Kopi TIMES

Mewaspadai Deindustrialisasi di Masa Pandemi

Kamis, 06 Agustus 2020 - 16:31 | 111.93k
Eri Kuntoro, SST, M.Si, Fungsional Statistisi Ahli Muda, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.
Eri Kuntoro, SST, M.Si, Fungsional Statistisi Ahli Muda, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Sejak awal kemerdekaan sampai awal tahun 1990, share sektor pertanian selalu mendominasi perekonomian nasional. Pada 1990-an, mulai terjadi proses industrialisasi berbasis ekspor yang meningkatkan kontribusi sektor industri dan menurunkan kontribusi sektor pertanian.

Namun krisis ekonomi 1997/1998 telah menyebabkan perekonomian Indonesia jatuh akibat depresiasi rupiah yang tajam. Sektor industri pengolahan juga cukup terdampak karena harga barang impor menjadi mahal karena nilai tukar rupiah yang rendah terhadap dollar Amerika. Selain terkendala barang input, sektor industri juga kurang mendapat pasokan modal akibat terpuruknya sektor perbankan.

Perekonomian global mulai membaik pada tahun 2000-an seiring dengan pertumbuhan pesat dua negara di kawasan Asia yaitu Tiongkok dan India. Akibat dari beberapa negara yang mulai tumbuh pesat, permintaan bahan mentah menjadi tinggi sehingga mendorong terjadinya lonjakan harga komoditas di pasar international (commodity booming). Indonesia menikmati booming harga komoditas pada tahun 2001-2012. Selama periode ini, struktur ekspor Indonesia didominasi ekspor sumberdaya alam seperti minyak bumi, batubara, gas alam, karet dan kelapa sawit.

Awal Deindustrialisasi

Lonjakan harga komoditas ternyata memberi efek samping yaitu terjadinya deindustrialisasi atau penurunan kontribusi sektor industri terhadap perekonomian di Indonesia melalui fenomena mini dutch disease.

Mini dutch disease terjadi melalui apresiasi nilai tukar rupiah akibat peningkatan ekspor komoditas yang menyebabkan sektor selain ekspor bahan alam kurang kompetitif di pasar internasional, termasuk sektor industri. Hal ini menyebabkan share sektor industri menurun dan transformasi ekonomi justru terjadi dari sektor pertanian ke sektor jasa yang bersifat informal.

Faktor lain yang menjadi pemicu deindustrialisasi dini di Indonesia adalah investasi asing langsung/foreign direct invesment(FDI) yang sebagian besar menyasar sektor bahan mentah. Sementara itu FDI yang menyasar sektor industri kurang ada alih teknologi sehingga menimbulkan suatu gejala yang disebut skill biased technical change (SBTC).

SBTC adalah suatu kejadian peningkatan permintaan tenaga kerja berketerampilan tinggi yang disebabkan adanya pemakaian teknologi baru, perubahan metode produksi atau perubahan tata cara pengorganisasian tempat kerja. Dengan adanya SBTC dapat mengakibatkan tersisihnya tenaga kerja low-skilled dari sektor industri yang kemudian akan berpindah lapangan pekerjaan.

Kondisi Masa Pandemi

Sejak terjadinya pandemi covid-19, kegiatan produksi di beberapa kawasan industri mengalami penurunan bahkan tidak sedikit pabrik yang menghentikan produksinya. Selain karena alasan pembatasan sosial (sosial distancing), menurunnya permintaan juga menjadi salah satu sebab berhentinya proses produksi. Industri yang berorientasi ekspor sangat tergantung permintaan dari negara-negara lain yang kebetulan saat ini juga sedang menghadapai pandemi Covid-19.

Fenomena deindustrialisasi yang sebenarnya sudah terjadi sejak masa booming komoditas akan lebih terasa di masa pandemi. PHK yang dilakukan beberapa perusahaan besar diperkirakan akan mengakibatkan migrasi sektoral tenaga kerja keluar dari sektor industri. Tujuan migrasi sektoral ini ada kemungkinan menuju sektor jasa. Sektor jasa mempunyai jenis usaha informal yang paling banyak dibandingkan sektor industri.

Dengan karakteristik tersebut, sektor jasa bisa menjadi social buffer bagi pekerja sektor industri yang mengalami PHK karena covid-19. Karakteristik sektor jasa yang mempunyai proporsi usaha informal yang besar memberi kesempatan para pekerja bermodal kecil untuk berusaha sendiri atau menjadi buruh. 

Namun ketergantungan pada sektor informal dalam jangka panjang juga bisa berdampak negatif terhadap perekonomian. Tingkat informalitas yang cukup besar mengurangi penerimaan pemerintah dan meningkatkan tekanan pada keuangan publik. Hal ini terjadi karena pelaku usaha informal biasanya tidak membayar pajak dan lebih suka menjadi free rider dalam pengadaan barang publik. Pada gilirannya, rendahnya penerimaan pemerintah akan mengurangi kualitas dan kuantitas barang yang disediakan untuk publik.

Deindustrialisasi memang sesuatu yang sulit dipungkiri pada masa pandemi seperti sekarang. Pemerintah perlu mencari cara agar tidak terlalu banyak pekerja formal sektor industri terlempar ke sektor informal yang sangat rentan untuk terjatuh ke jurang kemiskinan. Stimulus kredit dan relaksasi pajak pada sektor industri sedang dan besar diharapkan bisa meringankan beban biaya produksi sehingga PHK dapat terhindarkan.

***

*)Oleh: Eri Kuntoro, SST, M.Si, Fungsional Statistisi Ahli Muda, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES