Peristiwa Daerah

Pahlawan Sakti Pendiri NU Banyuwangi, Inilah Sejarah Kyai Saleh Lateng

Jumat, 31 Juli 2020 - 23:45 | 711.65k
Cicit Kyai Saleh Lateng Saat Berkunjung ke Makam Beliau, Jumat (31/7/2020). (Foto: Farida Umami/TIMES Indonesia)
Cicit Kyai Saleh Lateng Saat Berkunjung ke Makam Beliau, Jumat (31/7/2020). (Foto: Farida Umami/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Kiagus Muhammad Saleh bin Kiagus Abdul Hadi bin Kiagus Abdurrahman adalah seorang pendiri Nahdatul Ulama di Kabupaten Banyuwangi (NU Banyuwangi) dan pahlawan sakti yang lebih dikenal di seluruh penjuru nusantara dengan sebutan Kyai Saleh Lateng.

Hal tersebut dikatakan langsung oleh Cicit Kyai Saleh Lateng Banyuwangi, Fikri Firmansyah. Menurutnya, sang atuk atau buyut adalah pendiri NU Banyuwangi dan Pahlawan Kabupaten Banyuwangi.

"Beliau lahir di Kota Mandar, Banyuwangi, Jawa Timur pada Ahad, 6 Ramadhan 1278 H/ 07 Maret 1862, Ia juga memiliki nama kecil Ki Agus Muhammad Saleh," kata Fikri kepada TIMES Indonesia, Jumat (31/7/2020) di kediamannya di Jalan Lateng, Banyuwangi.

Ia menceritakan, atuknya punya Ayah bernama Ki Agus Abdul Hadi, sedangkan Ibunya bernama Andi Aisyah yg memiliki Darah Mandar Maraqdia Sendana dan Bugis Maros.

Bahkan, lanjutnya, sang atuk (Kiai Saleh Lateng) memiliki jalur nasab hingga Zuriat Bangsawan Palembang Darussalam dan Raja (Maraqdia) Sendana.

Fikri mengatakan almarhum akungnya, Kiagus Abdul Aziz yang merupakan anak Kyai Saleh Lateng pernah menceritakan sejarah panjang tentang sang buyut di mana pada sekitar awal abad 19, Kerajaan Palembang Darussalam telah kehilangan kontrol kekuasaan dan Belanda berhasil memegang kendali wilayah kerajaan.

Raja Palembang, Sultan Najamuddin dibuang ke Aceh, sedangkan kawasan Palembang dikendalikan oleh seorang Residen Belanda. Pada masa genting itu, sebagian besar bangsawan kerajaan Palembang memilih untuk menyingkirkan diri.

"Situasi yang tidak aman serta kekejaman Belanda menjadikan para keluarga kerajaan berusaha untuk mencari lokasi baru untuk tempat tinggal," jelas pria lulusan S1 Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim itu.

Jadi, Ki Agus Abdurrahman yang merupakan kakek Kiai Saleh merupakan bangsawan Kerajaan Palembang yang memilih menyingkirkan keluarganya. Ia memilih singgah di sebuah daerah di Jawa Timur dan menikah dengan Najihah.

Pernikahan ini dikaruniai tiga keturunan, tetapi hanya seorang yang meneruskan perjuangan Ki Agus Abdurrahman dalam berdakwah dan menggeluti ilmu keislaman, yakni Ki Agus Abdul Hadi.

Selang beberapa waktu, Ki Agus Abdul Hadi hijrah ke Banyuwangi, di kawasan Tapal Kuda, Jawa Timur. Di kawasan Banyuwangi inilah, Ki Agus Abdul Hadi mendapatkan jodoh bernama Aisyah.

Pasangan ini menetap di kawasan Kota Mandar Banyuwangi, hingga melahirkan putra bernama Ki Agus Muhammad Saleh, atau yang terkenal sekarang dengan sebutan Kiai Saleh Lateng.

Terkait ilmu agama, sejak kecil, Kyai Saleh Lateng telah mengaji kepada orang tuanya. Ia mendapat didikan sebagai seorang santri, belajar al-Quran dan kajian keislaman dalam tradisi pesantren, sementara pada usia remaja, sekitar usia 15 tahun, Kiai Saleh mengaji di pesantren Kebondalem Surabaya, asuhan Kiai Mas Ahmad.

"Kemudian, beliau melanjutkan mengaji kepada Syaikhona Khalil di Bangkalan Madura, lalu tabarrukan kepada Tuan Guru Muhammad Said di Jembrana Bali. Selepas mengaji di Jawa, Madura dan Bali, Kiai Saleh kemudian melanjutkan mengaji di Makkah," ujarnya.

Ketika belajar di Makkah, masih kata Fikri, Kiai Saleh Lateng telah dianggap sebagai rujukan keilmuan, ia mengajar beberapa santri di kota suci dengan menggunakan empat bahasa.

Di ujung abad 19, Syaichona Kholil Bangkalan meminta Kiai Saleh untuk pulang ke tanah air, mengabdikan diri untuk mendidik santri dan berjuang mengawal pergerakan. Kiai Saleh meminta waktu satu tahun untuk menuntaskan mengaji di Hijaz.

Pada tahun 1900, pada umur 38 tahun, Kiai Saleh kembali ke kampung halaman, di kawasan Lateng Banyuwangi. Lambat laun, nama Kiai Saleh Lateng menjadi terkenal karena kealiman dan pengabdiannya dalam mendidik para santri.

Berkat hal ini pula Bupati Banyuwangi, Koesoemonegoro memberikan izin kepada Kiai Saleh Lateng untuk mengajar, sejak 4 Maret 1909. Dari kampung halaman di kawasan Lateng, Kiai Saleh berhasil menebarkan ilmu Islam ke masyarakat di penjuru Banyuwangi dan sekitarnya.

Di ujung abad 19 dan awal abad 20, kawasan Banyuwangi masih diwarnai kekerasan oleh para bromocorah. Banyuwangi merupakan kawasan kerajaan Blambangan, yang menjadi pusat kekuasaan di ujung timur Jawa. Kerajaan Blambangan memiliki peran sentral, yang berkembang bersamaan dengan Majapahit.

Selepas Majapahit runtuh, Blambangan menjadi satu-satunya kerajaan di ujung timur Jawa yang mengontrol wilayah di kawasan Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bondowoso dan Situbondo.

Pada 1743, Raja Pakubuwono II dari Mataram menyerahkan Java Oesthoek (kawasan sebelah timur Malang hingga Banyuwangi) termasuk Blambangan kepada VOC. Tapi, justru VOC menelantarkan wilayah ini. Pada 1767 pemerintah Kompeni di Batavia (Hoge Regering) baru mengirimkan tentara untuk melakukan kontrol administratif (Margana, 2007; 2012).

Kawasan di ujung timur Pulau Jawa ini menjadi tanah pergolakan. Perlawanan warga terhadap tentara penjajah sudah berlangsung lama, hingga menjadi karakter. Bromocorah dan begal berkembang marak, kekerasan menjadi sikap yang tidak bisa dihindari.

Sikap keras warga Banyuwangi dengan berbagai macam masalah menjadi keseharian Kiai Saleh Lateng. Bromocorah dan begal mewarnai kehidupan warga kawasan Blambangan, dengan segenap tindakan kriminal yang menyertai.

Cicit-Kyai-Saleh-Lateng-b.jpg

Tantangan Kiai Saleh Lateng tidak hanya bagaimana mengembangkan dakwah islamiyyah, tetapi juga bagaimana menaklukkan para bromocorah yang mengganggu.

Dengan keyakinan diri, bekal ilmu kanuragan dari Syaichona Khalil, serta atas pertolongan Allah, Kiai Saleh Lateng berhasil meredam konflik-konflik dan kekerasan pada warga Banyuwangi.

Meredam konflik antar bromocorah bukanlah hal yang mudah, mengingat tindak kekerasan dengan kenekadan tingkat tinggi menjadi bagian dari wajah begal-begal Banyuwangi. Inilah kelebihan Kiai Saleh Lateng, yang mampu menyatukan para begal-bromocorah, hingga akhirnya takluk dan menjadi pengikut Kiai Saleh Lateng.

Bahkan, para bromocorah menjadi mengikut setia Kiai Saleh Lateng, dengan belajar mengaji, bela diri hingga berjuang bersama melawan penjajah di kawasan Banyuwangi dan sekitarnya.

Terkait melawan penjajah belanda, Fikri menjelaskan bahwa Kyai Saleh Lateng merupakan tipikal kiai penggerak. Beliau memegang peranan startegis dalam mengkonsolidasi jaringan ulama-santri untuk berdakwah dan mengawal kemerdekaan Indonesia.

Kiai Saleh Lateng juga menjadi kiai penting pada masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, bersama Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri dan beberapa kiai lainnya di penjuru Nusantara.

Pada awalnya, Kiai Saleh Lateng menggerakkan Sarekat Islam. Hal ini merupakan hal yang lumrah, karena pada awal abad 20, pergerakan Syarekat Islam menjadi gerbong bagi para kiai-santri untuk menyuarakan kemerdekaan dan mengorganisasi diri. Meski pada akhirnya para kiai memisahkan diri dari pergerakan Sarekat Islam.

Hal ini juga terjadi pada Kiai Wahab Chasbullah, yang pernah menjadi penggerak Sarekat Islam sewaktu mengaji di Hijaz. Ketika kembali ke tanah air, Kiai Wahab Chasbullah membentuk organisasi sendiri dengan merangkul kiai santri, dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan, hingga kemudian terbentuklah Nahdlatul Ulama.

Kiai Saleh Lateng, yang pada awalnya menggerakkan Sarekat Islam di Banyuwangi, kemudian menjadi tokoh penting dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bahkan, pada 1913, Kiai Saleh Lateng memimpin Rapat Umum Sarekat Islam di Kawedanan Glenmere Banyuwangi.

Dengan demikian, peranan Kiai Saleh dalam menggerakkan jaringan Islam di awal abad 20, diakui memiliki kontribusi penting. Ketika Komite Hijaz dibentuk, Kiai Saleh Lateng bergabung bersama barisan kiai.

Ikatan emosional ketika mengaji di beberapa pesantren, terutama pesantren Bangkalan dan Makkah, menambah kekuatan komunikasi antara Kiai Saleh dengan beberapa kiai lainnya.

Ketika masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, yakni pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926, Kiai Saleh Lateng ditunjuk oleh Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Chasbullah menjadi anggota muassis-mukhtasar (formatur) pendirian Nahdlatul Ulama.

Sementara terkait peran sebagai garda depan Revolusi Kemerdekaan,khususnya ketika masa revolusi kemerdekaan, Kiai Saleh Lateng tidak hanya berperan mengirimkan para santrinya, beliau juga terlibat langsung dalam pertempuran di garda depan.

Gema Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 menjadi panggilan berjihad bagi para kiai santri, khususnya di kawasan Jawa Timur dan Madura. Kiai Saleh juga terpanggil dengan pernyataan jihad kemerdekaan yang digelorakan Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari. Laskar-laskar santri bergerak untuk mengawal negeri (Latief, 1995).

Perjuangan yang gigih bagi Kiai Saleh Lateng merupakan panggilan hati. Karena perjuangan untuk mengawal kemerdekaan inilah, Kiai Saleh dikejar-kejar oleh tentara dan intel Belanda.

Beliau kemudian menyingkir ke kawasan Pakisaji. Ketika menyingkir inilah, Kiai Saleh Lateng bertemu para santrinya yang juga dikejar intel Belanda. Terbukti kemudian bahwa, Kiai Saleh Lateng menjadi panutan para santri karena perjuangan total dalam mengawal kemerdekaan di medan laga.

Sikap Kiai Saleh terhadap penjajah sangat keras dan tanpa kompromi. Ketika masa menjelang kemerdekaan, Kiai Saleh melarang para santrinya untuk berpakaian menyerupai kaum penjajah.

Hal ini karena, prinsipnya bahwa menyerupai kaum (kafir) berarti termasuk di dalam komunitasnya. Inilah yang dihindari oleh Kiai Saleh, agar perjuangan para santri dengan tekad bulat dan total dalam menegaskan identitas.

Kiai Saleh Lateng juga memiliki hubungan yang baik dengan Kiai Wahid Hasyim. Suatu ketika, setelah masa kemerdekaan, Kiai Wahid Hasyim mendapatkan amanah untuk turut serta membangun pemerintahan, mengawal kemerdekaan.

Kiai Wahid menjadi Menteri Agama pertama, membantu Soekarno dan Hatta sebagai Presiden-Wakil Presiden. Ketika menyusun pedoman pembentukan organ kementerian, Kiai Wahid Hasyim mencari kitab-kitab rujukan ke beberapa pesantren, serta mengutus wakil untuk silaturahmi ke beberapa kiai.

Kebetulan, di pesantren Kiai Saleh, kitab rujukan ini ditemukan, yakni kitab 'Mu'jamul Buldan'. Pengabdian panjang Kiai Saleh Lateng menjadi pelajaran penting bagaimana seharusnya santri berpikir, bersikap dan mengabdi untuk mengawal negeri.

Kiai Saleh berdakwah dengan mengajar santri, sekaligus turut serta berjuang untuk menjemput kemerdekaan dan mengawal berdirinya negara.  Perpaduan Islam dan nasionalisme bagi kaum pesantren, tidak sekadar konsep yang tertulis, tetapi dipraktikkan dalam sepenuh keteladana.

Bagi kaum santri, perjuangan mengawal negara merupakan panggilan jiwa, lonceng yang berdentang dari hati terdalam. Perjuangan mengawal NKRI tercermin dari seluruh kehidupan panjang Kiai Saleh Lateng, yang dengan ikhlas berjuang serta mengabdi untuk negeri.

Fikri juga menambahkan, sebuah kata dan kalimat serta ilmu dari Kyai Saleh Lateng yang selalu diterapkan hingga ke murid dan keturunannya adalah 'musuh yang paling berbahaya adalah bukanlah musuh yang membawa senjata canggih melainkan yang pintar berpolitik' untuk itu 'kita jangan mau jadi orang bodoh, karena orang bodoh akan selalu gampang dijajah'.

Fikri juga mengatakan bahwa berdasarkan cerita kekeknya (Kiagus Abdul Aziz), Kiai Saleh Lateng wafat pada malam Rabu, 29 Dzulqo'dah 1371 H/ 20 Agustus 1952 pada usia 93 tahun. Jenazahnya disemayamkan di sebelah musholla (Langgar), tempat Kiai Saleh Lateng biasa memberikan pengajian kepada santri-santrinya.

Dan pada 1956, DPRD Kabupaten Banyuwangi memberikan keputusan penggunaan mana KH Saleh Lateng untuk sebuah ruas jalan. Keputusan ini untuk menghormati perjuangan dan pengabdian sang pendiri NU BanyuwangiKyai Saleh Lateng dalam mendidik warga sekaligus berjuang untuk negeri. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES