Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ibadah Idul Adha Dalam Perspektif

Senin, 03 Agustus 2020 - 10:17 | 102.46k
Dr. Sama’ Iradat Tito, S.Si., M.Si, Kepala Pusat Studi Kelestarian Dan Keseimbangan Lingkungan (PUSDI K2L) FMIPA Unisma Malang dan Anggota Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI).
Dr. Sama’ Iradat Tito, S.Si., M.Si, Kepala Pusat Studi Kelestarian Dan Keseimbangan Lingkungan (PUSDI K2L) FMIPA Unisma Malang dan Anggota Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Idul Adha atau yang dikenal dengan Hari Raya Haji merupakan hari raya umat Islam yang jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Momen Idul Adha tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa yang menimpa keluarga Nabi Ibrahim AS, bersama Siti Hajar dan Nabi Ismail AS. Peristiwa itu tercantum dalam Quran Surah Ash-Saffat ayat 100-111. Momen ini sebenarnya bukan hanya ritual yang dilakukan rutin satu tahunnya namun lebih dari itu. Selalu ada makna dibalik peristiwa. Ibadah Idul Adha dalam perspektif dapat diartikan sebagai cara pandang manusia dalam memahami fenomena Idul Adha, dimana dalam hal ini tak terlepas dari aspek- aspek yang berkenaan dan berhubungan dengan Idul Adha itu sendiri. Adapun beberapa perspektif Idul Adha yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:

Pertama, Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintah-Nya. Sebuah pilihan yang dilematis.Yang perlu diingat, banyak hal yang terjadi pada Iblis, raja Fir’aun, raja Namrud, dan seterusnya adalah Inti dari kedurhakaannya yaitu merasa pintar, merasa besar dan merasa kuat di hadapan Allah yang juga berlawanan dengan logikanya. Membantah perintah Allah adalah tanda kedurhakaan terhadap Allah. Oleh karena, itu tetaplah merasa bodoh di hadapan Allah. Cukuplah Sami'na Wa Atho'na (Kami Mendengar dan Kami Taat). Jadilah pribadi yang menyerah terhadap Allah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedua, Nabi Ibrahim menunggu hingga 80 tahun untuk mendapatkan seorang putra. Namun pada saat sang putra mulai tumbuh dewasa, Allah kemudian menguji Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail, putra tercintanya. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah akan menguji titik terlemah manusia yaitu Hal yang paling dicintai. Ismail dapat diartikan sebagai harta, wanita, anak, karya, jabatan, dan lain sebagainya. Selain itu, dalam kejadian ini, Allah mengajarkan pada manusia agar cinta kepada sesuatu adalah cinta yang proporsional. Tidak kurang, namun juga tidak berlebihan. Segala sesuatu yang dimiliki di dunia hanyalah titipan dari-Nya. Seyogyanya manusia perlu belajar untuk ikhlas ketika semua harus kembali kepada pemiliknya serta menjaganya dengan baik selagi masih dititipkan kepadanya.  Allah tests the one He loves. So if you feel like you’re being tested by Allah, that means He loved you. And you know what? “We are tested right at the weakest point we have”. 

Ketiga, membangun keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Melalui Nabi Ibrahim, dapat dilihat satu keluarga yang saling asah, asih, dan asuh. Terbukti saat mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih, Nabi Ibrahimpun menanyakan dahulu pendapatnya terhadap putranya dan tidak serta merta mengambil keputusan sendiri. Hubungan saling menghargai antara orang tua dan anak ini  adalah suatu hubungan timbal balik. Sedangkan hal yang bisa dilakukan anak kepada orang tua adalah birrul walidain (berbakti pada orang tua). Akhlak yang mengharuskan orang yang lebih muda untuk menghargai orang yang lebih tua usianya dan yang tua harus menyayangi yang muda tidak boleh dilupakan. Doa mustajab dari orang tua InsyaAllah akan dibalas pula oleh anak berupa amal jariyah doa anak yang sholeh. 

Keempat, Allah mensyariatkan untuk menyembelih hewan ternak. Allah menciptakan ternak memiliki kecepatan tumbuh dan kembang biak yang sangat baik. Misalnya kambing. Kambing yang berumur  8 – 10 bulan mempunyai siklus birahi 17 – 21 hari, lama birahi sekitar 24 jam dan masa kehamilan dalam waktu ± 155 hari (±5 bulan), artinya dengan memperhatikan perkawinan dan siklus birahi maka kambing dapat beranak 3 kali dalam 2 tahun. Kecepatan hewan ternak tersebut tentunya memerlukan pengontrolan. Pemanenan lestari dalam bentuk perayaan Idul Adha sangat baik untuk upaya konservasi lingkungan selain dari upaya berbagi rezeki.

Kelima, ketika Siti Hajar dan Ismail diasingkan atas perintah Allah dan perbekalan yang ia bawa habis, maka Siti Hajar tidak duduk termangu dan menangis putus asa menyesali nasib. Siti Hajar tidak duduk berpangku tangan menunggui putranya. Ia tidak mengharapkan keajaiban. Ia tidak mengharapkan kedatangan tangan gaib yang akan membawakan buah-buahan dari sorga dan membuatkan sungai untuk menghilangkan lapar dan dahaganya. Ia “serahkan” anaknya kepada Allah, kemudian berlari-lari mencari air. Dari sini berarti orang harus berserah-diri hanya kepada Allah, kemudian berusaha, bukan berpangku tangan, bukan menyesali nasib, bukan meratap menangis, dan bukan hanya berdoa mengharapkan keajaiban. Saat jerih payah Siti Hajar tidak mendatangkan hasil kemudian ia terkejut bahwa anak yang ditinggalkannya dalam keadaan haus dan meronta-ronta di bawah “penjagaan” Allah itu ternyata telah menggali pasir dengan tumitnya dan dari tempat yang tidak disangka-sangka itu keluarlah air yang ia cari-cari yang disebut Zam zam. Percaya atau tidak, Inayah (bantuan dan pertolongan) Allah seringkali datang di saat upaya terakhir maksimal kita.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Keenam, Dari Abu Hurairah RA., Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri (mendekati) tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah). Berkurban tidak sekadar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong hewan kurban, namun lebih dari itu, berkurban berarti ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah SWT dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya. Laksana Nabi Ibrahim AS. Berkurban adalah wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berkurban.

Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, Subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berkurban dengan ilmunya. Pengusaha, ia berkurban dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi, ia berkurban demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin, ia berkurban untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya. Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan kelompok, atau keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok namun bertentangan dengan perintah Allah SWT.

Berkurban juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh kepada kemunkaran dan kejahatan. Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini.

Pesan kurban harus mampu menjawab persoalan nyata yang dihadapi umat, seperti perwujudan kesejahteraan, keadilan, persaudaraan, dan toleransi. Sulit membayangkan jika banyak umat yang saleh secara ritual, khusyuk dalam berdoa, dan rajin berkurban, tetapi justru paling tak peduli pada tampilnya kemungkaran, korupsi, kemiskinan, mafia peradilan dan lain-lain. Dalam hadis Nabi ketika kita melihat sebuah kemungkaran.

"Jika mampu kita wajib mengubahnya dengan tangan (kekuasaan), atau dengan lisan (dakwah) atau dengan hati meski itu menandakan iman yang paling lemah." (HR Muslim)

Lalu sudahkah kita marah akan kondisi kemungkaran yang merajalela saat ini? Setidaknya sudahkah hati kita membencinya? Jika tidak ada rasa marah sedikitpun, masihkah iman ada di sana?

Solidaritas dan keadilan sosial sebagaimana diajarkan Nabi Ibrahim AS, dan membumikan ajaran Ismail sebagai simbol penegakan nilai-nilai ketuhanan di tengah-tengah kehidupan umat manusia yang kian individual, pragmatis, dan menghamba pada materi sebisa mungkin diluruskan. Karena, seperti kata Rabindranath Tagore (1985), Tuhanmu ada di jalan di mana orang menumbuk batu dan menanami kebunnya, bukan di kuil yang penuh asap dupa dan gumaman doa para pengiring yang sibuk menghitung lingkaran tasbih.

Dan berkurbanlah. Kurban menjadi kebiasaan yang melegakan, bukan menjadi beban dan keterpaksaan. Karena memang kurban tidak sekadar memotong hewan.

Seburuk apapun, sekeruh apapun kondisi kapal layar kita, janganlah sekali-kali mencoba untuk keluar dari kapal layar ini dan memutuskan berenang seorang diri. Karena pasti kau akan kelelahan dan memutuskan menghentikan langkah yang pada akhirnya tenggelam disamudra kehidupan.

“...Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta” [QS Al 'Ankabut (29):1-3].

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. Sama’ Iradat Tito, S.Si., M.Si, Kepala Pusat Studi Kelestarian Dan Keseimbangan Lingkungan (PUSDI K2L) FMIPA Unisma Malang dan Anggota Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES