pandai-pandai meyakinkan warga masyarakatnya, sekaligus memanfaatkan kepekaan situasional yang memang harus dikedepankan. Kekhasan kultur warga desa yang suka gotong royong, dan peduli sesama (tepo seliro) harus tetap dipertahankan. Satu masalah yang muncul dalam satu lingkup kecilpun, seyogyanya dipahami menjadi hal rawan yang berpotensi meluas dan bisa menjadi masalah umum. Karena itu, satu masalah yang muncul tidak didiamkan begitu saja hingga menjadi lebih besar. 

Banyaknya aspirasi dan harapan warga yang muncul, sejatinya menunjukkan tingginya kepekaan sosial dan kepedulian pada lingkungannya. Jika harapan ini bisa dibangun dan disatukan dalam satu komitmen bersama, rasa memiliki dan saling tanggung jawab komunal akan muncul. Terlebih, jika semua dikembalikan dengan pelibatan penuh warga masyarakatnya. 

Di sisi lain, entitas kekuataan politik desa harus berdaya, mampu diperankan dengan baik semua pihak yang ada. Di setiap desa, setidaknya ada sampai 10 (sepuluh) unsur melekat dalam program desa, dengan dua pilar penyangga dari unsur keamanan (babinsa) dan ketertiban masyarakat (bimkamtibmas). Beberapa pihak yang melekat ini juga menjadi pendorong, penyambung, sekaligus penyeimbang setiap upaya pembangunan dan pemberdayaan di desa.

Setidaknya, pada aspek terpenting keterlibatannya pada pencerahan dan penyadaran warga masyarakat hingga lingkup terkecil. Mayoritas pendidikan rendah, membuat warga kurang bisa memahami secara utuh berbagai informasi yang diterima. Ditambah kultur primordial warga desa, rentan menjadikan masyarakat pasif, bahkan malu bertanya. Agar tidak ada komunikasi buntu, terlebih kesalahpahaman, maka entitas politik dan komunal hingga tingkat RT/perdukuhan yang lebih proaktif memberi pencerahan ini. Kasus pemahaman salah warga terkait pencegahan/penanganan covid-19 banyak terjadi. Termasuk, miskomunikasi terhadap berbagai jenis bansos yang diterima. 

Dalam konteks ancaman krisis pascapandemi ini, desa mestinya juga mulai berpikir lebih serius, membuat ancang-ancang lebih strategis dan visioner, agar desa tetap bangkit, dengan keberdayaan tinggi dan kemandirian kuat masyarakatnya. Juga, benar-benar mengesampingkan kecenderungan pembangunan fisik dan infrastruktur yang memang minim kemanfaatannya bagi kemaslahatan warga. Misalnya, penguatan usaha kecil rumahan, yang bisa dijalankan perorangan maupun kelompok. Lebih-lebih lagi, bisa memberdayakan warga untuk kegiatan usaha kreatif baru, musiman maupun tetap. 

Keberanian, kemauan, dan kreativitas personal warga, yang bisa tetap eksis memanfaatkan situasi apapun dan menjadikannya peluang penghasilan, bisa dijadikan model, untuk dikembangkan dan direplikasi. Terlebih, yang bisa dijalankan secara bersama-sama dan terpadu, menjadi sumber perekonomian baru. Tidak harus menunggu adanya suntikan kapitasi, namun bisa dibangun swadaya dengan mengedepankan prinsip gotong royong, kepekaan, dan konsistensi (keajegan). Juga, tidak semata kepekaan empatik, namun harus bisa juga lebih memberdayakan dan meningkatkan daya juang dan keunggulan. 

Dengan pola pikir tersebut, keluwesan dan inovasi menjadi kunci penting. Menjadi keharusan mengikuti protokol dan prosedural pada hal administratif yang menyangkut kebijakan birokrasi. Akan tetapi, keswadayaan dan keluwesan akan lebih tepat untuk mengantisipasi permasalahan sosial dan kesejahteraan di desa, dengan berbagai macam latar belakang dan kekhasan sosiokultur warga masyarakatnya. 

Selama masa darurat pandemi, banyak muncul jiwa pionir, relawan atau tenaga padat karya untuk menyelamatkan wilayah kampung masing-masing. Ini merupakan modal komunal, jika memang bisa dijamin keajegannya. Terlebih, di masa era teknologi serba cepat kini, banyak hal positif dan menginspirasi yang bisa dimunculkan melalui media sosial. 

Tentunya, komunikasi dan silaturahim virtual juga sangat dibutuhkan. Jika perlu, banyak dibangun kanal-kanal informasi positif seputar desa yang bisa terakses dengan mudah siapa saja. Konten pemberdayaan, kisah sukses, praktik terbaik, dan kegiatan komunal desa bisa dengan aktif dimunculkan.

Munculnya banyak atensi dan ketertarikan warga pada berbagai hal tentang darurat pandemi akhir-akhir ini, menjadi hal positif yang bisa dikelola. Ini menunjukkan masyarakat desa menjadi lebih literat, peka, bahkan bisa jadi kritis terhadap berbagai hal yang mungkin sebelumnya tidak banyak dipedulikan. Jagongan khas wong ndeso, seperti di pos ronda, kedai kopi, gubuk sawah, atau komunitas lainnnya, tidak salah dijadikan 'sekolah' dan tempat diskusi alamiah persoalan menyangkut desanya. Fenomena positif dan berbagai praktik baik, diakui sudah banyak didapatkan di desa-desa selama beberapa bulan terakhir. 

Kepekaan situasional di masa pandemi telah melahirkan empati sosial dan keprihatinan komunal meluas dan lintas-elemen. Gotong royong dan kebersamaan warga menjadi sangat nampak, saling bahu membahu dan bergandengan tangan menghadapi dan mengatasi situasi yang ada. 

Formula 'kampung tangguh' yang marak hanya sebagai solusi awal, bagaimana memunculkan dan menjadikan entitas dan lingkup terkecil di desa siap dan mampu menghadapi kondisi dan dampak apapun pada situasi apapun yang muncul. Namun begitu, konsep ini jangan cenderung sifatnya sementara, harus diperluas menjadi entitas baru kekuatan desa seterusnya, yang responsif dan tetap memberdayakan dalam kondisi apapun hingga masa-masa mendatang. 

Singkatnya, saat ini Desa harus ditata ulang dibangun kembali hingga masa pascapandemi di kemudian hari, dengan menyatukan dan memperkuat potensi komunal warga masyarakatnya, agar tidak terjadi krisis baru yang semakin memperberat keberdayaan dan kemajuan desa dan masyarakatnya.

*****

*)Oleh: Choirul Amin, Pegiat literasi, founder inspirasicendekia.com, *) Bergiat di AKSARA CENDEKIA Learning Society. Bekas fasilitator program Life-Site Laboratorium PLS UM. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES