TIMESINDONESIA, SUMATERA UTARA – Setelah sempat terhenti karena pandemi Covid-19, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali melaksanakan tahapan pelaksanaan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan digelar 9 Desember mendatang.
Menurut waktu yang ditetapkan pada lampiran Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU) No. 5 Tahun 2020 Tentang perubahan ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Wali Kota, pendaftaran calon kepala daerah dilaksanakan pada 4-6 September, dan masa kampanye dimulai 26 September mendatang.
Partai Politik di setiap daerah saat ini mulai memasuki masa genting dalam lobi-lobi politik tentang siapa yang akan diusung pada Pilkada tahun ini. Apalagi menurut kabar jabatan kepala daerah hasil Pilkada serentak 2020 ini kemungkinan tidak genap lima tahun, karena pada 2024 akan digelar kembali Pilkada serentak seluruh Indonesia. Namun belakangan, Pilkada serentak 2024 diwacanakan diundur di 2027.
Pilkada serentak akan diselenggarakan oleh 270 daerah dan 9 provinsi. Sembilan provinsi yang akan melaksanakan pemilihan gubernur meliputi Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.
Ada yang menarik pada Pilkada 2020, menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, ada 240 Petahana yang berpotensi ikut ambil bagian kembali pada kontestasi Pilkada di 2024. Sudah menjadi rahasia umum, Petahana biasanya lebih mendapatkan Previllege daripada calon penantang, karena Petahana sudah menguasai dan memiliki panggung sendiri.
Dilema Bansos
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia telah merubah situasi kehidupan secara mendadak, termasuk dinamika menjelang Pilkada 2020. Selain pemunduran jadwal pelaksanaan Pilkada, Covid-19 telah menimbulkan masalah baru, yaitu penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) yang menjadi prioritas Pemerintah Pusat dan Daerah untuk membantu masyarakat yang terkena dampak Covid-19 diduga ditunggangi calon Petahana, padahal penyaluran Bansos yang diserahkan kepada masyarakat menggunakan dana bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ajang penyaluran Bansos ini diduga akan digunakan sebagai media pencitraan yang paling efektif, sebab saat ini masyarakat memang membutuhkan bantuan. Bantuan dalam bentuk apapun pasti disambut sukacita. Penyerahan bantuan biasanya diserahkan Kepala Daerah. Kondisi demikian bisa sangat menguntungkan calon Petahana.
Penyerahan Bansos hendaknya jangan dipolitisir, jika itu dilakukan pasti sangat merugikan, karena termasuk kampanye terselubung. Calon penantang hanya bisa jadi penonton, apalagi dimasa Covid-19 ruang gerak berkumpul sangat dibatasi.
Sebenarnya, permasalahan dalam hal pencitraan penyerahan Bansos yang dapat dimanfaatkan calon Petahana telah diatur sanksinya pada Undang-undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pasal 71 ayat 3 junto ayat 5 diterangkan bahwa petahana dapat dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota jika memang terbukti menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Dilema Kotak Kosong
Menurut catatan, Pilkada tahun 2018 lalu, 11 daerah memiliki calon tunggal dalam pelaksanaan Pilkada. Jika suatu daerah hanya ada calon tunggal, maka yang menjadi lawan adalah kotak kosong.
Kemungkinan calon tunggal juga terjadi pada Pilkada 2020 ini. Bisa jadi lebih banyak dari gelaran Pilkada sebelumnya.
Ini bisa dilihat dari mulai sedikitnya calon bermunculan saat pencalonan. Pada saat awal-awal pelaksanaan Pilkada dulu, peserta calon kepala daerah yang lolos ikut Pilkada bisa mencapai 10 orang. Pilkada Kota Medan pada 2010 misalnya, calon yang ditetapkan ada 10 pasangan, sedangkan di Tanjungbalai pada tahun yang sama calon yang ditetapkan mencapai 9 pasangan.
Kotak kosong memiliki dua arti bagi Petahana dalam kontestasi pertarungan Pilkada. Kotak kosong bisa dianggap bencana bisa juga dipandang sebagai keberuntungan.
Bagaimana tidak, menurut aturan, jika terjadi calon tunggal maka calon harus meraih 50 persen plus 1 suara sah agar ditetapkan sebagai pemenang. Jika angka 50 persen plus 1 suara sah tidak tercapai maka Pilkada akan diulang. Jika kondisi ini terjadi, maka Petahana akan kehilangan jabatan, dan jabatan akan dilanjutkan oleh penjabat kepala daerah sampai pada pelaksanaan Pilkada ulang yang ditentukan berdasarkan jadwal yang akan diatur selanjutnya.
Kotak kosong bisa dianggap suatu keberuntungan bagi calon tunggal Petahana, sebab jika memang calon petahana dianggap berhasil selama menjalani masa jabatan, sangat mudah sekali rasanya mengalahkan penantang, apalagi penantang hanyalah kotak kosong yang tak bisa melakukan apapun.
Tapi perlu diingat, jika Petahana dianggap gagal selama menjabat, kotak kosong bukanlah lawan yang mudah dikalahkan. Ini merupakan sebuah ancaman bagi Petahana walau hadir sebagai calon tunggal. Masyarakat bisa saja lebih memilih kotak kosong dari pada calon tunggal, apalagi memilih kotak kosong diserukan dari mulut kemulut masyarakat.
Mengajak memilih kotak kosong bukanlah pelanggaran. Tapi tidak boleh dikampanyekan seperti kampanye terstruktur. Ajakan memilih kotak kosong berbeda dengan ajakan Golput. Ajakan Golput dilarang menurut aturan yang berlaku, sedangkan ajakan memilih kotak kosong merupakan suatu hak politik jika memang calon tunggal tak sesuai harapan untuk dipercaya memimpin kembali.
Pilkada 2020 merupakan pematangan masyarakat dalam berdemokrasi semenjak diberlakukannya pemilihan langsung. Masyarakat diberikan kebebasan dalam menentukan pilihan yang terbaik. Apapun hasil yang diperoleh nanti dari pesta demokrasi serentak Desember 2020, semuanya adalah kehendak masyarakat itu sendiri.
Pemerintah dan Partai Politik sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan politik agar lebih mengoptimalkan fungsinya. Jangan sampai nanti Pilkada tidak menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Pelaksanaan Pilkada akan menjadi sia-sia jika hanya menghasilkan pemimpin sembarangan. Sebab pemimpin yang berkualitas biasanya dihasilkan dari proses yang benar.
***
*) Oleh: Putra Mangaratua Siahaan, Alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Pemerhati Sosial Politik.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Advertisement
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |