Kopi TIMES

Antara Tradisi Feodal dan Objektivitas Partisan

Jumat, 31 Juli 2020 - 21:03 | 55.88k
Zulfikri Nurfadhilla, Ketua Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia Cabang Malang Raya.
Zulfikri Nurfadhilla, Ketua Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia Cabang Malang Raya.

TIMESINDONESIA, MALANG – Menjelang Pilkada serentak 2020, politik dinasti menjadi isu hangat yang kerap jadi sorotan publik. Potret yang selalu dibahas adalah majunya putra pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon Wali Kota Solo. Di samping itu, Ada nama Bobby Nasution, selaku adik iparnya juga yang maju sebagai calon Wali Kota Medan.

Gayung bersambut, Putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah, juga maju dalam pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan, Banten. Ia akan bertarung melawan keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.

Dalam kontes yang sama, ada Pilar Saga Ichsan sebagai bakal calon (bacalon) wakil Wali Kota Tangsel. Ia adalah putra Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah dan keponakan mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.

Masih ada lagi, Hanindhito Himawan Pramono, anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, maju dalam Pilkada Kediri. Irman Yasin Limpo, adik Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang maju sebagai bakal calon Wali Kota Makassar.

Dalam kenyataan lain, mungkin masih banyak bakal calon pemimpin daerah yang berangkat dari keluarga abdi dalem negara. atau tokoh- tokoh politik mapan yang hari ini berkuasa. 

Politik dinasti dikenal sebagai politik keluarga, panggung politik sektoral dan elektoral yang dikuasai oleh pihak keluarga penguasa. hal ini sebetulnya merupakan warisan turun temurun dari masa ke masa yang diwariskan oleh sistem feodalistik pada masa kerajaan silam. 

Tentu, hal ini tak luput juga menyertai ambisi politik orang-orang berpengaruh di republik ini sampai sekarang. Momentum pilkada menjadi kesempatan emas bagi anak-anak konglomerat politik untuk maju dalam partisipasi kontestasi. pastinya dukungan moril yang mujarab berangkat dari mereka yang memang dikenal dari keluarga pejabat

Adalah jalan mulus bagi mereka yang tidak perlu berproses dari awal, karir politik yang panjang, serta pengabdian terhadap masyarakat yang ajek. hematnya, hanya sebut nama bapak dan paman atau siapapun dapat dengan langgeng maju dalam kontestasi meskipun kredibilitasnya soal lain.

Politik dinasti bukan hanya sebatas fenomena baru akhir-akhir ini, melainkan juga tradisi lama yang masih ada sampai sekarang, atau mungkin seratus tahun kedepan. 

Garis nasab dan kekuatan trah menjadi ladang basah bagi siapapun yang hendak maju dalam panggung politik. tak segan-segan modal ini yang setidaknya membuka peluang dalam keterpilihan seseorang pada kontestasi politik.

Akarnya dari tradisi ini dapat kita tarik jauh ke belakang. dari sejarah lampau kerajaan nusantara. Dimana, garis keturunan ayah memang diutamakan. Terlebih, masa-masa kerajaan dahulu yang memang menganut patrimonialisme yang menghendaki adanya budaya kekuasaan dinasti. 

Semacam DNA yg seakan lazim terlestarikan hingga saat ini. Disaat kultur demokrasi tengah dibangun, masih tersisa jembatan yang menghubungkan antara politik demokratis dan kultur feodalistik ini. Tentu saja, tidak semudah mengembalikan telapak tangan untuk dapat melepaskannya.

Ditambah argumentasi konstitusi yang menjadi dalil tunggal bahwa setiap orang dan warga negara berhak untuk terlibat dalam kontestasi politik di republik ini. 

Betapapun teori negara, sistem yang dibentuk, jika orang-orang yang ada pada lembaga tersebut masih saja feodal, maka akan sangat sulit untuk dihilangkan.

Politik dinasti menjadi masalah etis dalam panggung politik demokrasi. sepakat atau tidak. Kita bisa berdebat panjang dalam soal ini, namun yang pasti , langgengnya politik dinasti akan selalu sejalan dengan langgengnya budaya feodalistik kekuasaan.

Meskipun pada kenyataannya, sistem demokrasi yang kita pilih hari ini memang tidak melarang siapapun untuk maju dalam kontestasi politik, tapi sekurang-kurangnya interpretasi publik akan tiba pada pengaruh kekuatan garis keturunan dan  silsilah keluarga para bakal calon yang kelak akan dipilih. bukan hanya pada jokowi, namun juga keluarga pejabat setingkat kota, kabupaten, provinsi, sampai negara.

Dengan itu, Instrumen demokrasi modern perlu selalu menghendaki akan adanya revolusi kultur. Kendati sulit, hal ini yang menjadi utopia bung karno dahulu. Bahwa revolusi tak cukup hanya pada sistem, melainkan bertumpu pada ekosistem dan budaya dari feodal ke alam pikir demokrasi yang etis dan terbuka

Objektivitas Partisan

Sebagai masyarakat berpengetahuan, tentunya terpilihnya keterwakilan bakal calon bergantung pada masing-masing kita. pada kacamata objektivitas kita sebagai pemilih. 

Jika dengan alasan hak konstitusi menjadi bantalan bagi langgengnya politik dinasti, maka kecerdasan dan objektifitas publik dalam memilih menjadi alternatif konkret dalam pembangungan demokrasi.

Nilai-nilai demokrasi yang masih tergerus dengan kultur lama ini (feodalisme) menjadi gerbang baru akan pentingnya pertumbuhan kecerdasan dan melek politik dalam tatanan masyarakat. Sebagai rakyat tentunya kita perlu mengilhami setiap fenomena panggung politik sebagai suatu yang dapat disikapi dengan hemat.

Kecerdasan publik perlu sepatutnya mendorong dasar kesadaran bersama akan pentingnya objektifitas dalam memilih. Sosok yang digadang-gadang yang bukan hanya berangkat dari keluarga politisi mapan, melainkan juga orang yang dengan kredibilitas dan integritasnya mampu menciptakan masyarakat adil makmur.

Siapapun bapaknya, darimana ia berangkat, menjadi pertimbangan keterpilihannya adalah kepada siapa ia akan mengabdi, keadilan mana yang ia akan tegakkan, dan hak-hak siapa yang akan ia bela serta perjuangkan. 

Keluarga, kelompok, atau rakyatnya ? 

***

*) Oleh: Zulfikri Nurfadhilla, Ketua Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia Cabang Malang Raya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES