TIMESINDONESIA, MALANG – Sudah demikian sering genderang perang melawan korupsi ditabuh. Sudah berkali-kali gerakan anti korupsi ditunjukkan oleh lembaga-lembaga strategis di tengah masyarakat. Tidak terbilang ajakan atau kampanye moral disuarakan untuk menyatukan langkah guna menjadikan koruptor sebagai musuh bersama (common enemy).
Sayangnya, koruptor masih terus saja bermunculan dari balik bilik birokrasi. Masing-masing institusi negara tidak kehabisan stok untuk menyerahkan orang-orang untuk disangka dan didakwa melakukan korupsi. Adagium mati satu tumbuh seribu benar-benar mencerminkan kehebatan kejahatan korupsi dalam melakukan regenerasi. Pengadaan bantuan desa pun dinscayakan akan menjadi sumber pembibitan korupsi, manakala korupsi masih dijadikan opsi keharusan.
Busro Muqoddas pernah menyatakan, ketika faktor integritas menjadi acuan bangsa-bangsa di dunia untuk maju, di Indonesia justru sebaliknya. Korupsi malah terus beregenerasi secara masif.
Itu menunjukkan “program” kesuksesan regerenasi korupsi tampak lebih mewarnai bangunan negeri ini dibandingkan “program” perlawanan atau perjuangan melawan korupsi. Katakanlah misalnya, kita lebih sukses mengajak anak atau para generasi melaksanakan dan mengeksplorasi program hidup boros (konsumeristik) dibandingkan dengan program hemat, padahal ajakan hidup hemat merupakan pendidikan empirik anti korupsi. Kalau kepada para generasi sudah gagal mengajak hidup hemat, bagaimana mungkin kita sukses membumikan penanggulangan lawan korupsi?.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id
Penghematan memang merupakan pilihan strategis, pasalnya gerakan penghematan ibarat tuntutan pada setiap elemen pejabat negara untuk mengelola keuangan rakyat yang dipercayakan padanya secara akuntabel, transparan, dan utamanya tidak konsumeristik, baik yang bersumber dari APBN, APBD, maupun bantuan pihak-pihak ketiga.
Almarhum presiden Soeharto selama berpuluh-puluh tahun memimpin negara ini, berkali-kali menyampaikan pendapatnya tentang penghematan. Gagasan pak Harto yang terkenal adalah “gerakan mengencangkan ikat pinggang”. Oleh pak Harto ini, seluruh rakyat Indonesia diajak untuk hidup berhemat atau melawan segala bentuk pemborosan. Sayangnya gagasan ini hanya penghias bibir.
Di rezim Ssusilo Bambang Yudhoyono pun, berkali-kali ada himbauan atau ajakan menjalankan hidup dengan prinsip penghematan. Para pejabat mulai dari pusat hingga daerah diminta untuk mengendalikan anggaran. Mereka dilarang memperlakukan anggaran sebagai lahan untuk memuaskan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan.
Slogan “anggaran berbasis kinerja” yang dilancarkan di rezim SBY pun sejatinya sebagai bagian dari strategis penggunaan (pengelolaan) anggaran yang berporos pada efisiensi atau penghematan. Setiap pejabat dituntutnya untuk menggunakan anggaran yang sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan, dan bukan asal ada kegiatan atau membuat kegiatan asal-asalan.
Sekarang di rezim Jokowi, semua elemen bangsa ini juga diajak melakukan efisiensi demi membangun masa depan yang lebih baik dan terhindar dari kecenderungan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, termasuk diantaranya memboroskan uang rakyat.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id
Meski sudah berkali-kali ajakan membangun rezim dilakukan dengan cara penghematan atau mengalinasikan pemborosan, tetapi toh faktanya, setiap unsur pemerintahan masih rajin melakukan pemborosan. Mereka bahkan saling berlomba untuk menciptakan dan mentradisikan pemborosan. Kritik yang ditujukan padanya hanya dianggap angin lalu.
Pemborosan demi pemborosan terus berpacu tak mengenal titik nadir. Baik eksekutif maupun legislatif saling bekerjasama, saling mendukung, dan saling menguntungkan lewat jalan memboroskan anggaran. Anggaran dijadikan sebagai obyek tawarmenawar (bargaining) dan memuaskan kepentingan eksklusif individu dan keluarga, serta ego golongan dan pihak-pihak tertentu.
Duri-duri itu membutuhkan atau mengundang semua elemen bangsa ini untuk menunjukkan kinerja etis dan empirik guna mengalahkannya. Kalau di lini ini sudah mengalami kesulitan dalam menghadang atau “mematikannya”, maka jangan berharap banyak korupsi bisa dihentikan di bumi pertiwi ini.
Kita harus mengingatkan dan menyemangati diri sendiri dan keluarga atau unit-unit yang menjadi bagian dari tangggungjawab kita, bahwa perang terhadap virus mengerikan seperti korupsi tidaklah mudah, tetapi juga bisa lebih ringan jika dimulai dengan membudayakan hal-hal yang dianggap oleh public tidak penting, padahal sejatinya sangat penting bagi keberlanjutan hidup bangsa ini.
Kerja keras setiap elemen bangsa akan mennetukan segalanya. Bangsa ini akan bisa menjadi besar atau tidak, sangat tergantung pada upaya yang bisa ditunjukkan olehsetiap elemennya. Tidak akan pernah ada kemajuan jika mereka tidak menunjukkan aktifitas saling berlomba dalam kebaikan atau kegiatan yang bersentuhan sebagai sumber seriusnya korupsi.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Advertisement
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |