Peristiwa Nasional

Pemerintah Diminta Terbuka soal Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme

Minggu, 02 Agustus 2020 - 15:41 | 32.45k
Al Araf, Direktur Imparsial
Al Araf, Direktur Imparsial

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan minta pemerintah terbuka dan mengakomodasi aspirasi masyarakat. Khususnya terkait pembahasan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

Diketahui, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan menyampaikan kepada publik akan melanjutkan pembahasan rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Menurut Menko Polhukam, rancangan Pepres tersebut sudah selesai dan sudah diserahkan ke DPR. Perpres itu mengacu pada UU No.5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memang pengesahan perpres membutuhkan pertimbangan DPR.

"Penting untuk diingat bahwa sejak awal hadirnya rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme itu, telah menimbulkan kontroversi dan penolakan dari masyarakat," ucap Al Araf, direktur Imparsial, salah satu komponen Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan beranggotakan sejumlah NGO. Yakni, KontraS, Imparsial, Elsam, PBHI, Setara Institute, HRWG, YLBHI, Public Virtue Institute , ICW, LBH Pers, LBH Jakarta, ICJR, Perludem, Pilnet Indonesia.

Berbagai petisi penolakan itu, kata Al Araf, telah disampaikan oleh akademisi, aktivis mahasiswa, LSM, dan lainnya terhadap rancangan peraturan presiden tersebut yang dinilai akan mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia. Itu karena memberikan kewenangan yang luas dan berlebihan kepada TNI dalam mengatasi aksi terorisme. 

"Dalam konteks itu, seharusnya pemerintah dan DPR  sungguh-sungguh mengakomodasi masukan masyarakat," ujarnya.

Karena itu koalisi ini mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres tersebut secara terbuka. Dengan demikian, adalah menjadi keharusan bagi pemerintah dan DPR untuk menyampaikan draf rancangan Perpres yang sudah jadi tersebut kepada publik. 

"Pemerintah dan DPR tidak boleh menutup-nutupi rancangan Perpres yang telah selesai tersebut dari masyarakat," ucap Aal, sapaan akrabnya.

Koalisi juga berpandangan bahwa Perpres  Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme perlu memuat prinsip dan substansi sejumlah pasal. Misalnya, tugas TNI dalam menjalankan tugas operasi militer selain perang untuk mengatasi aksi terorisme fungsinya hanya  penindakan.

"Fungsi penindakan itu sifatnya hanya terbatas yakni untuk menangani pembajakan pesawat, kapal atau terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat. Ruang lingkup penindakan oleh TNI tidak perlu terlibat dalam penanganan terorisme pada objek vital strategis," jelasnya.

Demikian juga dalam hal ancaman terorisme terhadap presiden sifatnya harus aktual. Ketika terjadi aksi terorisme dan bukan pada saat perencanaan. Selain itu eskalasi ancaman tinggi harus dimaknai terjadi pada saat darurat militer bukan pada kondisi tertib sipil. 

TNI tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme. Pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaiman diatur dalam draf lama rancangan perpres terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum dan HAM. 

Kedua, sambung Aal, penggunaan dan pengerahan TNI harus atas dasar keputusan politik negara yakni keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 5 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Keputusan itu harus dibuat secara tertulis oleh Presiden sehingga jelas tentang maksud, tujuan, waktu, anggaran, jumlah pasukan dalam pelibatannya," tandasnya.

Di sisi lain, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri merupakan pilihan yang terakhir. Last sesort. Yakni dilakukan jika kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi terorisme tersebut.

Sementara, pelibatan TNI itu sifatnya sementara dan dalam jangka waktu tertentu. Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak boleh bersifat permanen karena tugas utama TNI sejatinya adalah dipersiapkan untuk menghadapi perang.

"Kami pikir pelibatan TNI itu harus tunduk pada norma hukum dan HAM yang berlaku. Konsekuensinya seluruh prajurit TNI yang terlibat dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri harus tunduk pada KUHAP, KUHP dan UU HAM," jelas Aal.

Di pihak lain, alokasi anggaran utnuk TNI dalam mengatasi aksi terorisme hanya melalui APBN.  Mengingat fungsi TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan) sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI. 

"Kami berpandangan bahwa Pemerintah dan DPR harus benar benar serius dan hati-hati dalam membahas rancangan Perpres tersebut sehingga masukan-masukan di atas sudah sepatutnya diakomodasi dalam rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi  Aksi Terorisme yang akan dibuat pemerintah. Jika hal itu tidak dilakukan, maka rancangan Perpres tersebut akan membahayakan kehidupan negara hukum, HAM dan demokrasi di Indonesia," paparnya terkait Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imam Kusnin Ahmad
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES