Kopi TIMES

Menghitung Peluang Kandidat di Pilkada Tangsel 2020

Jumat, 07 Agustus 2020 - 03:22 | 159.93k
Aru Wijayanto, Penulis lepas dan Salah seorang Penggagas lembaga Indonesia Parliament School.
Aru Wijayanto, Penulis lepas dan Salah seorang Penggagas lembaga Indonesia Parliament School.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Greget politik di Pilkada Tangerang Selatan tahun ini terasa lebih baik. Meski komposisi kandidat yang diusung partai politik belum final, atau belum didaftarkan ke KPU, namun wacana yang berkembang sementara ini setidaknya membuat pilkada serentak 2020 terasa berbeda dengan sebelumnya. Narasi perubahan kepemimpinan mulai mengemuka dan secara cepat dapat ditangkap oleh partai politik.

Lihat saja, kandidat yang berasal dari keluarga besar Ratu Atut Chosiyah - mantan Gubernur Banten yang kini menjadi terpidana korupsi--tidak lagi menjadi sosok yang mendominasi dukungan partai politik. Hingga kini, pasangan yang menjadi representasi keluarga Atut Chosiyah, Benyamin Davnie dan Pilar Saga Ichsan, baru diusung oleh Partai Golkar. Belakangan, PPP - yang tidak mendapatkan kursi di DPRD Kota Tangsel - ikut mendukung pasangan Benyamin-Pilar.

Situasi ini sangat berbeda dengan Pilkada Tangerang Selatan pertama dan kedua ketika keluarga ini menempatkan Airin Rachmy Diany berpasangan dengan Benyamin Davnie. Pada pilkada pertama di tahun 2010, pasangan itu diusung oleh 8 partai politik, diantaranya: Partai Golkar, Partai Demokrat, PDI Perjuangan, PKS, PKB, PDS, PKPI, dan PDP.

Begitu juga dengan pilkada selanjutnya di tahun 2015. Meski jumlah parpol pengusungnya berkurang dibandingkan pilkada sebelumnya, namun pasangan ini masih mendominasi dukungan partai politik, dengan diusung oleh Partai Golkar, PKS, PKB, NasDem, PAN, dan PPP. Sementara dua kandidat lainnya masing-masing hanya diusung oleh 2 parpol.

Lalu, apa yang membuat situasi kali ini berbeda dengan Pilkada Tangerang Selatan sebelumnya?. Sementara di pilkada lainnya di tahun ini juga - yang melibatkan keluarga Atut Chosiyah - seperti Ratu Tatu Chasanah di Pilkada Kabupaten Serang, misalnya, ia masih diusung beramai-ramai oleh sembilan partai politik. Lalu, kenapa situasi di Tangerang Selatan bisa berbeda?. 

Saya melihat setidaknya ada dua hal pokok yang menjadi pemicu mengapa situasi Pilkada Tangerang Selatan menjadi berbeda bagi keluarga Atut Chosiyah. Pertama, greget perubahan mulai menguat di Tangerang Selatan. Penulis melihat situasi ini merupakan tanda-tanda kebosanan pada dinamika politik “demokrasi daur ulang”. Politik daur ulang ialah politik yang hanya dijadikan sebagai alat bagi para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya berdasarkan hubungan kelompok-kekerabatan.

Demokrasi semacam ini tidak banyak berdampak pada perubahan sosial rakyat, sebab pada kenyataannya rakyat masih saja berkutat dengan persoalan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, hukum yang tidak adil dan kebutuhan-kebutuhan mendasar (Muhammad Budairi, 2002). Ini tak ubahnya politik komedi putar, dengan para pelakunya yang anteng duduk di atasnya dan berputar di situ-situ saja.

Maka tak heran bila hanya Partai Golkar yang sejak awal stand-by mengawal pasangan Benyamin-Pilar dengan total 10 kursi.  

Kedua, hadirnya sosok alternatif dari keluarga lain yang juga memiliki pengaruh besar. Kehadiran nama besar keluarga ini tentu saja membuat daya tarik “Keluarga Rau” - sebutan untuk keluarga besar Atut Chosiyah - menjadi anjlok. Sebut saja nama Siti Nur Azizah Ma’ruf yang merupakan putri dari Wakil Presiden RI KH. Ma’ruf Amin. Kemunculan nama Azizah Ma’ruf sejak setahun lalu saya kira menjadi pemicu pertama pecahnya konsentrasi partai politik kepada keluarga Atut Chosiyah, di samping faktor kebosanan politik tadi. 

Azizah Ma’ruf - yang kini menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat - sementara ini akan berpasangan dengan kader PKS, Ruhamaben. Pasangan ini setidaknya sudah mengantongi 13 kursi. Belakangan, muncul nama Rahayu Saraswati dari Partai Gerindra. Ia adalah putri dari Hasim Djojokusumo, adik kandung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Rahayu diusung sebagai calon wakil bersama Muhammad, yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan dan diusung oleh PDI Perjuangan. Pasangan ini mengantongi 16 kursi.

Membaca Situasi Politik Saat Ini 

Tentu saja banyak faktor yang bisa membuat seseorang memenangi sebuah ajang pilkada. Salah satunya yang penting adalah jumlah partai politik pengusung. Banyak contoh kasus di mana kandidat yang diusung oleh banyak partai politik menjadi pemenang pada kontestasi tersebut. Ini sangat masuk akal mengingat partai politik memiliki konstituen loyal dan mengerti soal bagaimana membangun basis massa.

Bila mengacu pada komposisi sementara di atas, pasangan Benyamin-Pilar - yang diusung Partai Golkar dan PPP - akan menemui kesulitan berat untuk memenangkan kontestasi. Mengandalkan Partai Golkar saja tentu tidak akan cukup untuk memenangkan pilkada. Situasi ini semakin berat mengingat performa PPP di Pemilu tahun lalu (2019) sedang berada di posisi buruk hingga tidak berhasil mendapatkan kursi di DPRD Tangsel. Suka tidak suka, pasangan Benyamin-Pilar seolah-olah sudah “terkunci” pada posisi saat ini.

Pasangan Muhammad-Saraswati juga tidak mudah, meski posisinya berada lebih baik dari Benyamin-Pilar. Bermodal gerbong besar seperti PDI Perjuangan dan Gerindra, membuat pasangan ini (sebenarnya) punya potensi meraup suara yang maksimal. Hanya saja, sempat terjadi dinamika politik yang luar biasa di koalisi PDIP-Gerindra ini. Pertama, terjadi persoalan internal yang mengkhawatirkan di tubuh mesin partai berlogo banteng ini sebagai imbas dari rekomendasi nama kandidat Muhammad.

Tentu saja, apakah besar atau tidak, peristiwa itu dapat memicu macetnya kinerja mesin parpol. Ditambah lagi hingga kini, Muhammad belum juga mengundurkan diri sebagai Sekda Kota Tangsel. Lambatnya proses ini melahirkan spekulasi pendapat bahwa Muhammad dianggap sebagai sosok yang kurang berani “spekulasi” untuk perhelatan politik ini. Bila benar, maka hal ini akan menjadi persoalan tersendiri nantinya. Toh, pertarungan pilkada bukanlah kontestasi main-main. 

Kedua, adanya kekecewaan politik PSI dengan PDI Perjuangan akibat lahirnya koalisi Banteng dengan Gerindra. Toh kita tahu bahwa sebelum muncul wacana PDIP dengan Gerindra, PSI sudah lebih dulu membangun percakapan politik dengan PDI Perjuangan, meski arah komunikasi itu tidak terang-benderang di area publik. Namun dengan munculnya koalisi PDI Perjuangan dan Gerindra, maka pupus sudah harapan PSI untuk menempatkan kadernya di Pilkada Tangsel tahun ini. Saya menduga PSI akan mengalihkan dukungannya ke gerbong politik lainnya.

Situasi ini berbeda dengan pasangan Azizah-Ruhamaben. Pasangan kandidat ini cukup tenang dalam mengelola dukungan parpol, yang menunjukkan sebuah kematangan dalam berpolitik. Diawali oleh keputusan Azizah Ma’ruf yang mengundurkan diri sebagai ASN di Kementerian Agama RI pada November 2019, lima bulan kemudian ia didaulat sebagai Wasekjen DPP Partai Demokrat. Selesai sudah, ia punya rekomendasi. Belakangan, PKS pun menyodorkan kadernya, Ruhamaben. Selesai juga. Tidak banyak dinamika.

Lalu bagaimana dengan PKB yang sejak awal diduga kuat akan mengusung Azizah Ma’ruf namun hingga kini belum menentukan sikap politiknya?. Dilihat dari berbagai macam aspek, Azizah Ma’ruf punya “hakikat” dan “asal-usul” untuk bergandeng-tangan dengan PKB dibandingkan dengan nama kandidat lainnya. Toh, keluarga KH Ma’ruf Amin memang memiliki hubungan emosional yang kuat dengan PKB. Jadi, bukan hal aneh bila PKB akan mengusung Azizah Ma’ruf.

Lalu, kemana arah dukungan PSI, Hanura, dan PAN?. Sebelum ini, Partai Hanura sudah merekomendasikan pasangan Muhammad-Azmi Abubakar. Komposisi parpolnya adalah PDIP, PSI, dan Hanura. Namun dengan masuknya Partai Gerindra, nama Azmi Abubakar digantikan oleh Saraswati, yang akhirnya membuat PSI mundur dari koalisi tersebut. Sementara Hanura hingga kini belum mengubah rekomendasi. Apakah ada perubahan koalisi pada rekomendasi Partai Hanura ini atau tidak, belum bisa dipastikan. 

Namun bila melihat situasi secara keseluruhan, pasangan Azizah-Ruhamaben masih punya cukup peluang besar untuk mendapatkan dukungan partai politik baru dibandingkan dengan dua kandidat lainnya. Di samping pasangan ini cukup tenang dan matang dalam mengelola dukungan parpol, kandidat ini juga tidak memiliki potensi konflik dan bukan representasi dari kebosanan politik yang itu-itu saja. 

***

*) Oleh: Aru Wijayanto, Penulis lepas dan Salah seorang Penggagas lembaga Indonesia Parliament School.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES