Kopi TIMES

“Kemerdekaan Indonesia” Sebuah Pleonasme yang Akut

Kamis, 06 Agustus 2020 - 17:04 | 51.51k
Ratnawati, S.Pd, Pengajar Sejarah SMAN 1 Kota Malang.
Ratnawati, S.Pd, Pengajar Sejarah SMAN 1 Kota Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Karena bangsa ini sedang menghadapi pandemi. Kondisi ini semakin menambah tetesan air mata di bumi pertiwi, jelas kita masih dijajah, kebijakan ekonomi masih berkiblat  pada kapitalisme, Akibatnya kemiskinan menjadi ‘penyakit’ akut  yang diderita rakyat.

Dalam perjalanan bumi pertiwi Indonesia saat ini telah menghirup udara kemerdekaan selama 75 tahun. Merupakan usia yang cukup matang. Berbagai seremonial digelar belum mampu menjangkau makna kemerdekaan itu sendiri. Semua peringatan ini akan sia-sia karena kita belum merdeka secara penuh dari kondisi penjajahan  model  baru. 

BUMN, swasta dan koperasi yang merupakan pilar ekonomi ketiganya belum menjalankan amanatnya sesuai Pasal 33 UUD 1945. Idealnya ketiganya tertata sesuai  cita-cita untuk apa negara ini didirikan. Kemudian terbersit pertanyaan, mengapa sudah 75 tahun merdeka, namun bangsa ini belum maju?

Berbeda dengan Jepang, Italia dan Jerman. Ketiga negara ini nyaris porak poranda pada tahun 1945 akibat keikutsertaannya dalam Perang Dunia Kedua. Justru menjadi negara maju bahkan merebut dunia swasta kita.

Dalam kontekstualisasi pilar ekonomi nasional dalam berbangsa dan bernegara saat ini NKRI belum berjalan sesuai amanat kemerdekaan. Bahkan mungkin telah menyimpang dari prinsip-prinsip perekonomian. Jika tidak diwaspadai oleh semua elemen bangsa, dikhawatirkan eksistensi pilar ekonomi ke depan BUMN kita gagal menyelenggarakan penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia, dari sekadar air (minum) sampai minyak. Hajat hidup orang banyak direbut penyelenggaraannya oleh asing.

Impor berlebihan, sehingga bangsa lain menguasai negeri ini, karena ketergantungan kita terhadap impor untuk pemenuhan kebutuhan, banyak beredarnya produk asing, masyarakat kita kebanyakan bergaya hidup konsumerisme sehingga mereka lebih banyak mengonsumsi dari pada memproduksi.

Membanjirnya produk asing dengan harga murah menggeser barang barang lokal sehingga produk dalam negeri harus mampu bersaing kalau tidak mereka pasti gulung tikar. Cinta produk dalam negeri dan bangkitkan entrepreneurship di Indonesia. Jangan sampai dijajah oleh produk-produk asing.

Pasca reformasi korupsi semakin menjamur dan tanpa rasa malu lagi untuk melakukannya. Negeri kita banyak melahirkan orang-orang pandai dan berbakat. Karena sistem yang berlaku banyak dari mereka yang tidak dihargai dan disia-siakan bakatnya, tidak sedikit dari mereka yang hengkang ke luar negeri.  

Indonesia penuh dengan berbagai kebudayaan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya barat dengan mudahnya masuk mempengaruhi para generasi muda. Bahkan serial drama Korea sudah 'membuming' di kalangan emak-emak dan remaja. Sehingga mereka lebih mengetahui budaya luar daripada budaya asli Indonesia.

Kelestarian budaya kita banyak terkikis budaya luar. Jika kita saja sudah tidak mengetahui identitas negara kita sendiri, bagaimana bisa kita mengatakan bahwa negeri kita baik-baik saja.

Dunia usaha swasta kita justru lebih mengacu ke konglomerasi, kepemilikan perorangan dan tidak mengindahkan prinsip kebersamaan, sementara koperasi kita sulit berkembang. Cita-cita kemandirian, demokrasi ekonomi, terwujudnya keadilan sosial menjadi kian jauh. Benar, kita telah menikmati pertumbuhan ekonomi, tetapi kemiskinan justru bertambah. Inilah indikasi kian lebarnya kesenjangan sosial. Pertumbuhan yang kita nikmati tidak terbagi secara adil.

Mencermati apa yang selama ini telah berkembang, terasa sulit mewujudkan mimpi mimpi bangsa Indonesia yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Selain disebabkan penyimpangan yang terstruktur yang dilakukan oleh sebagian besar para penguasa, juga kepentingan asing yang selalu menuntut kemudahan investasi, dari usaha supermarket sampai usaha yang terkait kekayaan bumi, air, dan sumber daya alam. Bahkan, yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, misalnya pendidikan dan kesehatan.

Kesabaran, ketahanan, karakter dan kemampuan daya saing kita sedang diuji. Akankah kita kian jauh atau kembali ke amanat konstitusi, meskipun secara bertahap?

Tidak berlebih, akan tetapi makna kemerdekaan menjadi pleonasme yang akut untuk kita pahami. Kita harus menyepakati kembali the road map, peta jalan yang harus dilalui dalam mewujudkan cita-cita untuk apa negara ini didirikan, agar kita bisa mandiri. Dirgahayu RI.. Merdeka!!!

***

*) Oleh : Ratnawati, S.Pd, Pengajar Sejarah SMAN 1 Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES