Kopi TIMES

Etika, Kebebasan dan Pemuliaan Perempuan

Jumat, 07 Agustus 2020 - 05:10 | 59.93k
Galan Rezki Waskita, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
Galan Rezki Waskita, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Bagi orang yang sempat membaca Sarinah, mereka akan paham bahwa perempuan adalah mahluk terhormat. Buku karangan Soekarno itu meramu satu demi satu cerita menjadi khidmah yang bijaksana. Hak dan kewajiban dibahas sebagai instrumen yang transedental. Namun dari situ, setiap perempuan diharuskan hidup dengan batasan yang memuliakannya.

Dalam konteks hubungan dengan lawan jenis, masyarakat telah memiliki konstruksi sendiri. Contoh kecilnya bisa dilihat dari adab bertamu, jam malam kost-kostan, ataupun cara berpakaian. Semua itu bukan hanya tentang budaya, melainkan hukum yang diwariskan agama. Hanya saja, segelintir aturan tersebut kerap kali dianggap sebagai otoritas patriarki.

Kontradiksi pemikiran yang demikian agaknya membawa satu kesalahan. Kebebasan dan penyamarataan hak yang general dipandang sebagai kemerdekaan. Pada akhirnya, idealisme bersosial cerderung bersifat liberal. Tidak heran jika banyak orang yang berlaku amoral.

Di luar dari praktik tersebut, laki-laki ternyata mengilhami hal yang sama pada perempuan. Persekawanan dan persaudaraan dibasiskan atas persamaan tindakan.  Sementara aturan yang telah ada dipandang sebagai subkonstruksi yang lumrah untuk ditinggalkan. Maka secara tidak langsung, hukum kembali menyoal cara manusia saling mencintai.     

Menarik pada sisi fundamentalnya, tanggung jawab terbesar terdapat pada laki-laki.  Imam adalah status yang dilekatkan Tuhan. Bersamanya lahir kewajiban mendidik, termasuk memberikan proteksi dari pelanggaran yang dilakukan perempuan. Jika dilugaskan, maka sebagian besar dari perkara perempuan hari ini adalah imbas kelalaian laki-laki. 

Lambat laun kondisi ini tidak lagi terjadi karena melumrahkan kesalahan, melainkan ketidakpahaman akan aturan sebenarnya. Masyarakat modern hanyalah peristilahan lain dari budaya hantam kromo. Padahal eksistensi ketimuran bertumpu pada tatakrama dan pemahaman primordialnya. Memang benar, bunga setangkai tidak akan tumbuh  dengan baik bila tidak dipagari.

Adalah kewajaran bila laki-laki pergi di waktu pagi dan pulang di waktu petang. Kaum Adam juga dibenarkan keluar sendirian tanpa ditemani oleh siapapun. Namun dua tindakan itu akan berubah menjadi pelanggaran jika dilakukan oleh perempuan. Sebab, perempuan dinisbatkan menduduki posisi internal dan laki-laki di ranah eksternal.

Kenyataannya, Ibu manusia ini memiliki serangkaian hukum paralel yang lebih kompleks dibandingkan laki-laki. Lingkungan telah kadung mengenal kaum Hawa sebagai lokus terbentuknya kasih sayang. Sejarah telah sudi mencatat bahwa mereka adalah perlambangan kehormatan. Maka tuntuntutan untuk menjaga pandangan dan penilaian tersebut kemudian difardukan.

Perempuan sebagai sebuah identitas gender perlu memberikan ketegasan untuk dirinya sendiri. Nilai sosial kemasayarakatan merupakan aspek prinsipil yang sama kuatnya dengan hukum formil. Etika mestinya dipandang sebagai sesuatu yang benar-benar menjamin sebuah konsekuensi. Atas dasar tersebut, maka ranah primer pergaulan harus diposisikan menjadi ruang utama penggodokan.        

Analisis komunikasi setidaknya menjelaskan karakter dan kondisi psikologis individu dari tutur bahasanya. Sebagai percontohan, panggilan Aku-Kamu, Lo-Gue, atau bahkan Kakanda dan Ayunda pasti memiliki kelas kehalusan yang berbeda. Hal ini terlepas dari akar budaya masing-masing orang. Bersama latar bahasa tersebut, setiap pengguna akan menanggung manhajnya sendiri.

Peta-peta tersebut juga merangkak jauh sampai pada bahasa tubuh dan intonasi dalam interaksi. Orang yang berkata Kakanda dan Ayunda mengemban tanggung jawab kesopanan yang tinggi. Sementara sebutan Aku dan Kamu hingga upatan adalah perlambangan degradasinya. Meskipun dalam beberapa konteks bahasan, penyebutan tersebut dapat disahkan.

Masyarakat harus kembali memahami dari cela yang paling sederhana seperti ini. Kultur tidak boleh luntur meski hanya perkara tutur. Adab harus tetap berwacana sampai pada cara masyarakat berlembaga. Untuk itu, tidak akan ada diskusi dini hari bagi seorang putri atas nama kaderisasi.   

Laki-laki wajib mengerti tanggung jawabnya. Perempuan juga harus memahami hakikat diri. Aturan-aturan yang ada merupakan cara yang dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Jika etika tidak lagi dipegang mayoritas, maka kebebasan tak akan lagi berbatas. Kehadiran sebuah pikiran adalah untuk melawan. Maka realitas yang pincang seharusnya bisa ditendang.

Perempuan adalah tempat kehidupan bermula. Oleh karenanya, mereka memiliki hak untuk dilindungi. Menasihati Hawa adalah kewajiban yang harus dijalankan untuk memuliakan. Semua itu adalah cara untuk menjalankan kaidah cinta. Karena sejatinya cinta telah mengajarkan manusia menjadi arif dan bijaksana.

***

*) Oleh: Galan Rezki Waskita, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES