Peristiwa Daerah

UNICEF dan DPR RI Kupas Pro Kontra Pembelajaran Daring di Webinar Match! TIMES

Jumat, 07 Agustus 2020 - 11:01 | 331.18k
Pemred TIMES Indonesia Yatimul Ainun membuka diskusi Match! TIMES Webinar Series Pro Kontra Tuntutan Masuk Sekolah Saat Pandemi, Kamis (6/8/2020).(Foto: Tangkapan Layar)
Pemred TIMES Indonesia Yatimul Ainun membuka diskusi Match! TIMES Webinar Series Pro Kontra Tuntutan Masuk Sekolah Saat Pandemi, Kamis (6/8/2020).(Foto: Tangkapan Layar)

TIMESINDONESIA, SURABAYAPendidikan daring masa pandemi menimbulkan kontroversi. Terutama berbagai permasalahan di arus bawah. Panel diskusi webinar Match! TIMES mengupasnya secara tuntas bersama para pemerhati pendidikan, UNICEF dan DPR RI

Webinar series bertajuk Pro Kontra Tuntutan Masuk Sekolah Saat Pandemi menghadirkan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifa Sjaifudian, Specialist Child Protection UNICEF Naning Pudjijulianingsih, Psikolog Anak Kak Seto Mulyadi, Jurnalis Sahabat Anak (JSA) Wahyoe Boediwardhana, Kepala TK Riverside Surabaya Puspito Rahayuni serta Pemimpin Redaksi TIMES Indonesia Yatimul Ainun sebagai keynote speaker. 

Berbagai kisah kendala pembelajaran daring terangkum dalam tiap pemaparan narasumber. Salah satunya terungkap saat Yatimul Ainun meneteskan air mata.

Melalui TIMES Peduli, ia melihat langsung kesulitan ekonomi para orang tua siswa yang memiliki keterbatasan mengakses pendidikan adaptasi baru ini. Terutama di wilayah pedesaan. 

"Ini menjadi persoalan bagi kita semua. Saya mencoba menggalang solidaritas melalui TIMES Peduli. Namun kepedulian itu juga tidak bisa menjamin secara keseluruhan," terangnya membuka diskusi, Kamis (6/8/2020).

Senada, Kepala TK Riverside Surabaya Puspito Rahayuni mengisahkan saat mengajar tidak bisa maksimal menuntut anak-anak untuk belajar daring. 

"Pada awal pertama kali pemerintah memberitahukan libur karena pandemi Covid-19 anak-anak senang bukan main karena libur panjang. Setelah itu mereka jenuh. Mereka kurang konsentrasi untuk belajar," ujarnya. 

Bahkan selama ini siswa tidak bisa melakukan belajar tanpa pendampingan. Maka seharusnya orang tua bisa mendampingi. Namun terkendala berbagai kesulitan. 

"Karena sekolah kami menengah ke bawah jadi kadang ada orang tua yang punya handphone atau dibawa bekerja dan anak-anak tidak pernah bawa handphone sendiri," imbuhnya. 

Wahyoe Boediwardhana yang aktif menggeluti isu terkait anak dan perempuan melalui Jurnalis Sahabat Anak merekam reportase temuan fakta di lapangan saat proses belajar daring terutama di Wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. 

"Berdasarkan tracing kami ketika menggali data di lapangan baik itu di Jatim maupun Jateng, kami melihat sebenarnya ini adalah kelemahan Bangsa kita dalam hal mitigasi potensi ancaman yang mungkin akan timbul," tandasnya.

Jika dihitung, sudah 116 hari pembelajaran daring berlangsung sejak pandemi Covid-19. Pada awalnya siswa senang karena libur sekolah cukup panjang. Namun lambat laun mereka bosan dan ingin kembali pada situasi normal. 

"Ada dua kelompok di masyarakat kita yang saling berhadapan. Karena keduanya memiliki argumentasi yang sama-sama kuat dan masuk akal. Tapi ini juga harus dipahami bukan sebuah solusi konkrit di masa depan," jelasnya. 

Bagi masyarakat yang kontra rata-rata mengeluhkan keterbatasan sinyal, gagap teknologi serta kemampuan ekonomi masyarakat terbatas untuk memenuhi kebutuhan di atas. Rata-rata orang tua sudah terpuruk dengan ancaman PHK maupun yang sudah mengalami PHK. Sehingga beban sosial mereka cukup tinggi. 

"Dan itu masih harus ditambah dengan mengajar anak-anak di rumah menggantikan guru," ujarnya dalam diskusi panel yang dipandu oleh Alvin Ramadhin tersebut. 

Sedangkan bagi masyarakat pro pada proses pembelajaran jarak jauh rata-rata memiliki pemikiran lebih bijaksana dan kemampuan menelaah tingginya tingkat persebaran Covid-19 di Indonesia. Pada umumnya mereka berlatar belakang well educated (berpendidikan) dan memiliki kekuatan finansial lebih. Sehingga trial pemerintah membuka kembali sekolah menjadi kekhawatiran tersendiri akan adanya klaster baru. 

"Mereka memiliki pemahaman bahwa kesehatan ini adalah nomor satu dan memilih menahan anak-anak masuk sekolah," imbuh Wahyoe. 

Dua kubu ini saling berhadapan. Pemerintah sebagai leader cenderung memiliki kelemahan mitigasi dalam hal tersebut.  Kendati ini adalah sebuah kasus baru namun tetap tidak bisa diabaikan. Ia mengimbau agar pemerintah dan stakeholder saling melengkapi dalam memecahkan permasalahan ini. Wahyoe juga memuji gerakan TIMES Peduli yang turun memberikan bantuan kuota hingga gawai. 

"Saya salut dengan yang dilakukan oleh kawan-kawan TIMES Indonesia," ucapnya. 

Kak Seto Mulyadi menguraikan hak dasar anak sesuai dengan konvensi undang-undang perlindungan anak. Mulai hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak partisipasi. 

"Dalam hak perlindungan, artinya jika saat ini terpaksa harus belajar di rumah dulu mohon juga penuh kasih sayang tidak ada kekerasan," terang Kak Seto. 

Webinar-2.jpg

Saat ini jumlah anak Indonesia mencapai 79,55 juta atau sebesar 30 persen. Sehingga pendidikan anak merupakan prioritas. Terutama pembelajaran jarak jauh via online. 

"Ini yang harus kita pikir bersama termasuk masalah pendidikan," imbuhnya. 

Banyak kisah ketika anak-anak belajar secara daring di tengah pandemi Covid-19. Terkadang anak mengantuk di pangkuan ayah atau bunda karena usia TK harus belajar daring menatap layar lebih dari satu jam. Sementara anak-anak memiliki kecenderungan senang bermain dan berpetualang. Anak-anak mengeluh bosan, sedangkan orang tua jenuh dan stres. 

"Lalu pertanyaannya ayo dong mulai masuk sekolah," terang pencipta karakter Si Komo tersebut. 

Namun, Kementerian Perlindungan Pemberdayaan Anak dan Perempuan telah memberikan rambu-rambu lima siap. Meliputi siap wilayah, siap anak, siap keluarga, siap sekolah dan siap infrastruktur. Rambu-rambu ini menjadi panduan bersama untuk menentukan apakah anak-anak sudah siap kembali masuk sekolah. 

"Jika satu saja tidak siap, maka mohon dengan hormat demi kepentingan terbaik bagi anak lindungi anak-anak. Pendidikan penting, tapi jauh lebih penting kesehatan anak dan juga keselamatan hidup anak," terang Kak Seto. 

Bahkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat jumlah anak korban virus Corona di Indonesia menempati posisi tertinggi untuk Wilayah Asia bahkan kemungkinan Asia Pasifik. 

"Ini tentu harus menjadi pertimbangan kita. Demi kepentingan terbaik bagi anak, biarlah saat ini anak belajar di rumah saja dengan segala upaya yang bisa kita lakukan," ujarnya. 

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifa Sjaifudian menekankan peran wakil rakyat sebagai pembuat kebijakan terhadap pemerintah terkait proses pendidikan saat ini. 

Beberapa masyarakat mengeluh bahwa kebijakan ini belum dirasakan terutama bagi pendidikan di daerah. Sebagai legislator, jelas Hetifa, satu-satunya sektor yang mendapat amanah dalam konstitusi dan wajib dibiayai adalah sektor pendidikan. 

"Sebetulnya ini adalah waktu untuk menggunakan. Ini soal politik anggaran di mana (porsi pendidikan) 20 persen sekurang-kurangnya anggaran pendapatan belanja nasional maupun daerah," paparnya. 

Diketahui, perubahan anggaran Kemendikbud tahun 2020 dari sebelumnya Rp 75,70 triliun menjadi Rp 70,72 triliun adalah sebagai dampak kebijakan pemerintah dalam realokasi dan refocussing Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 untuk mendukung penanganan bencana non-alam ini. 

"Tahun ini sekitar Rp 5 triliun tidak kita sumbangkan untuk menangani Covid-19. Jadi sisanya adalah Rp 70 triliun untuk seluruh Indonesia tentu saja tugas DPR RI yang pertama adalah melakukan refocusing anggaran," tambahnya. 

Dalam membuat kebijakan, Komisi X DPR RI selalu berhadapan dengan pilihan. Terkait pendidikan dalam masa pandemi, hal utama yang menjadi prioritas adalah memastikan kesehatan dan keselamatan anak. Terutama perlindungan anak dari kemungkinan terpapar Covid-19. 

"Akhirnya kebijakan yang diambil memang cenderung cari aman yang sangat aman tetapi juga ada problem lanjutan," urainya. 

Sebagian besar anak Indonesia akan tetap menjalankan kegiatan pembelajaran dari rumah. Namun demikian, banyak hambatan-hambatan yang ditemui. Belajar dari rumah dianggap jauh dari ideal. 

Permasalahan itu antara lain minimnya akses internet, ketiadaan gawai yang memadai, tingginya biaya kuota, pada beberapa daerah jaringan tidak stabil, beban tugas yang tidak proporsional, kurangnya pemahaman dan kesiapan pengajar dalam metode pembelajaran jarak jauh serta kesulitan orang tua dalam mendampingi proses belajar mengajar. 

"Bahkan temuan survei Balitbang Kemendikbud, sebagian siswa belajar kurang dari 3 jam per hari sehingga berpotensi mereduksi hak anak dalam mendapatkan pendidikan berkualitas. Terutama di daerah 3 T," imbuhnya. 

Orang tua sendiri memiliki tanggung jawab membuat keputusan terkait nasib anak. Andai salah mengambil keputusan dan tidak cermat, maka anak tidak bisa disalahkan karena misal anak tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan. 

"Kami di DPR juga mensupport keputusan untuk sementara ini mengambil yang ter-aman. Oleh sebab itu hak-hak anak ini coba kita lindungi," jelasnya. 

Pihaknya mendorong agar Kemendikbud segera menerbitkan kurikulum adaptif pembelajaran jarak jauh, memastikan ketersediaan gawai di seluruh daerah dengan terobosan kebijakan inovatif, daerah yang telah memenuhi syarat epidemiologi untuk kembali membuka sekolah dan bekerjasama dengan IDAI setempat, sekolah menjadi unit emergency dan hanya dibuka pada saat siswa membutuhkan. 

Specialist Child Protection UNICEF Naning Pudjijulianingsih menjabarkan secara highlight tentang kemungkinan masuk sekolah dalam situasi seperti ini. 

"Untuk anak tidak bisa kita buatkan kebijakan yang berubah-ubah. Karena anak juga butuh konsistensi dalam menjalani rutinitasnya," terang Naning. 

UNICEF mengimbau agar hak anak terpenuhi. Antara lain mengajak bicara anak-anak secara rutin. Selain itu, pendampinga anak-anak membutuhkan pendampingan dalam belajar. 

"Saya ingin mendorong forum anak yang sudah ada untuk diajak berbicara. Paling tidak dia bisa mengusulkan apa yang ingin dilakukan untuk mengurangi kebosanan dan kejenuhan," imbuhnya dalam webinar Match! TIMES yang membahas Pendidikan daring masa pandemi bersama para pemerhati pendidikan, UNICEF dan DPR RI(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES